Oleh : Chaerol Riezal
“Hukum sebab akibat adalah salah satu instrument Tuhan dalam menciptakan keseimbangan makro kosmis, siapa menanam angin akan menuai badai, setiap kebaikan dan kejahatan walau sebesar bija atom pun pasti akan mendapatkan konsekwensi baik sekarang atau nanti di alam akhirat. Sesuatu yang baik pastinya datang dari Tuhan dan sesuatu yangg jelek pasti datang dari diri kita. Karena sudah jelas yang salah dan yang baik, tinggal manusia yang memilih. Sebagai manusia kita tidak tahu apakah mereka benar atau salah, tapi yakinlah Allah Maha Adil dalam memberikan hukuman maupun penghargaan pada mahluknya. Dan semuanya harus dijadikan intropeksi bagi kita, baik secara pribadi maupun secara bangsa.”
Menguak
sebuah sejarah adalah berbicara tentang masa lalu, untuk dijadikan pelajaran
guna merumuskan masa depan yang lebih baik, bukan untuk larut dan terbelenggu
dengan masa silam. Maka sepahit apapun itu, sejarah harus dikemukakan apa
adanya tanpa ada unsur kebohongan, tidak perlu dibelok-belokan. Membuka
kebenaran sejarah jangan dimaknai dengan upaya menggetarkan luka lama dan
melahirkan dendam, tapi justru dihadapi secara dewasa agar tidak terjadi
kesalahpahaman berkempanjangan. Tanpa ada masa lalu bagaimana ada masa depan
tuan.
Bukan
hal yang aneh jika Aceh (Banda Aceh-Nusantara) inilah yang pertama kali
disinari cahaya Islam yang dibawah oleh para pedagang Arab. Maka dari itu,
Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”. Sejarah
Aceh adalah Islam, dan Islam mewarnai sejarah Aceh. Sepanjang masa
perjalanannya, Aceh selalu mengukir sejarah dan Aceh akan terus berbicara akan
tentang sejarahnya. Sejarahlah yang membuat kita bangga pada hari ini. Maka
kebanggaan generasi dimasa yang akan datang adalah sejarah yang harus kita ukir
dimasa sekarang.
Sebelum
saya melanjutkan tulisan ini, perlu saya tegaskan bahwa walaupun saya berasal
dari Putra Aceh, namun saya tidak memihak kepada siapa pun. Saya ibarat berada
ditengah-tengah lautan yang luas dan tak ingin terdampar dipantai manapun tapi
justru saya ingin meluruskan arus yang berbelok arah agar tidak singgah dimana
pun maupun demi maksud tujuan tertentu.
Tak bisa
dipungkiri dan tak terbantahkan lagi, bahwa Aceh menjadi gudang penghasil
pahlawan Perempuan maupun Pria. Tentu saja sebutan itu bukan asal disebut. Mari
kita membuka Mata selembar mungkin mengenai sejarah Bumi Serambi Mekkah ini
(Aceh). Maka sederet nama-nama para pejuang inoeng atau pemimpin wanita perkasa
Aceh tersuguhkan. Kisah pun tak kalah heroik dengan kaum Agam alias Pria.
Berbicara
tentang perjuangan emansipasi wanita di Indonesia, maka secara jujur kita harus
mengakui, bahwa berdasarkan fakta sejarah dan bukti menunjukkan bahwa sudah
sejak abad ke-15 Masehi, Aceh telah melaksanakan emansipasi wanita maupun
dikalangan laki-laki. Percaya tidak percaya, silahkan buka sejarah, maka
sejarahlah yang nantinya akan berbicara tentang pahlawan-pahlawan perkasa Aceh.
Pertama-tama
dalam tulisan saya ini timbul pertanyaan dalam benak saya. Kenapa dan Mengapa
Kartini? Alasan itulah yang kemudian membuat saya menulis tulisan ini. Bahwa
perempuan asal Jepara itu, telah menjadi ikon Kebangkitan Perempuan Indonesia.
Perempuan yang dianggap telah berhasil mengangkat citra wanita Indonesia
melalui pendidikan, melawan adat istiadat di masyarakat Jawa yang tidak memihak
pada kaumnya.
Kartini yang
mempunyai nama lengkap Raden Ajeng Kartini, lahir pada tanggal 21 April 1879 di
bumi Jepara, Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari salah seorang Bangsawan yang
masih taat pada adat istiadat sehingga tak mungkin baginya bergaul dan hidup
dengan rakyat jelata. Setelah lulus dari ELS (Europese Lagere School) setingkat
dengan SD, Kartini tidak diperbolehkan lagi melanjutkan sekolah yang lebih
tinggi oleh orang tuanya, sehingga harapannya untuk melamjutkan sekolah yang
lebih tinggi pupus sudah. Hari-harinya
ia habiskan hanya untuk berdiam dirumah sambil menunggu untuk dinikahi, beliau
sangat sedih akan hal ini dan ingin sekali menentang tetapi takut akan dianggap
sebagai anak durhaka. Untuk mengisi kesedihan ini, Kartini mengumpulkan
surat-surat, majalah, buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya
untuk dibaca ditaman rumahnya serta mengajak teman wanitanya untuk diajar tulis
menulis dan belajar ilmu pengetahuan lainnya.
Raden Ajeng
Kartini telah sekian lama mendominasi buku-buku pelajaran dan terutama
buku-buku tingkat SD di seluruh Indonesia. Ia sangat diagung-agung dan
diulek-ulekkan sebagai pahlawan emansipasi wanita. Bahkan oleh pihak Belanda sekalipun
yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun lamanya, nama Kartini
dinobatkan sebagai salah satu jalan di negeri Kincir Angin itu. Inilah sebuah
penghargaan yang besar yang juga tak pernah dan tidak mungkin diberikan untuk
orang yang dianggap “Musuh” (Wanita Aceh).
Hari berkebaya adalah ajakan yang menunjukan sebuah penghargaan dan rasa
bangga serta rasa hormat para perempuan di pulau Jawa terhadap Kartini sosok
yang diyakini telah melakukan perubahan terhadap bangsanya, rasa bangga
sekaligus pengabdian yang ditunjukkan dengan sikap mengajak seluruh perempuan
Indonesia lainnya untuk ikut mengabadikan tokoh perempuan dari kampung halaman
mereka. Begitulah bunyinya sosok pahlawan bagi perempuan pulau Jawa.
Tanggal 21 April bagi kalangan kaum wanita di negeri ini tentu saja
merupakan hari yang Istimewa dan Special. Karena pada tanggal tersebutlah salah
seorang putri “Kebanggan” Indonesia dilahirkan di bumi Jepara, Jawa Tengah.
Yaitu Raden Ajeng Kartini (1879-1904) namanya. Sebagai salah satu anak manusia
yang pernah mengenyam bangku sekolah di negeri ini, tentunya saya juga menaruh
rasa hormat yang dalam terhadap sosok wanita yang oleh masyarakat Kadung dianggap sebagai figure
teladan perempuan pejuang dan tokoh emansipasi wanita ini. Namun setelah saya
pikirkan perlahan-lahan beranjak dewasa, kini saya mulai sadar bahwa Kartini
ternyata tak se-sakral itu. Dan kini saya juga tertarik untuk mengkritisi sosok
Putri Kebanggan Indonesia ini, secara Objektif tentunya.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sang “Putri Yang Mulia” (Sebutan
beliau dalam salah satu lirik lagu nasional Ibu Kita Kartini), izinkanlah saya
mengungkapkan beberapa kegundahan hati yang mengganjal di benak saya tentang
R.A Kartini ini.
Pertama-tama bolehlah dan izinkanlah saya paparkan beberapa cuplikkan lirik
dalam Lagu Ibu Kita Kartini yang juga bisa menjadi renungan kita bersama.
Berikut ini beberapa petikan lirik lagu “Sakral” tersebut yang masih saya
ingat:
Ibu Kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia.
Nah dalam lirik lagu diatas nampak jelas begitu terpujinya Kartini ini. Terbukti dengan menyebutkan “Putri Yang Mulia” pada beliau. Dan ada lagi satu bait dalam lirik lagu tersbut yang juga dapat kita kritisi bersama, yaitu pada kata ”Sungguh Besar Cita-Citanya Bagi Indonesia.”
Sebenarnya apakah gerangan cita-cita besar Kartini yang oleh banyak orang
disebut sebagai cita-cita yang mulia itu? Jawabannya (tolong anda analisa
sendiri) konon adalah perjuangan mengenai emansipasi dan kesetaraan Gender.
Untuk membahas masalah ini (Emansipasi dan Kesetaraan Gender) sungguh
membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan tentunya akan selalu menimbulkan Pro
dan Kontra setelahnya. Maka dalam tulisan ini saya mencoba mengambil sisi lain
yang juga layak untuk dicermati. Yaitu mengenai kelayakan Kartini menyandang
gelar Tokoh Emansipasi Wanita sehingga dijadikan sebagai Inspirator dan simbol
sakral bagi para wanita di negeri ini hingga hari ini.
Nama R.A
Kartini sebenarnya baru “Terkenal dan Meledak” sedemikian rupa pasca
diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya dengan para Nonik Belanda. Kumpulan
surat yang diberi judul ”Door
Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) itu sendiri
diterbitkan 14 tahun setelah kematian Kartini. Dan inilah yang patut digaris
bawahi, penerbitnya adalah Belanda sang penjajah negeri ini. Menjadi menarik
jika kita cermati apakah gerangan maksud Belanda dibalik semua itu? Mengapa
kita patut curiga dengan maksud negeri yang telah mengeruk kekayaan perut
Indonesia selama 3,5 Abad ini? Karena tidak mungkin negara yang tabiatnya
adalah penjajah melakukannya dengan tanpa tujuan tertentu yang besar
dibaliknya. Belanda boleh saja tidak menjajah Indonesia lagi secara fisik namun
haram bagi mereka jika melepaskan Indonesia secara cuma-cuma karena negara
inilah yang telah menghidupi negeri Kincir Angin tersebut selama 350 tahun
lamanya.Pengkultusan Kartini adalah salah satu buah manis yang dihasilkan dari
penanaman benih sejarah oleh Belanda melalui diterbitkannya buku Habis Gelap
Terbitlah Terang.
Yang menjadi
pertanyaan: Mengapa hanya Kartini saja yang menjadi sosok wanita yang hingga
kini dikultuskan sebagai Tokoh Inspirator bagi para kaum hawa dinegeri ini? Dan
mengapa hanya Kartini yang mungkin tidak pernah mendengar suara bentakan
penjajah pun dijadikan sebagai pahlawan? Hal ini nampaknya tak lain adalah
merupakan sisa-sisa proyek Belanda yang ingin meracuni otak anak-anak Indonesia
melalui pembelokkan sejarah yang dibentuknya. Ingat bung, Kartini mulai
terkenal namanya pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya oleh Belanda.
Kartini lebih disukai Belanda karena tidak membahayakan kepentingan Belanda.
Karena tidak ada gerakan nyata dari Kartini yang memberi pengaruh luas pada
masyarakatnya kala itu.
Kartini
adalah anak priyayi alias dari kalangan Ningrat yang pergaulannya sangat
terbatas, hingga tak mungkin baginya bergaul dengan rakyat jelata, karena kala
itu masih berlaku sistem Kasta Sosial. Maka wajar saja jika Harsja W. Bahtiar dalam artikel
berjudul “Kartini dan Peranan Wanita
dalam Masyarakat Kita” yang terangkum dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990,
cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W.
Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang
emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada konstruk (bentukan)
orang-orang Belanda.
Maaf cakap,
bandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang tak mau berkompromi dan sangat membenci
Belanda (bek kamat jaroe ke, kapee ceulaka. Tegas Cut Nyak Dhien). Sungguh
inilah nampaknya juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Kartini sangat di
anak emaskan oleh Belanda sehingga sejarah mengenai dirinya begitu agung,
dipuji dan sangat diagung-angungkan hingga kini diberikan sebuah penghargaan
besar, meski sesungguhnya dia tak layak untuk itu. Maka dari sini kita dapat
menarik sebuah benang merah yang terputus mengapa kini hanya Kartini yang
sejarahnya begitu gencar dipublikasikan dan bahkan hari kelahiranya diperingati
setiap tahun secara meriah mulai dari pemakaian adat istiadat, Kebaya oleh para
wanita negeri ini di hari tersebut hingga kegiatan-kegiatan seremonial lainnya.
Padahal jika
boleh dikata tokoh ini masih dalam tahap bercita-cita serta bermimpi dan belum
bergerak secara nyata dan sumbangsihnya bagi masyarakatnya kala itu juga tidak
terlalu mencolok. Lantas mengapa justru Kartini yang diagung-agungkan sebagai
Putri Indonesia yang mulia dan membanggakan?? Ah nampaknya kita memang lebih
senang kepada tokoh yang berkoar-koar dan ucapannya yang indah meski
tindakannya belum nyata ada (No Action Talk Only). Sama seperti kasus
penganugerahan Nobel Perdamaian bagi Obama yang banyak dikritik oleh banyak
masyarakat dunia karena sebenarnya dia tidak layak untuk itu sebab Obama
menurut mereka hanya pandai berpidato namun Actionnya jauh dari apa yang
diharapkan.
So, jika hingga hari ini Kartini masih dikultuskan sedemikian rupa, itu adalah hasil rekayasa manis dari pihak-pihak tertentu yang ingin terus membelokkan sejarah bangsa ini yang Shahih dan asli. Belanda dan pihak-pihak yang berkepentingan mencengkeram Indonesia ingin agar generasi baru Indonesia, terutama wanitanya, supaya menjadi seperti Kartini yang jinak pada Barat, dan paham keagamaannya Pluralis alias tidak fanatik dan taat pada agamanya. Mengapa demikian ?? Karena Islam adalah musuh yang sangat ditakuti oleh kaum Barat/penjajah (seperti halnya kata Christian Snouck Hurgonje). Dan jika semua itu berjalan sesuai Proyek mereka, maka bangsa Indonesia ini akan tetap mudah mereka kontrol.
Lalu Kalau Begitu Kapan Hari Perempuan Aceh?
Kalau menggunakan
teks-teks atau konteks tentang Kartini, kita bisa temukan ditempat R.A Kartini
lahir dalam semua buku wajib serta dalam lagu wajib. Ini tentu tidak terlepas
dari pengaruh kekuasaan yang berada di Jakarta. Sedangkan dalam hal mengenai
keacehan jadi terabaikan dan untuk Aceh lebih baik tutup buku (masa bodoh).
Dengan demikian, tentang Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Cut Meurah Intan, Pocut
Baren, Malahayati, Ratu Safiatuddin, Tengku Fakinah, dan Perempuan Aceh lainnya
sering kali tidak dipresentasikan dalam sejumlah buku wajib atau teks wajib
lainnya. Inilah yang merupakan yang disebut sebagai tidak memihak,
ketidakmerataan, ketidakadilan, dan sebagainya.
Barangali
anda perlu diingatkan. Nah ini dia. Perlu kita ketahui, jauh sebelum R.A
Kartini lahir, Aceh telah melahirkan Perempuan-Perempuan Perksa yang jasanya
sungguh laur biasa dan Aceh pula pernah dipimpin oleh pada masa 4 Ratu yang berturut-turut,
dari tahun 1641 - 1699, setelah Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani
mangkat. Maka Aceh pun dipimpin oleh permpuan-permpuan yang begitu gagah dan
sangat berpengaruh dalam hal urusan kenegaraan dan tahta kerajaan, Siapa
mereka? Sebut saja: Taj’al- ‘Alam Safiatuddin Syah, Nuru’l ‘Alam Nakiatu’ddin
Syah, Inayat Zakiatu’ddin Syah dan Kamalat Syah.
Tak sampai
disitu tuan, Aceh juga melahirkan sejumlah Inoeng (Wanita) yang sangat gagah
dan perkasa juga tak kalah dari kaum Agam alias Pria. Mereka bukan hanya
berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pendidik, ulama dan
berjihat, berperang, berjuang di medan perang. Mereka tak rela harus menjadi
budak bangsa asing. Semangat pantang mundur mereka sungguh luar biasa, berkobar
dan bergerilya dianatara peluru menentang setiap penjajahan diatas teriknya
panas matahari. Mereka tak asing lagi bagi rakyat Aceh dan masih menjadi Idola
dihati rakyat Aceh, meraka juga rela meninggalkan keluarga dan harta benda demi
mengusir para penjajah yang kemudian Gugur dalam pertempuran melawan penjajah
demi Aceh Tercinta. Mereka tak lain tak bukan seperti yang telah kita sebutkan
diatas adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren,
Tengku Fakinah, Tengku Fatimah, dan perempuan perkasa Aceh lainnya.
Tapi
ironisnya, pahlawan-pahlawan Aceh ini seringkali disebut sebagai “Musuh” dalam
sejumlah buku sejarah Aceh yang ditulis oleh para penulis Belanda. Musuh
tentunya memang tidak akan dijadikan nama jalan di Belanda seperti yang
diberikan untuk seorang Kartini. Musuh juga tidak mungkin diberikan sebuah
penghargaan yang besar serta sangat diagung-agungkan. Yang namanya musuh tetap
menjadi musuh sampai kapan pun tidak akan pernah berubah dan tidak mungkin
fitnah menjadi sebuah kebenaran. Tapi nyatanya kok demikaian. Mengapa jasa
perjuangan para pejuang Aceh yang murni dan nyata ini, seringkali tidak
terepresentasikan dan berberat sebelah, terutama dalam dunia pendidikan Aceh.
Dengan kata lain, kalau berbicara tentang keacehan tentunya pasti banyak
diabaikan dalam segi apapun itu. Inilah yang oleh Stuart Hall (1998) disebut
sebagai Unrepresentativeness atau tidak mewakili. Maka dari itu, perlu sekali
untuk kita tingkatkan kembali Kearifan Aceh.
Ada iri
dalam benak perempuan dan Rakyat Aceh pada umumnya, karena kenapa tidak salah
satu dari perempuan Aceh yang menjadi ikon Perubahan Perempuan di Indonesia
atau Kebangkitan Perempuan Indonesia maupun sebagai Kiblat Perempuan Indonesia.
Padahal perempuan Acehlah yang lebih lama muncul ketimbang Kartini yang lahir
pada 21 April 1879. Hal ini pernah kita angkat kepermukaan untuk membuktikan
kepada Dunia, bahwa sudah sejak lama Rakyat Aceh telah memberikan tempat
terhormat dan memberi kesempatan kepada kaum wanita sejajar dengan kaum pria,
jauh sebelum kaum Barat dan R.A Kartini berjuang untuk emansipasi kaum wanita.
Namun tidak seperti masa Kartini yang dianggap masih dikekang dan dipingit oleh
adat istiadat Jawa. Dari fakta sejarah tersebut diatas membuktikan, bahwa Aceh
telah berlangsung dalam praktek sejak lama dalam abad ke-15 M, bukan lagi dalam
slogan perjuangan ataupun teori.
Di tahun 2012 ini,
tepatnya tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran Kartini
yang ke-133 kali. Seiring dengan dikeluarnya Keppres RI nomor 108 tahun 1964,
perempuan Jawa asal Jepara ini yang bernama lengkap R.A Kartini dinobatkan
sebagai Pahlawan Nasional serta menetapkan tanggal kelahirannya untuk
diperingati setiap tahun yang kemudian dikenal sebagai “Hari Kartini.” Lantas
bagaimana dengan perempuan Aceh? Lalu kapan hari perempuan Aceh? Adakah lagu
wajib untuk Perempuan Aceh? Bagaimana dengan jasa-jasa mereka yang murni dan
nyata itu? Kapan Perempuan Perkasa Aceh mendominasi buku-buku wajib diseluruh
Indonesia? Sudahkah Perempuan Aceh berbangga dengan tokoh Perempuannya?
Entehlah ! Yang pasti sampai saat ini perempuan Aceh hanya mengetahui dan
mengenal hari Kartini. Rakyat Aceh, Saya dan Kita semua tidak pernah mengenal Hari
Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Merah Intan, Malahayati, Ratu
Safiatuddin, dan Wanita Perkasa Aceh lainnya.
Tapi jikalau sekedar
menanyakan nama-nama pahlawan Aceh baik dari kaum laki-laki maupun kaum
perempuan, Insya Allah dengan lancar lidah akan keluar nama itu. Akan tetapi
jika ditanyai kapan hari dan tanggal berapa Perempuan Perkasa Aceh akan
dikenang layaknya seperti hari Kartini? Saya sangat yakin banyak akan bungkam
bila ditanyai seperti itu dan dengan sedikit menggelengkan kepalanya. Lain
halnya ketika kita ditanyai hari, tanggal, dan bulan kelahiran Kartini
dikenang. Dan saya sendiri pun sudah menanyakan hal ini kepada beberapa kawan
kampus dan beberapa siswa-siswi SMP dan SMA di Aceh bahkan seklipun kepada anak
TK. Mereka dengan senangnya dan lancar menyebut tanggal Hari Kartini yang akan
dikenang di negeri ini. Bahkan beberapa diantara mereka, menghafal sedemikian
fasehnya lirik lagu “Ibu Kita Kartini”. Ini salah siapa? Tanyakan pada diri
anda sendiri. Sungguh ini sangat di sayangkan bila hal ini terus berlanjut ke
generasi-generasi selanjutnya. Padahal Nenek Moyang mereka jauh lebih sakti dan
lebih hebat ketimbang Kartini yang mereka kenal selama ini.
Terus terang
saya katakan, sewaktu masih mengenyam bangku sekolah ditingkat SD, SMP dan SMA,
saya masih ingat sampai sekarang, bahwa guru yang menjelaskan tentang
keistimewaan Aceh dan sejarah Aceh lainnya sangat sedikit dan minim sekali akan
penjelasannya tentang muatan lokal ini. Malahan mereka lebih cenderung terhadap
tokoh-tokoh daerah luar. Tapi kini perlahan-lahan saya mulai sadar bahwa
Pendidikan Aceh sedang sakit tuan. Terutama dalam hal meningkatkan kearifan
lokal itu sendiri dan tentunya tidak mengabaikan sejarah atau muatan luar.
Karena mengapa? Sebagian sejarah Aceh tidak dimasukkan dalam kurikulum kita.
Misalnya seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Perang Aceh, dan sejarah Aceh
lainnya.
Jujur saya
katakan bahwa saya adalah termasuk salah satu korban dunia pendidikan dari
tingkat SD hingga SMA yang cenderung mengabaikan pahlawan dari Aceh. Untungnya
saya mulai bangkit dan sadar tatkala mulai membaca sendiri buku-buku tak wajib
disekolah yang sulit saya dapatkan dipasaran. Terus terang saya katakan sejak
dari SD hingga sampai SMA, saya lebih mengenal Kartini ketimbang pahlawan Perempuan
Aceh yang tak diragukan lagi kepahlawannya padahal Acehlah yang mendominasi
pahlawan diseluruh Indonesia denagan bukti adanya SK Presiden RI. Tapi nyatanya
apa saya dapat, saya tidak pernah mengetahui hal itu dan kini saya mulai
terarah ketika beranjak dewasa. Ini semua tak terlepas dari peranan kekuasaan.
Juga peranan kepala sekolah, terutama guru, yang memilih dan menggunakan teks
tanpa mempertanyakannya. Serta terlalu banyak edaran buku wajib dan pengaruh
Barat yang ingin terus mengabaikan dan mengesampingkan ketokohan Aceh tapi
lebih mengagung-agungkan pahlawan luar.
Seharusnya
pihak sekolah harus kritis dan sadar mengapa mengambil tindakan itu dan mengapa
tidak mengambil teks yang lain serta mengapa teks tersebut tidak meyakinkan
tentang informasi yang setara antara Kartini dengan Perempuan Aceh? Ini jelas
menunjukan bahwa sekolah hanya menjadi tempat Reproduksi baik secara sadar atau
tidak, keinginan politik pada waktu itu. Apakah ini yang disebut dengan
Pendidikan? Ada apa dengan semua ini? Siapa yang berhak disalahkan tolong
beritahukan kepada kami?
Apakah pihak
sekolah pantas disalahkan? Bagi saya antara iya dan tidak. Mungkin juga tidak
sepenuhnya disalahkan karena mereka hanya melaksanakan tugas dari Dinas
Pendidikan. Tapi disisi lain kepala sekolah dan guru patut disalahkan karena
mereka tidak mempersoalkan dan menanyakan hal ini. Dan yang lebih buruk lagi,
mengapa pihak Dinas Pendidikan dan Kementerian yang bertanggung jawab atas
pendidikan di Aceh, tidak mempertanyakan hal-hal yang bersifat aneh ini?
Mengapa pemerintah Aceh tidak mengambil suatu tindakan yang tegas dan nyata
akan masalah pendidikan ini? Jika semua ini di diamkan, tunggulah dampak
negatif yang akan datang. Masa depan bangsa ini dan anak negeri ini akan
berantakan dan terjerumus kedalam jurang khususnya dalam dunia pendidikan.
Kembali kepersoalan. Iya atau Tidak, memang begitu realitasnya yang terpampang dihadapan kita sekarang. Realitas yang membuat kita tertampar dan tercabik. Realita yang memaksa kita untuk bertanya kepada diri sendiri dan hati nurani kita “Patutkah Kita Berbangga Memiliki Perempuan Aceh?” Patutkah kita membusungkan dada sambil berkata “Akulah Perempuan Aceh, Darah Pahlawan dan Pemberani?” Sedangkan penghargaan yang kita berikan kepada pahlawan kita hanya secuil dan tidak seimbang dengan apa yang telah mereka perjuangkan selama itu, walaupun mereka tidak mengharapkan itu, namun mereka layak untuk mendapatkannya. Ini merupakan pukulan telak bagi Perempuan Aceh pada umumnya, jasa mereka sama sekali tidak ada harganya. Jika saja penokohan Kartini ini tidak terjadi, maka saya, tidak akan mengganggu gugat tentang sosok R.A Kartini.
Mengapa Rakyat
Aceh tidak mempersoalkan hal ini dengan serius? Kenapa seluruh
Rakyat Aceh dipaksa untuk mengakui keberadaan Kartini sebagai tokoh emansipasi
wanita? Bukankah jauh sebelum Kartini lahir, Aceh telah memiliki Ratu dan
Perempuan yang emansipasinya melebihi emansipasi Kartini? Barangkali perempuan diluar
Aceh sana dan terutama perempuan Jawa tidak mengakui keberadaan Perempuan Aceh,
seperti Cut Nyak Dhien sebagai tokoh emansipasi wanita, dengan sedikit alasan
mungkin Cut Nyak Dhien berjuang dan berperang melawan penjajah dengan pedang
dan kuda bukan dengan kertas dan pena seperti Kartini? Jika itu alasannya, lalu
bagaimana dengan Ratu Safiatuddin? Ratu Safiatuddin perempuan yang tersohor ke
seantero dunia bukan karena maskulinitasnya seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia,
Malahayati, dan wanita perkasa Aceh lainnya, tetapi karena kehebatannya dalam
memimpin Kerajan Aceh Darussalam.
Perempuan
yang juga memperjuangkan serta mempergunakan kertas dan pena sebagai bagian
dari alat perjuangannya layaknya seperti Kartini. Ataukah karena Sejarah Aceh
tidak pernah mengalami ketimbangan antara lak-laki dan perempuan seperti
kebanyakan perempuan di pulau Jawa sehingga keberadaan perempuan Aceh tidak
patut dijadikan Kiblat Perempuan Indonesia? Mungkin juga Kurikulum kita yang
tidak memihak kepada Aceh, sehingga banyak Sejarah Aceh yang tidak dimasukkan
kedalam kurikulum, yang membuat kebanyakan anak muda-mudi Aceh tidak mengetahui
Sejarah mereka sendiri.
Memang kita tidak
pantas membandingkan dan menyamakan Kartini dengan Perempuan Aceh, karena
penokohan mereka dikenal dengan sudut pandang yang berbeda. Tentu setelahnya
pasti akan timbul Pro dan Kontra jika Kartini disandingkan dan disamakan dengan
Perempuan Aceh. Perempuan Jawa sekarang dan siapapun akan lebih mudah berkata
“kalau Ibu Kartini kami lebih pintar daripada Perempuan Aceh maupun perempuan
Indonesia lainnya, karena beliau berjuang dan melawan adat istiadat yang tidak
memihak kepada kaumnya (wanita) dengan menggunakan Kertas dan Pena. Dan hanya
satu-satunya perempuan yang ketika itu berjuang dengan menggunakan kertas dan
pena hanyalah Perempuan Jawa yang bernama R.A Kartini.”
Bagi saya secara
personal, lebih pantas dan lebih elok lagi jika Kartini dibandingkan atau disandingkan
dengan Perempuan Aceh terdahulu, yang juga menggunakan kertas dan pena sebagai
alat perjuangannya, siapakah beliau? yaitu Ratu Safiatuddin, anak yang masih menjadi
idola hati Rakyat Aceh Sultan Iskandar Muda. Selama ini kita hanya mengenal dan
berbangga dengan Cut Nyak Dhein, karena beliau handal dalam berperang melawan
penjajah, berkuda dan memainkan pedang. Berbangga dengan Cut Meutia, karena
beliau berani menerjang peluru dengan perlawanan hingga tetesan darah
penghabisan. Berbangga dengan Malahayati, karena beliau mampu berlayar
berhari-hari di Samudera luas, sehingga keberadaan pada masa 4 Ratu yang
berturut-turut memimpin Aceh yang lebih politis dan akademis jadi terabaikan.
Sepertinya ada yang
salah dengan cara pandang kita terhadap sosok Wanita Perkasa Aceh ini. Ratu
Safiatuddin bisa saja lebih hebat dan lebih pintar daripada Cut Nyak Dhien, Cut
Meutia, Malahayati, dan perempuan Aceh lainnya. Namun karena sejarah tidak
menceritakan tentang sifat maskulinitas dari pribadi beliau secara detail, maka
tingkat kepopuleran mereka jauh dibawah Perempuan Aceh lainnya. Ratu
Safiatuddin perempuan yang mampu mengatur semua urusan kenegaraan tanpa ada
pedang kiri kanan ditangan beliau. Perempuan Aceh satu ini yang hebat dan mampu
mendominasi tahta kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam pada masanya. Sosok
feminim yang penuh dengan kewibawaan serta kata-kata yang tegas disetiap
surat-suratnya kepada relasi kerajaan.
Sosok yang sangat saya
yakini melebihi kehebatan dan kepintaran Kartini bahkan lebih unggul daripada
sosok seorang Kartini. Sosok yang hari kelahiran dan hari mangkatnya patut
diabadikan. Sudah saatnya Rakyat Aceh mengenang sebuah hari dan tangal serta
menjadikan salah satu Perempuan Aceh sebagai Perempuan Terhebat di
Nusantara/Sebagai Emansipasi Wanita/Sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Kita
sebagai Rakyat Aceh tidak pantas dan tak patut harus selalu mengenang tokoh
dari daerah lain. Sedangkan tokoh kita sendiri jadi terlupakan. Sehingga tak
layak Perempuan Aceh menjadikan Kartini sebagai Kiblat Perempuan Indonesia.
Sudah saatnya (bukan lagi saatnya) Perempuan Aceh harus berkiblat kepada
Perempuan Aceh yang perkasa terdahulu seperti perempuan negeri ini lakukan
terhadap Kartini. Bagi saya penokohan Kartini sebagai satu-satunya sosok dan
emansipasi wanita perlu dikaji ulang atau membuat sebuah seminar tentang
penokohan ini “Tepatkah Kartini Dijadikan Sebagai Kiblat Perempuan Indonesia?”
Seandainya saja Ibu Kartini
masih hidup, mampukah seorang R.A Kartini menjadi seorang Perempuan Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Papua dan bahkan terutama mampu menjadi Perempuan Aceh?
Jika beliau mampu, maka saya tidak akan mempersoalkan lagi tentang keberadaannya
sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Tapi sayang beliau sudah tiada, sehingga
kesanggupan itupun hanya ada dalam keyakinan para simpatisannya saja. Dan bagi
saya yang belum sepenuhnya mengiyakan dan mengakui bahwa keberadaan Kartini
sebagai tokoh emansipasi wanita akan meyakini Kartini tidak akan pernah mampu
menjadikan Perempuan Indonesia lainnya adalah selain Perempuan Jawa dan
penduduknya.
R.A Kartini saya
mengenal nama Mu ketika saya masih dibangku Taman Kanak-Kanak (TK), karena
setiap tanggal 21 April hampir seluruh negeri ini terutama dipulau Jawa
diharuskan memakai pakaian adat, kebaya dan sejenisnya. Saya juga mengenal nama
Mu lewat sepengkal sejarah yang telah engkau ukir dan lewat sebuah lagu yang
bertajuk “Ibu Kita Kartini” karya WR Supratman. Sungguh dalam lirik lagu itu
engkau sangat dipuji dan mempunyai cita-cita yang besar. Berbeda halnya dengan
Hari Perempuan Aceh dan Perempuan Indonesia lainnya. Saya tidak pernah mengenal
hari mereka: Hari Pahlawan Perempuan Indonesia selain hari Kartini, apalagi
hari Nenek Moyangku, Perempuan Aceh layaknya seperti hari engkau dikenang
dinegeri ini wahai Kartini.
Engaku disebut-sebut
sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita tapi ketika itu saya
belum tahu apa itu emansipasi dan mengapa harus diperjuangkan. Tapi kemudian
perlahan-lahan ketika saya beranjak dewasa saat menginjak Pendidikan Sejarah di
Universitas Syiah Kuala, saya mulai tahu apa yang engkau perjuangkan dan apakah
seperti itu cita-cita yang engkau perjuangkan, Kartini. Tapi sekarang
perjuangan untuk setara dengan kaum laki-laki itu ternyata butuh perjuangan
yang gigih dan lama. Sampai saat ini perempuan masih terus memperjuangkan untuk
mendapatkan kesetaraan yang dicita-citakan oleh Kartini.
Tahukah engkau Kartini,
wanita dan perempuan era modern sekarang sudah bebas untuk keluar rumah dan tak
ada lagi pingitan adat seperti apa yang engkau rasakan dahulu. Terutama
perempuan di pulau jawa mereka sudah bebas keluar rumah, tidak terikat dan
dikekang oleh adat istiadat Jawa bahkan mereka tidak pernah lagi merasakan
seperti yang engkau rasakan dulu Kartini. Juga kawan saya dikampus asal dari
Jawa, Yogyakarta sudah bebas memilih universitas yang di inginkan dan bahkan
keluarganya hijrah dan menetap di Aceh. Ada satu hal lagi Kartini.
Wahai Kartini, alangkah
baiknya engkau mengetahui dan melihat langsung Perempuan Aceh zaman sekarang.
Perempuan-perempuan Aceh saat ini harus menggunakan jilbab dan memakai rok
sebagai tanda, simbol dan lambang Syariat Islam. Perempuan Aceh tidak boleh
lagi memiliki kebebasan untuk bisa mendefinisikan tubuhnya sendiri dalam hal
berpakaian. Perempuan Aceh tidak terbelenggu lagi oleh adat istiadat dan
malahan mereka senang dan bangga dengan aturan yang mengatasnamakan Agama Islam
yang diterapkan melalui Qanun (Undang-Undang Islam) bahkan Satpol PP pun telah
diadakan di Aceh.
Kartini, saya tidak
tahu mengapa engkau mau menikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri
tiga? Mengapa engka mau dimadu, dipingit, dan dikurung dalam rumah? Apakah ini
sebuah bentuk kepatuhanmu terhadap orang tua agar orang tuamu tidak malu?
Ataukah engkau tidak sanggup lagi melawan budaya patriarki dan penafsiran orang
tentang Islam?
Dari perjuangan Mu
Kartini, saya bisa mendapatkan banyak pelajaran. Perjuangan terhadap kaum Mu
tentu sudah kita rasakan saat ini, tapi perjuangan terus akan berlanjut. Salah
satu pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa perempuan memiliki pilihan atas
dirinya sendiri, itulah yang saya maknai sebagai kebebasan menjadi perempuan
sampai saat ini.
Jadi,
kesimpulan yang dapat kita tarik dari pembahasan tulisan ini adalah: Ternyata
jikalau kita dapat berpikir secara akal sehat maka kita akan dengan sangat
yakin untuk mengatakan bahwa yang berhak menyandang status Putri Kebanggaan
Indonesia tersebut adalah Perempuan Aceh bukan R.A Kartini. Dan yang Actionnya
bagi bangsa ini telah terbukti nyata ada dan bukan hanya sekedar
bercita-cita/bermimpi/menulis/melawan adat istiadat/berkawan dengan
Belanda/tanpa jasa yang besar dan Talk Only belaka yang dapat dianggap sebagai
wanita pejuang dan Inspirator sejati bagi wanita Indonesia. Karena kita
sebenarnya lebih butuh action nyata dari seorang manusia yang ditokohkan dan
bukan hanya sekedar omongan belaka. Jika hanya karena memiliki cita-cita yang
besar bagi Indonesia, Kartini telah dicap sebagai Putri Indonesia yang sejati
nan mulia (seperti dalam lirik lagu di atas), lalu kapan Hari yang Special
untuk jasa perempuan-perempuan Aceh, layaknya seperti hari Kartini??? Dan
lantas apa gelar (bukan hanya gelar Pahlawan) yang layak di selamatkan kepada
tokoh-tokoh wanita pejuang yang tidak hanya bercita-cita namun telah berkarya
dan bergerak nyata bagi bangsa ini??? Toh kalau hanya bercita-cita saja seperti
Kartini, maka saya, anda dan semua masyaarakat Indonesia pun juga bisa. Yea
kan? Memang sorang Musuh tidak mungkin untuk diberikan dan tidak layak untuk
mendapatkan sebuah Penghargaan yang besar seperti yang apa yang telah Kartini
dapatkan selama ini. Akan tetapi tolong anda pikirkan sematang mungkin secara
akal sehat tentunya. Terakhir Saran dan Pesan penulis kepada
seluruh Perempuan Aceh “Belajarlah dari Perempuan Jawa maupun Perempuan
Indonesia lainnya dalam hal menghargai jasa pahlawan kita sendiri.”
Penulis Adalah Mahasiswa FKIP Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala.