"Jika
kita kembali seperti dulu, dari serangan sebentar ke sikap bertahan, kita akan
memberikan peluang kepada lawan untuk beristirahat dan kita akan kehilangan
kepercayaan mereka, yang baru saja kita taklukkan. Dan segera jika mereka itu
terlepas dari kita, musuh kita akan menampung mereka kembali. Makin lama kita
akan makin banyak menghadapi perlawanan pasif para kepala yang telah kita
tundukkan, pernyataan tak mampu untuk memelihara ketertiban"
Selama lebih
dari 10 tahun bertindak dengan energi tanpa mengenal lelah dan pengertian
militer yang meningkat di Sumatera Utara, kita masih jauh dari tujuan akhir;
sesungguhnya untuk mempertahankan apa yang sudah diperoleh, masih tetap
diperlukan pengerahan tenaga besar dari pasukan. Dengan segala kemauan baik,
belum terlihat peralihan berangsur-angsur dari keadaan perang gerilya ke dalam
keadaan damai dengan pemerintahan teratur, yang akan mengungkapkan dengan terus
terang ramalan, kapan operasi akan berakhir
Terbit anonim
dalam de Nieuwe Courant, Juni 1908 Dua karya Snouck Hurgronje itu, bila
dibandingkan, tampak menunjukkan sebuah kebimbangan. Yang pertama, tampak
ditulis dengan nada gahar, sebuah usul tentang bagaimana tak seharusnya
"anak-anak Wilhelmina" menunda menggebuk Tanah Rencong. Sembilan
tahun kemudian (entah kenapa ia menyembunyikan identitasnya), tulisan itu bagai
sebuah pengakuan bahwa tujuan yang diharapkannya tak terlaksana. Adakah ia
merasa nasihatnya telah salah diterapkan? Snouck Hurgronje datang ke Aceh pada
1891. Anak pendeta dari Oosterhout berusia 34 tahun itu mengemban misi besar.
Saat itu Belanda terombang-ambing oleh pertanyaan apakah selama ini perang
dilakukan dengan cara yang tepat. Dimulai dari tahun 1873, mereka menjalani
perang melawan Aceh selama 16 tahun. Hasilnya, garnisun mereka kocar-kacir.
Bahkan Mayor
Jenderal Kohler, pemimpin agresi pertama, menjadi bangkai. Semakin hari,
tentara Kompeni semakin tak bergerak. Jalan kereta api rusak, kawat telepon
yang menghubungkan benteng satu sama lain digunting. Hikayat Perang
Sabil-sebuah syair perlawanan yang ditulis Teungku Tjhik Pante-yang mengisahkan
perjalanannya naik kapal pulang haji dari Mekah sampai Penang, dan kemudian
disebarkan ke masyarakat oleh Teungku Cik di Tiro Aceh itu, betul-betul
menciptakan syuhada, mujahid-mujahid yang tak takut mati. Kedatangan pemuda
kurus, berjanggut tipis, yang dikenal karena kenekatannya memasuki Mekah itu,
memberikan secercah harapan.
Doktor
sastra Arab itu menyodorkan pergantian taktik militer. Menurut dia,
"anak-anak Kincir Angin" itu tak boleh "menunggu ganda".
Pemimpin militer harus dapat bertindak bebas; memberikan pukulan keras sehingga
orang Aceh menjadi takut, dan tidak menggabungkan diri dengan pemimpin
gerombolan yang berbahaya. Anjuran-anjuran penguasa sipil, menurut Snouck
Hurgronje, sebaiknya didengarkan karena mereka terbiasa dalam keadaan normal.
Jenderal Van Heutz melaksanakannya. Terbukti resepnya manjur. Pada 1903,
Kesultanan Aceh Darussalam menyerah. Tahun itu oleh Belanda ditabalkan sebagai
tahun kemenangan Belanda. Tahun itu juga mereka seolah menahbiskan sebagai
"tahun intelektualitas" Snouck Hurgronje. Namun, seperti dapat kita
baca pada artikelnya tahun 1908 itu, panorama ketenangan Aceh yang ia lihat
adalah panorama dengan ketenteraman semu.
Sebuah
generasi baru yang tidak dipengaruhi perang Aceh, yang diimpikannya, masih jauh
dari kenyataan. Ia sadar bahwa watak rakyat Aceh yang dibentuk selama
berabad-abad tidak bisa diubah dalam sekejap. Pemberontakan masih terus
berlangsung meski sporadis. Cadangan baru sewaktu-waktu terus mengalir
menggabungkan diri dengan sejumlah mujahid yang tak pernah turun-turun dari
pegunungan. Kita tahu-sesudah kematiannya pun-pada generasi selanjutnya,
generasi Daud Beureueh seperti diperlihatkan pada Clash I dan Clash II, adalah
generasi "Perang Sabil" kedua. Adakah Snouck merasa kecewa?
"Kegagalan bukan hanya ada pada Snouck, tapi kemungkinan juga ada
kesalahan interpretasi dari pemerintah kolonial membaca laporan dan nasihat
Snouck Hurgronje," tutur Adabi Darban, kandidat doktor sejarah Monash
University, Australia.
Memang
sesungguhnya, masa-masa itu Snouck juga dikenal sebagai seorang pendukung
politik etis. Ia menentang berbagai segi eksploitasi terhadap masyarakat
pribumi. Ia menentang segala kebijakan yang hanya memberikan untung materiil
negeri Belanda. Setahun setelah "kemenangan" itu, pada 3 Januari
1904, di Batavia ia melayangkan surat rahasia ke Gubernur Jenderal, isinya
nasihat-nasihat tentang politik Aceh yang harus dianut sesudah tahun 1903.
Intinya, ia menginginkan sebuah pemulihan Aceh. Ia menyodorkan berbagai usul
kebijakan praktis yang dianggapnya bisa menghilangkan rasa benci penduduk Aceh
karena tindakan bersenjata kolonial yang lama. Inilah agenda yang disebutnya
pasifikasi. Memahami riwayat Snouck dan nasihat-nasihatnya serta keterbelahannya
antara seorang penganut politik etis sekaligus seorang penganjur "perang
total", kita agaknya bisa merefleksikannya pada ambivalensi penanganan
Aceh kini.
Saat itu
Snouck Hurgronje adalah ilmuwan yang sangat disegani. Dalam usia 18 tahun, ia
masuk Fakultas Teologi Universitas Leiden, kemudian pindah ke fakultas sastra
jurusan Arab. Bila ia memiliki bakat sebagai peneliti agama, mungkin karena
ayahnya adalah pendeta J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya, Anna Maria, putri pendeta
Christian de Visser. Perkawinan orang tuanya didahului skandal hubungan gelap,
sehingga ayahnya dipecat dari Gereja Hermformd di Tholen. Nama Snouck mencuat
di kalangan akademis ketika demi pengabdian antropologi ia mempertaruhkan nyawa
menyusup ke Mekah, yang terlarang bagi nonmuslim. Tujuan kedatangannya adalah
untuk melakukan riset doktornya tentang Perayaan Mekah. Ia tiba di luar musim
haji.
Menurut
pengakuan Snouck, sebagaimana dapat kita baca dari karya-karyanya, di Mekah ia
bertemu dengan beberapa tokoh Indonesia yang tengah menuntut ilmu di sana,
antara lain Haji Hasan Mustafa. Pada suatu ketika penyamarannya ini tersingkap
sehingga ia hampir dibunuh. Namun berkat usaha Haji Hasan Mustafa-yang berhasil
meyakinkan orang-orang di Mekah bahwa Snouck adalah seorang muslim-Snouck akhirnya
selamat. Sejak penyelamatan tersebut, antara keduanya terjalin hubungan mesra
sampai keduanya berada di Indonesia. Dalam bukunya yang terbit kemudian tentang
Mekah, tampak dengan jelas bagaimana pandangan Snouck tentang orang Jawa (baca:
Indonesia) yang ia temui di Mekah. Ia menganggap bahwa orang Jawa adalah
kelompok manusia yang paling tereksploitasi di Mekah.
Di samping
itu ia juga memiliki pandangan yang sangat sinis tentang sejumlah ulama
Indonesia yang ia temui di sana, contohnya ulama karismatis Syekh Nawawi
Banten. Ia mengejek, meskipun Syekh Nawawi berpuluh tahun hidup di Mekah,
bahasa Arab dan cara melafalkan ayat Al-Quran masih memiliki aksen Jawa yang
medok. Snouck tertarik memperhatikan gerak-gerik jemaah haji asal Aceh. Ia
menganggap, dibandingkan dengan jemaah haji Nusantara lainnya, jemaah haji Aceh
lebih memiliki sikap radikal dan fanatik. Di Mekah, seperti disaksikan Snouck
Hurgronje, mereka mencari dukungan dari ulama-ulama di sana tentang bagaimana
hukumnya berjihad melawan Belanda.
Hurgronje
mengikuti pengajian para ulama Aceh di Mekah, "mendaras bersama",
memohon kemenangan Perang Aceh. Para jemaah melantunkan teks-teks hadis
Bukhari; inilah teks yang dianjurkan oleh pemerintah dan ulama Turki kepada
warganya saat Rusia akan menyerang Kerajaan Ottoman. Pada abad ke-19, Aceh
tidak memiliki ulama sekaliber Hamzah Fansuri, Syamsuri Sumarghani, Abdullah
Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri, ulama-ulama Sumatera abad ke-17 yang pernah
belajar di Mekah. Namun mereka dapat menjalin hubungan dengan ulama-ulama besar
setempat.
Atas
permintaan delegasi Aceh, misalnya, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, mufti Mekah
dan ulama besar akhir abad ke-19, mengeluarkan fatwa yang isinya jihad melawan
Belanda adalah wajib, karena Belanda adalah penguasa kafir. "Perlu
diketahui bahwa jumlah jemaah haji yang berasal dari Aceh selalu besar,"
kata Jajang Jahroni, dosen Fakultas Adab Universitas Islam Jakarta. Setelah
menyelesaikan disertasinya tentang Mekah, Snouck tertarik pergi ke Aceh,
meninggalkan tawaran menjadi lektor mata kuliah bahasa Arab dan hukum di
Leiden. Kunjungannya ke Aceh sebetulnya sangat singkat, hanya dari 16 Juli 1891
sampai 4 Februari 1892. Namun itu menghasilkan kajian tentang struktur
masyarakat dan adat yang sangat mendalam dan basah.
Pada 23 Mei
1982, ia menyampaikan laporan tentang situasi politik agama di Aceh kepada
Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Untuk pertama kalinya terdapat data
etnografi adat-istiadat Aceh yang lengkap. Berdasarkan data itu, Snouck
menyarankan agar pemerintah kolonial tidak mengganggu kegiatan ibadah atau
ritual masyarakat Aceh, tapi memangkas aktivitas politiknya. Itulah konsep
Snouck Hurgronje yang sekarang kita kenal sebagai "Islam sebagai agama dan
Islam sebagai politik". Islam sebagai politik harus diawasi secara ketat,
dan Islam sebagai agama harus dibiarkan. "Masukan penting yang disampaikan
Snouck kepada pemerintah Belanda: pemerintah harus mengawasi para jemaah haji
yang baru pulang dari Mekah.
Sering
mereka ini membawa ide Pan-Islamisme yang bertentangan dengan kepentingan
Belanda," kata pakar Islam Jajang Jahroni. Atas masukan Snouck ini,
pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut 'Ordonansi Haji', yang
antara lain berisi pembatasan (jemaah dibatasi, ongkos haji dinaikkan, dan
birokrasi yang sangat berbelit-belit). Ordonansi ini diharapkan dapat memutus
hubungan orang Indonesia dengan ide Pan-Islamisme. Snouck juga berusaha
membatasi asimilasi antara orang Arab dan "pribumi". Itu disebabkan
salah satu pemimpin perang Aceh yang pertama adalah orang Arab: Habib
Abdurrachman Al-Zahir. "Beliau adalah ulama dari Yaman yang datang ke
Aceh, diangkat Kesultanan Aceh menjadi duta dan dikirim ke Turki untuk meminta
pertolongan guna menghadapi Belanda, tapi kemudian dia menyerah ke
Belanda," kata Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta.
Meski
misinya ke Istanbul tidak berhasil, ia tetap balik ke Aceh dengan menyamar
sebagai orang keling, mencukur rambut dan jenggotnya. Menurut almarhum Hamid
Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab
Belanda, Snouck mengupayakan agar orang Arab dan orang Indonesia bermusuhan. Di
antaranya adalah dengan menjadikan orang Arab-di samping orang Cina-sebagai
vreeemde osterlingen (orang asing Timur Jauh) yang menempati strata kedua dalam
strata sosial masyarakat.
Apa
kontribusi utama Snouck yang merombak struktur masyarakat Aceh? "Snouck
Hurgronje di Aceh memberikan kontribusi besar bagi terjadinya pemisahan dan
friksi sosial," kata Azyumardi Arza. Atas dasar penelitiannya di lapangan,
Snouck membagi kepemimpinan di Aceh menjadi dua, yakni kepemimpinan ulama atau
teungku dengan ulebalang atau teuku. Menurut Snouck Hurgronje, kedua
kepemimpinan itu terpisah, tidak ada satu sama lain yang berhubungan. Padahal
ulama dan ulebalang semula adalah dua pilar yang harmonis dan memiliki saling
ketergantungan tinggi. Ungkapan populer masyarakat Aceh "... hana di gob
na di geutanyo, saboh nanggro dua raja... hanya di tempat kitalah sebuah negeri
diperintah dua orang raja..." menunjukkan fenomena sosial itu.
Snouck
Hurgronje menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk mengambil kebijakan
merangkul ulebalang dan menyingkirkan ulama atau para teungku. Menurut
Azyumardi, inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya rivalitas dan konflik
antara kedua belah pihak. Soalnya, memang kenyataannya ada juga ulebalang yang
juga merangkap sebagai ulama dan ada juga ulama yang merangkap sebagai
ulebalang. Kesalahan itu, menurut Azyumardi, sama dengan bila ada ilmuwan yang
membagi Jawa atas tiga golongan masyarakat, yakni santri, abangan, dan priayi.
Kenyataannya kita melihat ada priayi yang abangan dan ada priayi yang santri,
dan pada kenyataannya "identitas" mereka tidak terkotak-kotak seperti
itu. Kelemahan utama Snouck Hurgronje, dari sudut pandang ilmiah, menurut Dr.
J.H. Meuleman, dosen di Leiden sekaligus Ketua Dewan Yayasan Universitas Islam
Eropa (Stichting Islamitische Universiteit van Europa) adalah bahwa ia belum
meninggalkan pandangan yang bersifat hampir umum di antara para ahli Islam dari
dunia Barat pada zamannya.
Pandangan
itu adalah bahwa Islam "yang sebenarnya" adalah Islam yang ditemukan
dalam berbagai karya tertulis "klasik ortodoks" dalam bidang
akidah/kalam/fikih, seperti Asy-Syafi`i, Abu Hanifah. "Dengan kata lain,
jika ada praktek dan pandangan yang terdapat di kalangan orang yang mengaku
diri muslim tetapi berbeda dengan teks klasik, maka Snouck menganggapnya bukan
Islam," kata Meuleman. Itu sebabnya cara pandang Snouck, menurut Meuleman,
menghadapkan "adat" dan "Islam", mempertentangkan
"hukum Islam" dan "hukum adat". Efek hal ini sedemikian
besar. Ketika Belanda sudah tidak lagi berkuasa, saat terjadi revolusi sosial
di Aceh pada zaman Daud Beureueh, terjadilah peristiwa yang "memakan
korban anak sendiri".
Dalam
peristiwa Perang Cumbok, kaum ulebalang ini menjadi sasaran kemarahan
masyarakat, banyak ulebalang yang dibunuh oleh rakyat. "Politik belah
bambu, yang satu ditekan dan yang satu diangkat. Saya kira, itulah yang menimbulkan
perpecahan sosial yang sampai sekarang belum tersembuhkan betul di Aceh,"
tutur Azyumardi Azra. Menurut Paul van Teer, penulis Perang Aceh (De
Atjeh-Oorlog), perang itu sendiri meleset dari ekspektasi Snouck. Snouck keliru
dalam memperhitungkan akibat-akibat militer. Cara penafsiran dan pelaksanaan
"pukulan telak" di lapangan ternyata bervariasi. Menurut Van Teer,
rakyat Aceh kian kena pukul dan semakin dalam mereka tenggelam dalam sikap masa
bodoh yang menggerutu.
Di satu
pihak, situasi ini mengakibatkan sikap apatisme dan di pihak lain menyimpan
magma yang bisa meledak secara perorangan ataupun kolektif. Salah penanganan
dan ekspektasi semacam itu agaknya dapat menjadi cermin kita kini. Salah satu
nasihat Snouck, setelah "kemenangan" 1903 itu, adalah sebanyak
mungkin perwira ditugaskan untuk menjalankan pemerintahan sipil di
"wilayah-wilayah rawan". Sebuah kebijakan yang agaknya kini juga
diambil oleh penguasa darurat militer di Aceh. Lima belas anggota AD, 5 anggota
AL, 5 anggota AU, kita tahu, beberapa waktu lalu ditugaskan mengisi jabatan
camat di beberapa daerah Bireuen, Aceh Utara, dan Timur.
Bersamaan
dengan itu penyisiran terus-menerus dilakukan ke masyarakat sipil, ke setiap
institusi. Masyarakat harus mendaftarkan identitasnya lagi dengan KTP merah
putih. Petinggi militer kita telah menyatakan dengan nada bangga bahwa GAM kini
telah "habis" dan mereka berpencar-pencar dalam satuan kecil yang
tidak bisa berkoordinasi. Namun, melihat pengalaman Snouck Hurgronje, bisa jadi
kelak kemudian hari "magma" itu bisa mendidih lagi.
Sesungguhnya
pada zaman Snouck Hurgronje, ada usul agar pemerintahan kolonial tidak menumpas
perlawanan rakyat dengan kekerasan senjata, karena justru itu akan memunculkan
perlawanan baru di banyak daerah. Pendapat ini disokong oleh kalangan liberalis
di Belanda. Mereka menginginkan agar pemerintah kolonial melakukan pendekatan
dengan para pemimpin Aceh secara intens. Inilah cara yang, apabila dilakukan
dengan sabar, akan membuahkan hasil sebagaimana yang telah ditunjukkan Kolonel
Jassin.
Dengan
diawali surat-menyurat, ia mampu meluluhkan ketegaran ulama "batu
karang", Daud Beureueh, yang bertahun-tahun tinggal di pegunungan, untuk
turun, kembali ke pangkuan Republik, tanpa ada setetes darah pun. Satu hal yang
harus diingat, oleh TNI-yang bagi para pengamat mengidap "sindrom
Snouck"-pelajaran dari kisah keberhasilan Snouck adalah: kemenangan dalam
perang Aceh sekaligus dapat menjadi kekalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar