Jurang lebar
membentang, tidak ada lagi jembatan tempat menyeberang. Kalau akhir yang dituju
sudah berbeda, tak ada lagi gunanya berjalan beriringan. Cinta telah terpisah
dan kebersamaan telah pecah. Sebab yang satu ingin melindungi perjuangan, tapi
yang lain telah jatuh menyerah.
Hari itu
keputusan telah dibuat, sebuah keputusan yang teguh dan berat. Perceraian
memang pahit dikecap, apalagi bagi seorang perempuan. Namun kalau memang jalan
itu yang mesti ditempuh demi melindungi perjuangan, pantang jalan lain dipijak.
Meutia perempuan yang kuat, hatinya sekokoh karang. Baginya lebih baik hidup
manjanda daripada mengkhianati perjuangan.
“Kau
berani melawanku?” Bentak Samsyarif sambil membelalak. “Perempuan
durhaka.”
“Aku
bukan perempuan durhaka,” sahut Meutia sengit. “Kezaliman wajib dilawan,
tak peduli siapapun yang melakukannya.”
“Aku tak
akan menceraikanmu.”
“Aku tak
sudi menjadi istri pengkhianat. Aib dan nista bagiku menjadi istrimu, aku
menggugat cerai.”
“DURHAKA.”
Samsyarif meraung, tangannya naik hendak menampar Meutia.
Dengan tegak
Meutia menghadapi tamparan itu. alisnya berkerut, bibirnya mengatup keras.
Apapun yang akan terjadi akan ditantangnya. Telapak tangan Samsyarif meluncur
deras hendak menghantam pipi Meutia, namun tamparan itu ditahan oleh genggaman
tangan seorang pria.
Tiba-tiba di
dekat Samsyarif berdirilah seorang pria yang tegap dan tampan. Ia menggenggam
pergelangan tangan Samsyarif, menahan agar tamparan keras itu tidak mendarat di
pipi Meutia.
“Maaf,
Cutbang, tak baik kau bersikap kasar kepada istrimu,” katanya, “bukan begitu
memperlakukan perempuan.”
“Apa
pedulimu?” Sergah Samsyarif kepada laki-laki itu. “Dia perempuan yang
durhaka kepada suaminya.”
“Benarkah
begitu, Cutda?”
“Aku tak
sudi jadi istri pengkhianat.” Meutia masih sengit melawan, matanya menatap
Samsyarif tajam-tajam.
Samsyarif
menarik tangannya dari genggaman laki-laki itu, berusaha menyerang Meutia.
Dengan cekatan laki-laki itu kembali menahan gerakan Samsyarif.
“Lepaskan
aku, jangan kau ikut campur urusanku, kau sama durhakanya dengan perempuan itu,”
Samsyarif berteriak tak karuan.
Dua lelaki
perkasa itu bergumul, bertindihan di lantai. Namun lelaki asing itu lebih
tangkas, ia berhasil mengunci dan menahan tubuh Samsyarif.
“Lepaskan,
kau tak tahu diri, masih berani kau menampakkan batang hidungmu di rumah ini?
Tak malu kau pulang ke rumah ini? Bukankah hutan dan senapan lebih engkau
cintai?” Samsyarif hanya bisa berteriak. “Karena kau kedua orang tua
kita mati, kau durhaka.”
Lelaki itu
tersenyum namun ia tak mengendurkan kunciannya pada tubuh Samsyarif.
“Terima
kasih untuk semua kata-katamu, Cutbang. Aku pulang hendak berziarah ke pusara
orang tua kita. Untuk menghormati betapa teguh dan kuatnya perjuangan mereka
melawan kaphe penjajah. Sampai mati mereka tak pernah menyerah, dan sudah
seharusnya begitu pulalah adanya kita, tidak boleh menyerah.”
Meutia
menjauh ke sudut kamar. Ia menyaksikan semua itu. hatinya bertanya-tanya siapa
gerangan lelaki asing yang tiba-tiba hadir itu? ia tak mengenalnya. Namun
siapapun lelaki asing itu telah terselip rasa kagum di hatinya akan segala yang
dikatakan lelaki itu. Meutia menyadari mungkin lelaki itu memiliki hubungan
saudara dengan suaminya. Samsyarif tak pernah menyebut bahwa dia memiliki
saudara. Dan perasaan kagum itu tiba-tiba berubah menjadi cinta, saat ia terus
memperhatikan lelaki itu dan kata-katanya.
“Tak ada
kebaikan dan kebahagiaan di sisi kaphe beulanda. Ikutlah berjuang sebagaimana
orang tua kita dahulu telah berjuang. Mengapa aku lebih memilih tinggal di
hutan dan lebih memilih memanggul senjata, adalah karena aku ingin menetapi
amanah mereka untuk terus melawan penjajah. Dan sampai mati aku akan terus
menetapi amanah itu. tak akan pernah berubah sedikit pun.”
“Kau
teruskanlah kebodohan itu, kau akan sengsara selamanya. Aku tak peduli.”
Samsyarif terus meluap-luap emosinya. “Pergilah kau dari sini, kau bukan
adikku lagi.”
“Maafkan
aku,” sahut lelaki itu, “ada satu permintaanku yang mesti kau penuhi.”
Samsyarif
mendengus saja.
“Kau
ceraikan istrimu, nampaknya dia sungguh-sungguh membencimu. Akulah yang akan
jadi suaminya.”
Secercah
cahaya tiba-tiba bersinar di hati Meutia. Jalan yang baru terbentang sudah.
“Perang
Sabil”
Belantara
gelap. Sulur-sulur melingkar berkait berkelindan menggambarkan kesuraman hutan.
Hawa dingin pagi kejam menusuk tulang menghamburkan asa kepada kedamaian yang
telah lama hilang. Dasar hutan basah. Anak-anak embun bergelantungan ceria pada
putik-putik rerumputan. Batang-batang pohon kekar dan tebal setia mengawasi
perang yang tak lama lagi akan datang. Sebab para pejuang Aceh sedang mengintai
dari baliknya.
Di belakang
sebuah batang pohon yang besar itu Meutia dan Muhammad memicingkan mata mereka
mengintai musuh. Di sanalah mereka kini, di tengah Perang Sabil. Mereka menikah
dan bulan madunya adalah turun berperang. Baru kali itu Meutia sungguh-sungguh
merasakan cinta. Cinta kepada seorang lelaki, cinta kepada tanah airnya, cinta
kepada agamanya. Ia merasakan cinta yang sesungguhya. Dan kini ia berada di
antara semak-semak, memeluk senapan, mengintai, hendak melanjutkan perang
melawan kaphe Belanda.
Pria gagah
itu, Teuku Muhammad, teguh bersandar sambil mengintai kedatangan musuh.
Orang-orang memanggilnya Teuku Cik Tunong. Sudah lama dia menjadi duri dalam
daging bagi pemerintah kolonial Belanda. Dialah otak penyerangan berbagai
benteng Belanda di sepanjang wilayah pantai timur Aceh. Dia pula yang menjadi
aktor utama penyergapan-penyergapan patroli dan konvoi logistik Belanda. Dan
dengan Meutia berada di sisinya, perjuangannya makin sempurna. Akhirnya apa
yang diidamkannya terkabul juga. Dia dapatkan seorang perempuan cantik yang
tangkas dan teguh berjuang. Mereka adalah pasangan serasi yang akan mengguncang
singgasana penjajahan.
Bersama
dengan pasukannya yang telah tersebar di sekitar hutan itu, Cik Tunong dan
Meutia akan menyergap konvoi pasokan logistik Marsose belanda yang akan lewat
menuju Keureuto. Mereka telah memperhitungkan segalanya, dan saat penyergapan
itu berhasil dilaksanakan mereka akan merampas semua barang yang dibawa konvoi
logistik itu. Mereka akan berpesta dengan mendapatkan ratusan pucuk senapan
beserta amunisinya, juga bahan makanan dan pakaian. Dengan sabar mereka semua
menunggu mangsanya lewat.
“Terima
kasih, Cutbang,” bisik Meutia, senapan teguh dalam pelukannya.
Cik Tunong
menoleh kepada istrinya, mempersembahkan senyum menawan. “Jangan berterima
kasih terus. Kau sudah berkali-kali bilang begitu.”
“Kau
sudah menyelamatkan aku.”
“Itu
semua ketentuan Allah. Dialah yang mengatur semuanya. Akulah yang mestinya
bersyukur sebab akhirnya aku mendapatkan perempuan yang aku idam-idamkan.
Engkau cantik, pintar, teguh, dan gigih berjuang. Sungguh aku bangga kau mau
menjadi istriku.”
“Aku pun
begitu, aku hanya mau bersama lelaki pejuang. Bukan pengkhianat.” Bisik
Meutia sambil tersenyum.
“Itu
jodoh namanya.” Cik Tunong menyikut lembut pinggang istrinya. Sesekali dia
mengintip ke arah tempat datangnya pasukan Belanda. Masih sepi, musuh belum
datang.
Tiba-tiba Meutia
menggenggam erat tangan Cik Tunong. Ia menoleh kepada suaminya. “Aku tak
ingin kehilanganmu, Cutbang.”
Cik Tunong
tersenyum lagi. “Tak ada yang hilang, Sayang, aku akan tetap ada bersamamu.
Selalu. Jangan kau pikir mereka yang mati di atas jalan Allah itu mati,
melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Selama kita
tidak lari dari jalan perjuangan ini, kita pasti bertemu lagi.”
Meutia
tersenyum.
“Kuatkanlah
hatimu,” lanjut Cik Tunong, “sebab akupun mesti menguatkan hatiku, apabila
sesuatu terjadi padamu. Sekali tangan kita berpegangan takkan kita lepaskan di
dunia dan akhirat. Demi kuasa Allah aku mencintaimu.”
Sinar mata
mereka bertemu dalam cinta, kesabaran, dan keikhlasan. Senyum terkembang lagi
mengantarkan pejuangan. Dan dalam cinta itu mereka akan terus melawan
penjajahan. Jemari Cik Tunong menyentuh lembut dagu Meutia, dikecupnya pipi
Meutia.
“Aku
mencintaimu.” Katanya sekali lagi.
Meutia
tersenyum, wajahnya merona merah, dia tak sanggup berkata-kata lagi. Dia bersyukur
mendapatkan kehidupan yang manis, mendampingi seorang pejuang tangguh, berdiri
tegak di atas jalan perjuangan, teguh melawan kaphe Belanda habis-habisan.
Sayup-sayup
suara iring-iringan konvoi logistik Belanda terdengar. Mereka bersiap,
membidikkan senapan mereka kepada sasaran yang datang. Mangsa semakin dekat,
semua pejuang Aceh secara otomatis bersiap. Senapan telah teracung, rencong dan
kelewang telah terhunus.
“Bersiaplah,
musuh telah datang,” bisik Cik Tunong kepada Meutia. Dia memicingkan matanya,
mengarahkan laras senapannya kepada sasaran. Meutia melakukan hal yang sama.
Perempuan
itu, Meutia, tak ubahnya seperti mawar. Cantik dengan warna merah merekah.
Menggoda mata siapapun yang melihatnya. Namun tak semua orang mampu meraih
hatinya dan memetiknya. Sebab kalau ada sesiapa yang berani sembarangan
bersikap kepadanya, pastilah tertusuk duri-duri di tubuhnya. Dialah mawar yang
merekah di medan perang. Dan bunga yang mekar dipeluk kesulitan adalah bunga
yang paling indah sepanjang zaman. Siapapun lelaki yang berhasil merebut
hatinya dan memetiknya pastilah bahagia selamanya.
Nanggroe
Aceh seperti taman bunga. Di sana tumbuh mawar-mawar yang harum dan indah.
Siapapun yang datang dengan kedamaian akan menemukan keindahan yang menawan.
Akan menemukan keharuman yang memanjakan indera. Pandangan mata akan merasakan
keelokan tak terperi. Sanubari akan dibuai keramahan. Namun apabila ada orang
yang datang hendak menjajah, hendak memiliki tanah ini demi nafsunya, dia akan
mendapati sang mawar begitu teguh membela segalanya. Tidak akan pernah sudi
menyerah kepada penjajah. Memang rapuh mahkota mawar, tapi durinya tajam.
Memang rawan hati perempuan, tapi kalau azzam sudah menghunjam akan dia
pertahankan semuanya sampai penghabisan.
Jalan
setapak itu membelah hutan. Batang-batang pohon yang kekar menjadi pengawal
setia di kiri kanannya. Alang-alang menjadi permadani, berteman dengan semak
belukar. Rombongan konvoi logistik Belanda melintasi jalan itu menuju Keureuto.
Beberapa budak menarik sapi-sapi dan kuda-kuda yang sarat barang bawaan di
punggungnya. Serdadu Belanda berbaris di sisi rombongan itu, memeluk senapan
dengan bayonet runcing di ujung larasnya. Mata mereka waspada mengawasi hutan.
Hati mereka waswas dengan serangan gerombolan yang kerap menghadang konvoi
logistik Belanda.
Komandan
mereka, seorang Belanda berkumis tebal, menunggang kuda dengan gagah di barisan
paling depan. Bibirnya tenggelam di dalam kumis tebal yang jadi kebanggaannya
itu. Dengan kekuatan seratus prajurit terlatih dia ditugaskan untuk
mengantarkan pasokan logistik itu.
Cik Tunong,
Meutia, dan pejuang Aceh telah membidikkan laras senapan mereka kepada sasaran
dari tadi. Jumlah mereka jauh lebih sedikit daripada jumlah pasukan Belanda
itu. Namun ada berapa banyak peperangan yang dimenangkan oleh pihak yang
jumlahnya lebih sedikit dengan karunia Allah? Saat musuh sudah memasuki jarak
tembak, mereka akan menghujani musuh dengan timah-timah panas. Mereka akan
menjadi malaikat maut yang mencabut roh-roh kotor kaphe Belanda.
Semilir angin
halus merayu. Mengantarkan helai dedaunan lepas dari tangkainya. Lalu jatuh ke
tanah Aceh yang sedang didera penjajahan. Udara teduh dilindungi bayang-bayang
pepohonan. Derap langkah pasukan Belanda ditentang sorot mata tajam pejuang
Aceh. Kemudian napas tercekat…
TAR…
TAR…TAR....
Moncong
senapan bergemuruh, meletup-letup bersemburat kilatan api menyeruak dari balik
batang-batang pohon dan semak-semak.
Pejuang Aceh memberondong pasukan Belanda dengan peluru-peluru tajam. Telunjuk mereka ringan saja menarik pelatuk senapan, seolah nyawa prajurit Belanda ada di ujung jari mereka. Cik Tunong membidik, lalu pelurunya melesat. Meutia mengokang senapannya dalam riang.
Pasukan
Belanda seketika gelagapan. Barisan mereka yang tadinya rapi jadi kacau
berantakan. Mereka tiarap, sebagian lagi berlindung di balik hewan-hewan
tunggangan dan gerobak-gerobak. Mereka balas menembak kepada
penyerang-penyerang mereka. Komandan Belanda itu berteriak-teriak memberi
komando, kudanya meringkik tak karuan. Tiba-tiba sebutir peluru melesat
menembus kepalanya, darah terpuncrat dari sana, dia mati seketika.
Baku tembak
menyalakan hutan yang tadinya sepi. Pasukan Belanda telah banyak yang mati di
ujung moncong senapan pejuang Aceh, namun mereka tetap bertahan dengan segenap
kekuatan yang mereka punya. Peluru di senapan Cik Tunong telah habis. Dia cabut
pedang di pinggangnya, lalu memekik.
“ALLAAAAAAHU
AKBAR.”
Tanpa ragu
Meutia pun mencabut rencongnya, tetap setia berjuang di sisi suaminya. Para
pejuang Aceh meraung dan bersorak, keluar dari tempat persembunyian mereka
dengan menenteng pedang, rencong, dan kelewang. Dengan gagah berani mereka
menyerbu tentara Belanda. Perang jarak dekat telah pecah.
Ayunan
pedang Cik Tunong menerabas perut seorang tentara Belanda, kemudian seorang
lagi, lalu seorang lagi, hingga tak terhitung lagi. Sebenarnya telah banyak
luka bersarang di tubuhnya, tapi dia tak merasakannya. Dia berperang dengan kegigihan
tiada tara. Namun tiba-tiba dia melihat dua orang tentara Belanda mengacungkan
bayonet ke arahnya. Dia meraung hendak menyambut peluru dari musuhnya itu.
Walau dia tahu dia takkan selamat, dia bangga telah hidup sebagai pejuang yang
terhormat.
Meletuslah
senapan tentara Belanda itu, darah suci memancar… Darah Meutia.
Dua tentara
Belanda itu mati ditikam dari belakang oleh pejuang Aceh. Meutia terpental ke
belakang, menimpa tubuh Cik Tunong. Saat tentara Belanda itu hendak menembak
suaminya dia jadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai.
Cik Tunong
dan Meutia jatuh berdebam bertindihan di tanah. Kecamuk medan perang membahana
di sekitar mereka. Buru-buru Cik Tunong menangkap tubuh Meutia dan memeluknya.
Tubuh Meutia telah berlubang ditembus peluru Belanda, darah bergelimang di
mana-mana. Mulutnya terbuka mencari-cari udara, setetes darah mengalir di
sela-sela bibirnya. Bulir keringat tumpah di dahinya. Air suci menetes dari
balik kelopak matanya.
“Meutia…
Meutia,” bisik Cik Tunong. Lelaki gagah itu menangis. Ya, dia menangis.
Tangan
Meutia terangkat lemah, menuju wajah Cik Tunong, menghapuskan air matanya.
Tiba-tiba Meutia tersenyum pada suaminya itu. Ingin dia sampaikan kepada
manusia sepenuh dunia bahwa hidupnya berbahagia. Mati di jalan perjuangan,
dalam pangkuan orang yang paling dicintainya. Kemudian napasnya putus, cahaya
matanya berubah redup. Dia sudah berangkat ke hadirat Tuhannya.
“Allah…
Meutia…” desah Cik Tunong. Dia peluk jenazah istrinya erat-erat dalam
gelimang air mata. Dia timang-timang, lalu berbisik kepada jenazah istrinya.
“Kita
takkan berpisah.”
Cik Tunong
membaringkan tubuh Meutia di atas kehormatan tanah medan perang. Dia pungut
pedangnya, lalu dia hapus air matanya. Dia menerjang dan mengamuk
mencerai-beraikan penjajahan. Telah banyak tentara Belanda yang mati di
tangannya, hingga kasih sayang Allah yang kemudian bicara. Sebutir peluru entah
dari mana datangnya menembus dadanya. Dia tumbang. Hidupnya pupus, perjuangnya
telah usai.
Janji itu
telah terukir. Mereka tak pernah berpisah. Dengan bergandengan tangan mereka
lalui pintu yang bercahaya itu. Pintu yang pasti akan dilalui oleh pejuang yang
syahid di jalan Tuhan. Perang Sabil adalah janji Allah. Di sana hanya
ada cinta, Hanya satu Cinta saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar