19 Juni 2012

Perempuan Aceh Lalu Mengapa Kartini?


Oleh : Chaerol Riezal

“Hukum sebab akibat adalah salah satu instrument Tuhan dalam menciptakan keseimbangan makro kosmis, siapa menanam angin akan menuai badai, setiap kebaikan dan kejahatan walau sebesar bija atom pun pasti akan mendapatkan konsekwensi baik sekarang atau nanti di alam akhirat. Sesuatu yang baik pastinya datang dari Tuhan dan sesuatu yangg jelek pasti datang dari diri kita. Karena sudah jelas yang salah dan yang baik, tinggal manusia yang memilih. Sebagai manusia kita tidak tahu apakah mereka benar atau salah, tapi yakinlah Allah Maha Adil dalam memberikan hukuman maupun penghargaan pada mahluknya. Dan semuanya harus dijadikan intropeksi bagi kita, baik secara pribadi maupun secara bangsa.”

Menguak sebuah sejarah adalah berbicara tentang masa lalu, untuk dijadikan pelajaran guna merumuskan masa depan yang lebih baik, bukan untuk larut dan terbelenggu dengan masa silam. Maka sepahit apapun itu, sejarah harus dikemukakan apa adanya tanpa ada unsur kebohongan, tidak perlu dibelok-belokan. Membuka kebenaran sejarah jangan dimaknai dengan upaya menggetarkan luka lama dan melahirkan dendam, tapi justru dihadapi secara dewasa agar tidak terjadi kesalahpahaman berkempanjangan. Tanpa ada masa lalu bagaimana ada masa depan tuan.

Bukan hal yang aneh jika Aceh (Banda Aceh-Nusantara) inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawah oleh para pedagang Arab. Maka dari itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”. Sejarah Aceh adalah Islam, dan Islam mewarnai sejarah Aceh. Sepanjang masa perjalanannya, Aceh selalu mengukir sejarah dan Aceh akan terus berbicara akan tentang sejarahnya. Sejarahlah yang membuat kita bangga pada hari ini. Maka kebanggaan generasi dimasa yang akan datang adalah sejarah yang harus kita ukir dimasa sekarang.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, perlu saya tegaskan bahwa walaupun saya berasal dari Putra Aceh, namun saya tidak memihak kepada siapa pun. Saya ibarat berada ditengah-tengah lautan yang luas dan tak ingin terdampar dipantai manapun tapi justru saya ingin meluruskan arus yang berbelok arah agar tidak singgah dimana pun maupun demi maksud tujuan tertentu.

Tak bisa dipungkiri dan tak terbantahkan lagi, bahwa Aceh menjadi gudang penghasil pahlawan Perempuan maupun Pria. Tentu saja sebutan itu bukan asal disebut. Mari kita membuka Mata selembar mungkin mengenai sejarah Bumi Serambi Mekkah ini (Aceh). Maka sederet nama-nama para pejuang inoeng atau pemimpin wanita perkasa Aceh tersuguhkan. Kisah pun tak kalah heroik dengan kaum Agam alias Pria.

Berbicara tentang perjuangan emansipasi wanita di Indonesia, maka secara jujur kita harus mengakui, bahwa berdasarkan fakta sejarah dan bukti menunjukkan bahwa sudah sejak abad ke-15 Masehi, Aceh telah melaksanakan emansipasi wanita maupun dikalangan laki-laki. Percaya tidak percaya, silahkan buka sejarah, maka sejarahlah yang nantinya akan berbicara tentang pahlawan-pahlawan perkasa Aceh.

Pertama-tama dalam tulisan saya ini timbul pertanyaan dalam benak saya. Kenapa dan Mengapa Kartini? Alasan itulah yang kemudian membuat saya menulis tulisan ini. Bahwa perempuan asal Jepara itu, telah menjadi ikon Kebangkitan Perempuan Indonesia. Perempuan yang dianggap telah berhasil mengangkat citra wanita Indonesia melalui pendidikan, melawan adat istiadat di masyarakat Jawa yang tidak memihak pada kaumnya.

Kartini yang mempunyai nama lengkap Raden Ajeng Kartini, lahir pada tanggal 21 April 1879 di bumi Jepara, Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari salah seorang Bangsawan yang masih taat pada adat istiadat sehingga tak mungkin baginya bergaul dan hidup dengan rakyat jelata. Setelah lulus dari ELS (Europese Lagere School) setingkat dengan SD, Kartini tidak diperbolehkan lagi melanjutkan sekolah yang lebih tinggi oleh orang tuanya, sehingga harapannya untuk melamjutkan sekolah yang lebih tinggi  pupus sudah. Hari-harinya ia habiskan hanya untuk berdiam dirumah sambil menunggu untuk dinikahi, beliau sangat sedih akan hal ini dan ingin sekali menentang tetapi takut akan dianggap sebagai anak durhaka. Untuk mengisi kesedihan ini, Kartini mengumpulkan surat-surat, majalah, buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya untuk dibaca ditaman rumahnya serta mengajak teman wanitanya untuk diajar tulis menulis dan belajar ilmu pengetahuan lainnya.

Raden Ajeng Kartini telah sekian lama mendominasi buku-buku pelajaran dan terutama buku-buku tingkat SD di seluruh Indonesia. Ia sangat diagung-agung dan diulek-ulekkan sebagai pahlawan emansipasi wanita. Bahkan oleh pihak Belanda sekalipun yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun lamanya, nama Kartini dinobatkan sebagai salah satu jalan di negeri Kincir Angin itu. Inilah sebuah penghargaan yang besar yang juga tak pernah dan tidak mungkin diberikan untuk orang yang dianggap “Musuh” (Wanita Aceh).

Hari berkebaya adalah ajakan yang menunjukan sebuah penghargaan dan rasa bangga serta rasa hormat para perempuan di pulau Jawa terhadap Kartini sosok yang diyakini telah melakukan perubahan terhadap bangsanya, rasa bangga sekaligus pengabdian yang ditunjukkan dengan sikap mengajak seluruh perempuan Indonesia lainnya untuk ikut mengabadikan tokoh perempuan dari kampung halaman mereka. Begitulah bunyinya sosok pahlawan bagi perempuan pulau Jawa.
Tanggal 21 April bagi kalangan kaum wanita di negeri ini tentu saja merupakan hari yang Istimewa dan Special. Karena pada tanggal tersebutlah salah seorang putri “Kebanggan” Indonesia dilahirkan di bumi Jepara, Jawa Tengah. Yaitu Raden Ajeng Kartini (1879-1904) namanya. Sebagai salah satu anak manusia yang pernah mengenyam bangku sekolah di negeri ini, tentunya saya juga menaruh rasa hormat yang dalam terhadap sosok wanita yang oleh masyarakat Kadung dianggap sebagai figure teladan perempuan pejuang dan tokoh emansipasi wanita ini. Namun setelah saya pikirkan perlahan-lahan beranjak dewasa, kini saya mulai sadar bahwa Kartini ternyata tak se-sakral itu. Dan kini saya juga tertarik untuk mengkritisi sosok Putri Kebanggan Indonesia ini, secara Objektif tentunya.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sang “Putri Yang Mulia” (Sebutan beliau dalam salah satu lirik lagu nasional Ibu Kita Kartini), izinkanlah saya mengungkapkan beberapa kegundahan hati yang mengganjal di benak saya tentang R.A Kartini ini.
Pertama-tama bolehlah dan izinkanlah saya paparkan beberapa cuplikkan lirik dalam Lagu Ibu Kita Kartini yang juga bisa menjadi renungan kita bersama. Berikut ini beberapa petikan lirik lagu “Sakral” tersebut yang masih saya ingat:
Ibu Kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia.

Nah dalam lirik lagu diatas nampak jelas begitu terpujinya Kartini ini. Terbukti dengan  menyebutkan “Putri Yang Mulia” pada beliau. Dan ada lagi satu bait dalam lirik lagu tersbut yang juga dapat kita kritisi bersama, yaitu pada kata ”Sungguh Besar Cita-Citanya Bagi Indonesia.”
Sebenarnya apakah gerangan cita-cita besar Kartini yang oleh banyak orang disebut sebagai cita-cita yang mulia itu? Jawabannya (tolong anda analisa sendiri) konon adalah perjuangan mengenai emansipasi dan kesetaraan Gender. Untuk membahas masalah ini (Emansipasi dan Kesetaraan Gender) sungguh membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan tentunya akan selalu menimbulkan Pro dan Kontra setelahnya. Maka dalam tulisan ini saya mencoba mengambil sisi lain yang juga layak untuk dicermati. Yaitu mengenai kelayakan Kartini menyandang gelar Tokoh Emansipasi Wanita sehingga dijadikan sebagai Inspirator dan simbol sakral bagi para wanita di negeri ini hingga hari ini.
Nama R.A Kartini sebenarnya baru “Terkenal dan Meledak” sedemikian rupa pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya dengan para Nonik Belanda. Kumpulan surat yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) itu sendiri diterbitkan 14 tahun setelah kematian Kartini. Dan inilah yang patut digaris bawahi, penerbitnya adalah Belanda sang penjajah negeri ini. Menjadi menarik jika kita cermati apakah gerangan maksud Belanda dibalik semua itu? Mengapa kita patut curiga dengan maksud negeri yang telah mengeruk kekayaan perut Indonesia selama 3,5 Abad ini? Karena tidak mungkin negara yang tabiatnya adalah penjajah melakukannya dengan tanpa tujuan tertentu yang besar dibaliknya. Belanda boleh saja tidak menjajah Indonesia lagi secara fisik namun haram bagi mereka jika melepaskan Indonesia secara cuma-cuma karena negara inilah yang telah menghidupi negeri Kincir Angin tersebut selama 350 tahun lamanya.Pengkultusan Kartini adalah salah satu buah manis yang dihasilkan dari penanaman benih sejarah oleh Belanda melalui diterbitkannya buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Yang menjadi pertanyaan: Mengapa hanya Kartini saja yang menjadi sosok wanita yang hingga kini dikultuskan sebagai Tokoh Inspirator bagi para kaum hawa dinegeri ini? Dan mengapa hanya Kartini yang mungkin tidak pernah mendengar suara bentakan penjajah pun dijadikan sebagai pahlawan? Hal ini nampaknya tak lain adalah merupakan sisa-sisa proyek Belanda yang ingin meracuni otak anak-anak Indonesia melalui pembelokkan sejarah yang dibentuknya. Ingat bung, Kartini mulai terkenal namanya pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya oleh Belanda. Kartini lebih disukai Belanda karena tidak membahayakan kepentingan Belanda. Karena tidak ada gerakan nyata dari Kartini yang memberi pengaruh luas pada masyarakatnya kala itu.
Kartini adalah anak priyayi alias dari kalangan Ningrat yang pergaulannya sangat terbatas, hingga tak mungkin baginya bergaul dengan rakyat jelata, karena kala itu masih berlaku sistem Kasta Sosial. Maka wajar saja jika Harsja W. Bahtiar dalam artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang terangkum dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W. Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada konstruk (bentukan) orang-orang Belanda.
Maaf cakap, bandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang tak mau berkompromi dan sangat membenci Belanda (bek kamat jaroe ke, kapee ceulaka. Tegas Cut Nyak Dhien). Sungguh inilah nampaknya juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Kartini sangat di anak emaskan oleh Belanda sehingga sejarah mengenai dirinya begitu agung, dipuji dan sangat diagung-angungkan hingga kini diberikan sebuah penghargaan besar, meski sesungguhnya dia tak layak untuk itu. Maka dari sini kita dapat menarik sebuah benang merah yang terputus mengapa kini hanya Kartini yang sejarahnya begitu gencar dipublikasikan dan bahkan hari kelahiranya diperingati setiap tahun secara meriah mulai dari pemakaian adat istiadat, Kebaya oleh para wanita negeri ini di hari tersebut hingga kegiatan-kegiatan seremonial lainnya.

Padahal jika boleh dikata tokoh ini masih dalam tahap bercita-cita serta bermimpi dan belum bergerak secara nyata dan sumbangsihnya bagi masyarakatnya kala itu juga tidak terlalu mencolok. Lantas mengapa justru Kartini yang diagung-agungkan sebagai Putri Indonesia yang mulia dan membanggakan?? Ah nampaknya kita memang lebih senang kepada tokoh yang berkoar-koar dan ucapannya yang indah meski tindakannya belum nyata ada (No Action Talk Only). Sama seperti kasus penganugerahan Nobel Perdamaian bagi Obama yang banyak dikritik oleh banyak masyarakat dunia karena sebenarnya dia tidak layak untuk itu sebab Obama menurut mereka hanya pandai berpidato namun Actionnya jauh dari apa yang diharapkan.

So, jika hingga hari ini Kartini masih dikultuskan sedemikian rupa, itu adalah hasil rekayasa manis dari pihak-pihak tertentu yang ingin terus membelokkan sejarah bangsa ini yang Shahih dan asli. Belanda dan pihak-pihak yang berkepentingan mencengkeram Indonesia ingin agar generasi baru Indonesia, terutama wanitanya, supaya menjadi seperti Kartini yang jinak pada Barat, dan paham keagamaannya Pluralis alias tidak fanatik dan taat pada agamanya. Mengapa demikian ?? Karena Islam adalah musuh yang sangat ditakuti oleh kaum Barat/penjajah (seperti halnya kata Christian Snouck Hurgonje). Dan jika semua itu berjalan sesuai Proyek mereka, maka bangsa Indonesia ini akan tetap mudah mereka kontrol.


Lalu Kalau Begitu Kapan Hari Perempuan Aceh?

Kalau menggunakan teks-teks atau konteks tentang Kartini, kita bisa temukan ditempat R.A Kartini lahir dalam semua buku wajib serta dalam lagu wajib. Ini tentu tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan yang berada di Jakarta. Sedangkan dalam hal mengenai keacehan jadi terabaikan dan untuk Aceh lebih baik tutup buku (masa bodoh). Dengan demikian, tentang Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Cut Meurah Intan, Pocut Baren, Malahayati, Ratu Safiatuddin, Tengku Fakinah, dan Perempuan Aceh lainnya sering kali tidak dipresentasikan dalam sejumlah buku wajib atau teks wajib lainnya. Inilah yang merupakan yang disebut sebagai tidak memihak, ketidakmerataan, ketidakadilan, dan sebagainya.

Barangali anda perlu diingatkan. Nah ini dia. Perlu kita ketahui, jauh sebelum R.A Kartini lahir, Aceh telah melahirkan Perempuan-Perempuan Perksa yang jasanya sungguh laur biasa dan Aceh pula pernah dipimpin oleh pada masa 4 Ratu yang berturut-turut, dari tahun 1641 - 1699, setelah Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani mangkat. Maka Aceh pun dipimpin oleh permpuan-permpuan yang begitu gagah dan sangat berpengaruh dalam hal urusan kenegaraan dan tahta kerajaan, Siapa mereka? Sebut saja: Taj’al- ‘Alam Safiatuddin Syah, Nuru’l ‘Alam Nakiatu’ddin Syah, Inayat Zakiatu’ddin Syah dan Kamalat Syah.

Tak sampai disitu tuan, Aceh juga melahirkan sejumlah Inoeng (Wanita) yang sangat gagah dan perkasa juga tak kalah dari kaum Agam alias Pria. Mereka bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pendidik, ulama dan berjihat, berperang, berjuang di medan perang. Mereka tak rela harus menjadi budak bangsa asing. Semangat pantang mundur mereka sungguh luar biasa, berkobar dan bergerilya dianatara peluru menentang setiap penjajahan diatas teriknya panas matahari. Mereka tak asing lagi bagi rakyat Aceh dan masih menjadi Idola dihati rakyat Aceh, meraka juga rela meninggalkan keluarga dan harta benda demi mengusir para penjajah yang kemudian Gugur dalam pertempuran melawan penjajah demi Aceh Tercinta. Mereka tak lain tak bukan seperti yang telah kita sebutkan diatas adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, Tengku Fakinah, Tengku Fatimah, dan perempuan perkasa Aceh lainnya.

Tapi ironisnya, pahlawan-pahlawan Aceh ini seringkali disebut sebagai “Musuh” dalam sejumlah buku sejarah Aceh yang ditulis oleh para penulis Belanda. Musuh tentunya memang tidak akan dijadikan nama jalan di Belanda seperti yang diberikan untuk seorang Kartini. Musuh juga tidak mungkin diberikan sebuah penghargaan yang besar serta sangat diagung-agungkan. Yang namanya musuh tetap menjadi musuh sampai kapan pun tidak akan pernah berubah dan tidak mungkin fitnah menjadi sebuah kebenaran. Tapi nyatanya kok demikaian. Mengapa jasa perjuangan para pejuang Aceh yang murni dan nyata ini, seringkali tidak terepresentasikan dan berberat sebelah, terutama dalam dunia pendidikan Aceh. Dengan kata lain, kalau berbicara tentang keacehan tentunya pasti banyak diabaikan dalam segi apapun itu. Inilah yang oleh Stuart Hall (1998) disebut sebagai Unrepresentativeness atau tidak mewakili. Maka dari itu, perlu sekali untuk kita tingkatkan kembali Kearifan Aceh.

Ada iri dalam benak perempuan dan Rakyat Aceh pada umumnya, karena kenapa tidak salah satu dari perempuan Aceh yang menjadi ikon Perubahan Perempuan di Indonesia atau Kebangkitan Perempuan Indonesia maupun sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Padahal perempuan Acehlah yang lebih lama muncul ketimbang Kartini yang lahir pada 21 April 1879. Hal ini pernah kita angkat kepermukaan untuk membuktikan kepada Dunia, bahwa sudah sejak lama Rakyat Aceh telah memberikan tempat terhormat dan memberi kesempatan kepada kaum wanita sejajar dengan kaum pria, jauh sebelum kaum Barat dan R.A Kartini berjuang untuk emansipasi kaum wanita. Namun tidak seperti masa Kartini yang dianggap masih dikekang dan dipingit oleh adat istiadat Jawa. Dari fakta sejarah tersebut diatas membuktikan, bahwa Aceh telah berlangsung dalam praktek sejak lama dalam abad ke-15 M, bukan lagi dalam slogan perjuangan ataupun teori.

Di tahun 2012 ini, tepatnya tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran Kartini yang ke-133 kali. Seiring dengan dikeluarnya Keppres RI nomor 108 tahun 1964, perempuan Jawa asal Jepara ini yang bernama lengkap R.A Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional serta menetapkan tanggal kelahirannya untuk diperingati setiap tahun yang kemudian dikenal sebagai “Hari Kartini.” Lantas bagaimana dengan perempuan Aceh? Lalu kapan hari perempuan Aceh? Adakah lagu wajib untuk Perempuan Aceh? Bagaimana dengan jasa-jasa mereka yang murni dan nyata itu? Kapan Perempuan Perkasa Aceh mendominasi buku-buku wajib diseluruh Indonesia? Sudahkah Perempuan Aceh berbangga dengan tokoh Perempuannya? Entehlah ! Yang pasti sampai saat ini perempuan Aceh hanya mengetahui dan mengenal hari Kartini. Rakyat Aceh, Saya dan Kita semua tidak pernah mengenal Hari Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Merah Intan, Malahayati, Ratu Safiatuddin, dan Wanita Perkasa Aceh lainnya.

Tapi jikalau sekedar menanyakan nama-nama pahlawan Aceh baik dari kaum laki-laki maupun kaum perempuan, Insya Allah dengan lancar lidah akan keluar nama itu. Akan tetapi jika ditanyai kapan hari dan tanggal berapa Perempuan Perkasa Aceh akan dikenang layaknya seperti hari Kartini? Saya sangat yakin banyak akan bungkam bila ditanyai seperti itu dan dengan sedikit menggelengkan kepalanya. Lain halnya ketika kita ditanyai hari, tanggal, dan bulan kelahiran Kartini dikenang. Dan saya sendiri pun sudah menanyakan hal ini kepada beberapa kawan kampus dan beberapa siswa-siswi SMP dan SMA di Aceh bahkan seklipun kepada anak TK. Mereka dengan senangnya dan lancar menyebut tanggal Hari Kartini yang akan dikenang di negeri ini. Bahkan beberapa diantara mereka, menghafal sedemikian fasehnya lirik lagu “Ibu Kita Kartini”. Ini salah siapa? Tanyakan pada diri anda sendiri. Sungguh ini sangat di sayangkan bila hal ini terus berlanjut ke generasi-generasi selanjutnya. Padahal Nenek Moyang mereka jauh lebih sakti dan lebih hebat ketimbang Kartini yang mereka kenal selama ini.

Terus terang saya katakan, sewaktu masih mengenyam bangku sekolah ditingkat SD, SMP dan SMA, saya masih ingat sampai sekarang, bahwa guru yang menjelaskan tentang keistimewaan Aceh dan sejarah Aceh lainnya sangat sedikit dan minim sekali akan penjelasannya tentang muatan lokal ini. Malahan mereka lebih cenderung terhadap tokoh-tokoh daerah luar. Tapi kini perlahan-lahan saya mulai sadar bahwa Pendidikan Aceh sedang sakit tuan. Terutama dalam hal meningkatkan kearifan lokal itu sendiri dan tentunya tidak mengabaikan sejarah atau muatan luar. Karena mengapa? Sebagian sejarah Aceh tidak dimasukkan dalam kurikulum kita. Misalnya seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Perang Aceh, dan sejarah Aceh lainnya.

Jujur saya katakan bahwa saya adalah termasuk salah satu korban dunia pendidikan dari tingkat SD hingga SMA yang cenderung mengabaikan pahlawan dari Aceh. Untungnya saya mulai bangkit dan sadar tatkala mulai membaca sendiri buku-buku tak wajib disekolah yang sulit saya dapatkan dipasaran. Terus terang saya katakan sejak dari SD hingga sampai SMA, saya lebih mengenal Kartini ketimbang pahlawan Perempuan Aceh yang tak diragukan lagi kepahlawannya padahal Acehlah yang mendominasi pahlawan diseluruh Indonesia denagan bukti adanya SK Presiden RI. Tapi nyatanya apa saya dapat, saya tidak pernah mengetahui hal itu dan kini saya mulai terarah ketika beranjak dewasa. Ini semua tak terlepas dari peranan kekuasaan. Juga peranan kepala sekolah, terutama guru, yang memilih dan menggunakan teks tanpa mempertanyakannya. Serta terlalu banyak edaran buku wajib dan pengaruh Barat yang ingin terus mengabaikan dan mengesampingkan ketokohan Aceh tapi lebih mengagung-agungkan pahlawan luar.

Seharusnya pihak sekolah harus kritis dan sadar mengapa mengambil tindakan itu dan mengapa tidak mengambil teks yang lain serta mengapa teks tersebut tidak meyakinkan tentang informasi yang setara antara Kartini dengan Perempuan Aceh? Ini jelas menunjukan bahwa sekolah hanya menjadi tempat Reproduksi baik secara sadar atau tidak, keinginan politik pada waktu itu. Apakah ini yang disebut dengan Pendidikan? Ada apa dengan semua ini? Siapa yang berhak disalahkan tolong beritahukan kepada kami?

Apakah pihak sekolah pantas disalahkan? Bagi saya antara iya dan tidak. Mungkin juga tidak sepenuhnya disalahkan karena mereka hanya melaksanakan tugas dari Dinas Pendidikan. Tapi disisi lain kepala sekolah dan guru patut disalahkan karena mereka tidak mempersoalkan dan menanyakan hal ini. Dan yang lebih buruk lagi, mengapa pihak Dinas Pendidikan dan Kementerian yang bertanggung jawab atas pendidikan di Aceh, tidak mempertanyakan hal-hal yang bersifat aneh ini? Mengapa pemerintah Aceh tidak mengambil suatu tindakan yang tegas dan nyata akan masalah pendidikan ini? Jika semua ini di diamkan, tunggulah dampak negatif yang akan datang. Masa depan bangsa ini dan anak negeri ini akan berantakan dan terjerumus kedalam jurang khususnya dalam dunia pendidikan.

Kembali kepersoalan. Iya atau Tidak, memang begitu realitasnya yang terpampang dihadapan kita sekarang. Realitas yang membuat kita tertampar dan tercabik. Realita yang memaksa kita untuk bertanya kepada diri sendiri dan hati nurani kita “Patutkah Kita Berbangga Memiliki Perempuan Aceh?” Patutkah kita membusungkan dada sambil berkata “Akulah Perempuan Aceh, Darah Pahlawan dan Pemberani?” Sedangkan penghargaan yang kita berikan kepada pahlawan kita hanya secuil dan tidak seimbang dengan apa yang telah mereka perjuangkan selama itu, walaupun mereka tidak mengharapkan itu, namun mereka layak untuk mendapatkannya. Ini merupakan pukulan telak bagi Perempuan Aceh pada umumnya, jasa mereka sama sekali tidak ada harganya. Jika saja penokohan Kartini ini tidak terjadi, maka saya, tidak akan mengganggu gugat tentang sosok R.A Kartini.

Mengapa Rakyat Aceh tidak mempersoalkan hal ini dengan serius? Kenapa seluruh Rakyat Aceh dipaksa untuk mengakui keberadaan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita? Bukankah jauh sebelum Kartini lahir, Aceh telah memiliki Ratu dan Perempuan yang emansipasinya melebihi emansipasi Kartini? Barangkali perempuan diluar Aceh sana dan terutama perempuan Jawa tidak mengakui keberadaan Perempuan Aceh, seperti Cut Nyak Dhien sebagai tokoh emansipasi wanita, dengan sedikit alasan mungkin Cut Nyak Dhien berjuang dan berperang melawan penjajah dengan pedang dan kuda bukan dengan kertas dan pena seperti Kartini? Jika itu alasannya, lalu bagaimana dengan Ratu Safiatuddin? Ratu Safiatuddin perempuan yang tersohor ke seantero dunia bukan karena maskulinitasnya seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Malahayati, dan wanita perkasa Aceh lainnya, tetapi karena kehebatannya dalam memimpin Kerajan Aceh Darussalam.

Perempuan yang juga memperjuangkan serta mempergunakan kertas dan pena sebagai bagian dari alat perjuangannya layaknya seperti Kartini. Ataukah karena Sejarah Aceh tidak pernah mengalami ketimbangan antara lak-laki dan perempuan seperti kebanyakan perempuan di pulau Jawa sehingga keberadaan perempuan Aceh tidak patut dijadikan Kiblat Perempuan Indonesia? Mungkin juga Kurikulum kita yang tidak memihak kepada Aceh, sehingga banyak Sejarah Aceh yang tidak dimasukkan kedalam kurikulum, yang membuat kebanyakan anak muda-mudi Aceh tidak mengetahui Sejarah mereka sendiri.

Memang kita tidak pantas membandingkan dan menyamakan Kartini dengan Perempuan Aceh, karena penokohan mereka dikenal dengan sudut pandang yang berbeda. Tentu setelahnya pasti akan timbul Pro dan Kontra jika Kartini disandingkan dan disamakan dengan Perempuan Aceh. Perempuan Jawa sekarang dan siapapun akan lebih mudah berkata “kalau Ibu Kartini kami lebih pintar daripada Perempuan Aceh maupun perempuan Indonesia lainnya, karena beliau berjuang dan melawan adat istiadat yang tidak memihak kepada kaumnya (wanita) dengan menggunakan Kertas dan Pena. Dan hanya satu-satunya perempuan yang ketika itu berjuang dengan menggunakan kertas dan pena hanyalah Perempuan Jawa yang bernama R.A Kartini.”

Bagi saya secara personal, lebih pantas dan lebih elok lagi jika Kartini dibandingkan atau disandingkan dengan Perempuan Aceh terdahulu, yang juga menggunakan kertas dan pena sebagai alat perjuangannya, siapakah beliau? yaitu Ratu Safiatuddin, anak yang masih menjadi idola hati Rakyat Aceh Sultan Iskandar Muda. Selama ini kita hanya mengenal dan berbangga dengan Cut Nyak Dhein, karena beliau handal dalam berperang melawan penjajah, berkuda dan memainkan pedang. Berbangga dengan Cut Meutia, karena beliau berani menerjang peluru dengan perlawanan hingga tetesan darah penghabisan. Berbangga dengan Malahayati, karena beliau mampu berlayar berhari-hari di Samudera luas, sehingga keberadaan pada masa 4 Ratu yang berturut-turut memimpin Aceh yang lebih politis dan akademis jadi terabaikan. 

Sepertinya ada yang salah dengan cara pandang kita terhadap sosok Wanita Perkasa Aceh ini. Ratu Safiatuddin bisa saja lebih hebat dan lebih pintar daripada Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Malahayati, dan perempuan Aceh lainnya. Namun karena sejarah tidak menceritakan tentang sifat maskulinitas dari pribadi beliau secara detail, maka tingkat kepopuleran mereka jauh dibawah Perempuan Aceh lainnya. Ratu Safiatuddin perempuan yang mampu mengatur semua urusan kenegaraan tanpa ada pedang kiri kanan ditangan beliau. Perempuan Aceh satu ini yang hebat dan mampu mendominasi tahta kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam pada masanya. Sosok feminim yang penuh dengan kewibawaan serta kata-kata yang tegas disetiap surat-suratnya kepada relasi kerajaan.

Sosok yang sangat saya yakini melebihi kehebatan dan kepintaran Kartini bahkan lebih unggul daripada sosok seorang Kartini. Sosok yang hari kelahiran dan hari mangkatnya patut diabadikan. Sudah saatnya Rakyat Aceh mengenang sebuah hari dan tangal serta menjadikan salah satu Perempuan Aceh sebagai Perempuan Terhebat di Nusantara/Sebagai Emansipasi Wanita/Sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Kita sebagai Rakyat Aceh tidak pantas dan tak patut harus selalu mengenang tokoh dari daerah lain. Sedangkan tokoh kita sendiri jadi terlupakan. Sehingga tak layak Perempuan Aceh menjadikan Kartini sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Sudah saatnya (bukan lagi saatnya) Perempuan Aceh harus berkiblat kepada Perempuan Aceh yang perkasa terdahulu seperti perempuan negeri ini lakukan terhadap Kartini. Bagi saya penokohan Kartini sebagai satu-satunya sosok dan emansipasi wanita perlu dikaji ulang atau membuat sebuah seminar tentang penokohan ini “Tepatkah Kartini Dijadikan Sebagai Kiblat Perempuan Indonesia?”

Seandainya saja Ibu Kartini masih hidup, mampukah seorang R.A Kartini menjadi seorang Perempuan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan bahkan terutama mampu menjadi Perempuan Aceh? Jika beliau mampu, maka saya tidak akan mempersoalkan lagi tentang keberadaannya sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Tapi sayang beliau sudah tiada, sehingga kesanggupan itupun hanya ada dalam keyakinan para simpatisannya saja. Dan bagi saya yang belum sepenuhnya mengiyakan dan mengakui bahwa keberadaan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita akan meyakini Kartini tidak akan pernah mampu menjadikan Perempuan Indonesia lainnya adalah selain Perempuan Jawa dan penduduknya.

R.A Kartini saya mengenal nama Mu ketika saya masih dibangku Taman Kanak-Kanak (TK), karena setiap tanggal 21 April hampir seluruh negeri ini terutama dipulau Jawa diharuskan memakai pakaian adat, kebaya dan sejenisnya. Saya juga mengenal nama Mu lewat sepengkal sejarah yang telah engkau ukir dan lewat sebuah lagu yang bertajuk “Ibu Kita Kartini” karya WR Supratman. Sungguh dalam lirik lagu itu engkau sangat dipuji dan mempunyai cita-cita yang besar. Berbeda halnya dengan Hari Perempuan Aceh dan Perempuan Indonesia lainnya. Saya tidak pernah mengenal hari mereka: Hari Pahlawan Perempuan Indonesia selain hari Kartini, apalagi hari Nenek Moyangku, Perempuan Aceh layaknya seperti hari engkau dikenang dinegeri ini wahai Kartini.

Engaku disebut-sebut sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita tapi ketika itu saya belum tahu apa itu emansipasi dan mengapa harus diperjuangkan. Tapi kemudian perlahan-lahan ketika saya beranjak dewasa saat menginjak Pendidikan Sejarah di Universitas Syiah Kuala, saya mulai tahu apa yang engkau perjuangkan dan apakah seperti itu cita-cita yang engkau perjuangkan, Kartini. Tapi sekarang perjuangan untuk setara dengan kaum laki-laki itu ternyata butuh perjuangan yang gigih dan lama. Sampai saat ini perempuan masih terus memperjuangkan untuk mendapatkan kesetaraan yang dicita-citakan oleh Kartini.

Tahukah engkau Kartini, wanita dan perempuan era modern sekarang sudah bebas untuk keluar rumah dan tak ada lagi pingitan adat seperti apa yang engkau rasakan dahulu. Terutama perempuan di pulau jawa mereka sudah bebas keluar rumah, tidak terikat dan dikekang oleh adat istiadat Jawa bahkan mereka tidak pernah lagi merasakan seperti yang engkau rasakan dulu Kartini. Juga kawan saya dikampus asal dari Jawa, Yogyakarta sudah bebas memilih universitas yang di inginkan dan bahkan keluarganya hijrah dan menetap di Aceh. Ada satu hal lagi Kartini.

Wahai Kartini, alangkah baiknya engkau mengetahui dan melihat langsung Perempuan Aceh zaman sekarang. Perempuan-perempuan Aceh saat ini harus menggunakan jilbab dan memakai rok sebagai tanda, simbol dan lambang Syariat Islam. Perempuan Aceh tidak boleh lagi memiliki kebebasan untuk bisa mendefinisikan tubuhnya sendiri dalam hal berpakaian. Perempuan Aceh tidak terbelenggu lagi oleh adat istiadat dan malahan mereka senang dan bangga dengan aturan yang mengatasnamakan Agama Islam yang diterapkan melalui Qanun (Undang-Undang Islam) bahkan Satpol PP pun telah diadakan di Aceh.

Kartini, saya tidak tahu mengapa engkau mau menikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri tiga? Mengapa engka mau dimadu, dipingit, dan dikurung dalam rumah? Apakah ini sebuah bentuk kepatuhanmu terhadap orang tua agar orang tuamu tidak malu? Ataukah engkau tidak sanggup lagi melawan budaya patriarki dan penafsiran orang tentang Islam?

Dari perjuangan Mu Kartini, saya bisa mendapatkan banyak pelajaran. Perjuangan terhadap kaum Mu tentu sudah kita rasakan saat ini, tapi perjuangan terus akan berlanjut. Salah satu pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa perempuan memiliki pilihan atas dirinya sendiri, itulah yang saya maknai sebagai kebebasan menjadi perempuan sampai saat ini.

Jadi, kesimpulan yang dapat kita tarik dari pembahasan tulisan ini adalah: Ternyata jikalau kita dapat berpikir secara akal sehat maka kita akan dengan sangat yakin untuk mengatakan bahwa yang berhak menyandang status Putri Kebanggaan Indonesia tersebut adalah Perempuan Aceh bukan R.A Kartini. Dan yang Actionnya bagi bangsa ini telah terbukti nyata ada dan bukan hanya sekedar bercita-cita/bermimpi/menulis/melawan adat istiadat/berkawan dengan Belanda/tanpa jasa yang besar dan Talk Only belaka yang dapat dianggap sebagai wanita pejuang dan Inspirator sejati bagi wanita Indonesia. Karena kita sebenarnya lebih butuh action nyata dari seorang manusia yang ditokohkan dan bukan hanya sekedar omongan belaka. Jika hanya karena memiliki cita-cita yang besar bagi Indonesia, Kartini telah dicap sebagai Putri Indonesia yang sejati nan mulia (seperti dalam lirik lagu di atas), lalu kapan Hari yang Special untuk jasa perempuan-perempuan Aceh, layaknya seperti hari Kartini??? Dan lantas apa gelar (bukan hanya gelar Pahlawan) yang layak di selamatkan kepada tokoh-tokoh wanita pejuang yang tidak hanya bercita-cita namun telah berkarya dan bergerak nyata bagi bangsa ini??? Toh kalau hanya bercita-cita saja seperti Kartini, maka saya, anda dan semua masyaarakat Indonesia pun juga bisa. Yea kan? Memang sorang Musuh tidak mungkin untuk diberikan dan tidak layak untuk mendapatkan sebuah Penghargaan yang besar seperti yang apa yang telah Kartini dapatkan selama ini. Akan tetapi tolong anda pikirkan sematang mungkin secara akal sehat tentunya. Terakhir Saran dan Pesan penulis kepada seluruh Perempuan Aceh “Belajarlah dari Perempuan Jawa maupun Perempuan Indonesia lainnya dalam hal menghargai jasa pahlawan kita sendiri.”



Penulis Adalah Mahasiswa FKIP Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala.

16 Juni 2012

Jejak Sang Bendahara


Desa Meunasah Lueng, 42 kilometer ke arah barat dari Bireuen, ibu kota Kabupaten Bireuen, mendadak ramai pada 9 Desember lalu. Tamu dari sejumlah negara datang ke sana dengan berbagai jenis mobil. Rombongan peserta seminar Tun Sri Lanang itu melintasi puluhan desa sebelum tiba di Kemukiman Kuta Blang di tengah desa tersebut. Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah yang luas. Tampak pula sebuah masjid peninggalan Tengku Syekh Abdul Jalil, putra ulama besar Aceh, Tengku Chik Awe Geutah Peusangan.

Sebelum sampai jalan memasuki area masjid, berjarak 300 meter di antara kawasan persawahan, ada jalan selebar 3 meter yang terlihat baru diaspal. "Ini dulu dikenal dengan Jalan Raja," kata Anwar, 58 tahun, penduduk setempat.

Setelah melewati perkampungan, mereka bertemu dengan pekuburan berpagar beton cat kuning di sebuah persimpangan jalan. Tak jauh dari sana, berdiri tegak sebuah rumah panggung besar yang di depannya tumbuh pohon mangga besar. Di sisi kanan rumah ada deretan bangunan beton dan di hadapannya sebuah balai kecil. Di sinilah rombongan itu berhenti dan berziarah ke makam Tun Sri Lanang, yang dulu bermukim di rumah tersebut.

Kompleks kuburan itu milik Ampon Chik Muhammad Ali Basyah, Uleebalang Samalanga dan keturunan keenam Tun Sri Lanang. Di tengahnya ada nisan yang sangat berbeda dengan nisan lain. Nisan yang diyakini sebagai kuburan Tun Sri Lanang itu panjang, berwarna cokelat, dan berukir-ukir dengan pucuk nisan mengerucut menyerupai kubah masjid.

Makam itu nyaris tak dikenal selama puluhan tahun sebelum keturunan Tun Sri Lanang melacak dengan sungguh-sungguh keberadaannya. Pencarian berawal saat Teuku Hamid Azwar, putra Chik Muhammad Ali Basyah, berwasiat kepada anak-cucunya untuk mencari jejak leluhur menjelang wafatnya pada 1996. "Saya meneruskan wasiat Bapak. Bapak saya selalu mengatakan, ’Tidak akan bahagia hidupmu bila tidak menelusuri jejak leluhurmu’," kata Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, 66 tahun.

Pocut Haslinda menuturkan, sebelum ayahnya meninggal, U stad A. Yakobi, sahabat Hamid dan penulis buku Aceh dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI, mampir ke rumahnya untuk meminta izin kepada Hamid buat menulis riwayatnya. Dari perbincangan mereka, muncullah cerita tentang Tun Sri Lanang.

Setelah ayahnya wafat, Pocut Haslinda dan keluarganya mulai melacak jejak leluhurnya. Soal makamnya, semula ada kabar bahwa kuburan Tun Sri Lanang berada di Desa Lancok. Namun, setelah menelaah dan menghadirkan keturunan Tun Sri Lanang dari Malaysia, mereka tidak yakin karena kuburan itu tidak punya ciri yang meyakinkan. Informasi yang ada menggiring mereka ke Samalanga dan menemukan sebuah makam di Desa Meunasah Lueng. Mereka yakin makam itu kuburan Tun Sri Lanang setelah menemukan kecocokan dengan nisan kerabat Tun Sri Lanang di Malaysia.

Salah seorang akademikus yang melacak jejak Tun Sri Lanang di Aceh adalah M. Adli Abdullah, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Saat mengambil master di bidang perbandingan hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia, ia mulai tertarik kepada Tun Sri Lanang. Sewaktu pulang ke Aceh pada 1993, ia mulai menelusuri dokumen-dokumen lama mengenai Bendahara Johor pada abad ke-17 itu.

"Saya diuntungkan sempat berjumpa dengan beberapa orang tua di Samalanga, termasuk Kepala Mukim Masjid Raya, Idris; Cut Maimunah Batee Iliek; dan Cut Sakdiyah. Dari merekalah muncul titik terang bahwa Tun Sri Lanang pernah ada di Samalanga dengan gelar Dato’ Bendahara Sri Paduka Tun Seberang," kata putra Teungku Abdullah, pemimpin pondok pesantren Darus Syariah di Kuta Blang, Samalanga, itu. Selama kuliah, dia tinggal di rumah Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan, penasihat Sultan Pahang dan Ketua Persatuan Sejarah Malaysia Wilayah Pahang, yang sangat tertarik pada hubungan Aceh-Pahang, khususnya sejarah Tun Sri Lanang.

Adli juga melacak makam sang Bendahara hingga menemukannya di Meunasah Lueng pada 2000. "Di situ ada rumah lama dan kuburan tak diurus yang berada di tengah semak belukar. Tak ada pihak yang tertarik dan peduli," katanya.

Sejak itu, Adli sering diundang untuk mempertahankan temuan dia di depan para sejarawan Melayu, yang pada awalnya tak yakin Tun Sri Lanang wafat di Aceh. Pertemuan yang pernah dia hadiri adalah seminar di Johor, Kelantan, Universitas Syiah Kuala di Aceh, dan Universiti Sains Malaysia.

Anwar, 58 tahun, warga Meunasah Lueng, menyatakan sebelumnya kompleks kuburan itu disebut oleh warga sebagai Lampoh Reumoh Kreueng atau Kebun Rumah Kreueng milik Ampon Chik Muhammad Ali Basyah. Di depan kompleks itu terpasang papan jalan dengan tulisan "Jl. Pocut Firdaus". Pocut Firdaus adalah keturunan Ampon Chik Muhammad Ali Basyah yang meninggal saat menunaikan ibadah haji di Mekah.

Semasa kecilnya, para sesepuh kampung, seperti Teungku Imam Yusuf, Teungku Muhammad Dahlan, dan Teungku Muhammad Ali, sempat mengisahkan soal adanya kuburan orang Malaysia di kawasan tersebut. "Namun yang mana kami juga tidak tahu saat itu," ujar Anwar.

Imam desa waktu itu, kata Anwar, juga pernah bercerita bahwa Tun Sri Lanang bertubuh tinggi dengan warna kulit putih kemerahan. "Kitab Sulalatus Salatin kalau tidak salah dulu ada sama Teungku Dahlan, namun sekarang tidak ada yang tahu di mana dia menyimpannya. Tapi saya waktu itu masih kecil dan daerah ini kan konflik terus, kapan sempat orang ingat hal kek gituan," kata Anwar, yang sempat merantau ke Malaysia pada masa konflik terjadi di Aceh.

Nasir, 50 tahun, warga lainnya, menuturkan, pada 1960-an, di kuburan tersebut ada seekor harimau yang selalu berjalan dari kuburan di Reumoh Kreung, melintasi kuburan Syekh Abdul Jalil di sekitar Masjid Desa Meunasah Lueng, ke Masjid Kuta Blang, yang total berjarak sekitar 600 meter. "Itu harimau teungku (’harimau ulama’), tapi dia tidak mengganggu masyarakat," kata Nasir. Asnawi, kepala desa setempat, dan beberapa warga lain membenarkan cerita tersebut.

Pocut Naimah, 67 tahun, warga Kampung Baro, Samalanga, mengatakan Teuku Hamid Azwar masih saudara satu kakek dengannya. Pada 1980, Reumoh Kreueng sempat dibersihkan oleh Teuku Hamid Azwar dan dijadikan balai pengajian serta tempat perempuan desa belajar menjahit. "Saya tidak ingat entah berapa lama kegiatan itu bertahan," kata perempuan yang dipanggil Nyak oleh masyarakat di sana itu.

Kini Reumoh Kreueng telah berubah. Semak dan pepohonan sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya pohon mangga besar di halaman. Pada 2006, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh membangun pagar di sekeliling kuburan itu. Masyarakat juga membersihkan kompleks itu sebelum tamu peserta seminar Tun Sri Lanang berdatangan.

Si Paus Juga Manusia (Bag.2 Dan Tamat)


Bank Vatikan atau Instituto per le Opere di Religione (IOR) merupakan institusi keuangan yang memiliki kekayaan dan pengaruh yang sangat besar, tidak saja di dalam lingkungan kepausan tetapi juga merambah ke seluruh dunia. Namun yang tidak banyak diduga, Bank Vatikan ini ternyata memiliki jaringan kerjasama dengan mafia narkotika, P2, Freemason, mafia uang palsu, dan sebagainya. Yang terakhir ini dipaparkan secara gamblang oleh David Yallop di dalam karyanya “In God’s Name: an Investigation Into the Murder of Pope John Paul I” (1984).

Dalam bukunya, Yallop memaparkan secara berani masa-masa awal Bank Vatikan di bawah kepemimpinan Paus Pius XI. Paus ini merupakan paus pertama yang melakukan pengubahan dengan tegas sikap Gereja Katolik Roma terhadap riba (Usury). Paus Pius XI memperlunak sikap Gereja Katolik Roma yang telah ratusan tahun mengharamkan setiap jenis dan tingkatan riba, sehingga bersikap longgar terhadapnya.

Dalam pengertian sederhana, riba merupakan semua uang yang dihasilkan atau diperoleh dari usaha meminjamkan uang dengan menarik bunga atas pinjaman pokok, yang disebabkan faktor jangka waktu peminjaman. Sejak dulu, Gereja Katolik Roma bersikap keras terhadap hal ini dan menentangnya dengan alasan utama bahwa hal tersebut bertentangan dengan Hukum Tuhan, sama persis dengan ajaran Islam.

Berbagai konsili berkali-kali diselenggarakan dengan menekankan larangan atau pantangan ini. Antara lain Konsili Arles di tahun 314 Masehi, Konsili Nice 324M, Konsili Chartago 345M, Aix en Provence 789, dan Lateran 1159. Bahkan pada setelah Konsili Lateran, sikap keras terhadap riba ini bertambah-tambah dengan pemberlakuan hukum pengucilan (isolasi) terhadap para pemungut riba.
Sikap keras ini oleh Paus Pius XI diubah menjadi lebih lunak. Pengertian riba yang semula begitu lugas dan tegas oleh Paus Pius XI hanya dibatasi pada pemungutan bunga yang dianggap terlalu tinggi, sedangkan pemungutan bunga yang tidak terlalu tinggi dianggap bisa diterima.

Perubahan sikap ini, yang dilakukan Paus Pius XI, memiliki latar belakang. Yaitu membuka jalan bagi Bernardino Nogara, seorang jenius kelahiran Bellano, Italia, tahun 1870. Bernardino merupakan adik kandung dari Mgr. Nogara, orang kepercayaan Paus, untuk memimpin sebuah lembaga baru yang akan dibentuk.

Indra Adil, penulis novel konspirasi “The Lady Di Conspiracy: Misteri di Balik Tragedi Pont de L’Alma” (Alkautsar: 2007) menyinggung sedikit tentang hal ini. “Lembaga baru yang dibentuk Paus Pius XI ini memiliki tugas mengelola semua bisnis Vatikan, yang pengelolaannya berjalan tanpa campur tangan Paus. Ini yang diminta Nogara jika Paus menginginkan dirinya memimpin lembaga baru tersebut. Nogara meminta Paus memberikan kebebasan penuh kepadanya untuk menginvestasikan dana milik Vatikan ke dalam bidang apa pun di dunia, tanpa melewati pertimbangan-pertimbangan religius dan dokrinal apa pun, ” demikian Indra (hal. 357).

Entah mengapa, Paus Pius XI begitu saja menyetujui permintaan Nogara dan membiarkan Nogara mengelola dana milik Vatikan di dalam bisnis spekulasi uang, valuta asing, dan jual beli saham, termasuk saham-saham dari perusahaan yang produknya bertentangan dengan doktrin Gereja seperti perusahaan senjata dan juga alat-alat kontrasepsi, sesuatu yang selalu dikutuk Gereja di dalam kotbah-kotbah para imam.

Jaringan Mussolini dan Hitler


Yang tidak diketahui banyak kalangan, termasuk umat Katholik Roma sendiri, modal dasar bagi lembaga baru Vatikan ini ternyata dana dari kantong Benito Mussolini, pemimpin fasis Italia yang bersekutu dengan Hitler dalam Perang Dunia II.

Mussolini menyerahkan uang senilai 750 juta lira plus 5% dari nominal satu miliar lira, yang dalam kurs tahun 1929 bernilai sama dengan 81 juta US dollar. Inilah modal awal dari Bank Vatican yang disebut juga sebagai Vatican Incorporated.

Kerjasama antara Paus dengan Mussolini ini melewati seorang perantara yang juga berperan sebagai ahli hukum bernama Francesco Pacelli. Lewat orang ini pula, hubungan antara Paus dengan Mussolini berkembang hingga ke sosok Hitler.

Sekretaris Negara Vatikan, Kardinal Eugenio Pacelli, yang juga saudara lelaki dari Francesco, memegang peranan penting dalam perjanjian dengan Hitler yang hingga tahun 1943 saja telah mampu menambah laba untuk Vatikan sebesar 100 dollar AS lagi. Kardinal Pacelli sendiri kelak akan menjabat sebagai Paus Pius XII yang juga dikenal dalam sejarah Gereja sebagai Paus yang pro Nazi.
Dalam Perang Dunia II, Paus Pacelli atau Paus Pius XII mengalami tekanan dari Sekutu yang dikuasai lobi Yahudi untuk memutuskan hubungan dan mengucilkan dengan Hitler. Namun Paus Pius XII tetap menolaknya.

Sikap Paus Pius XII bertolak belakang dengan Paus John XXIII, Angelo Roncalli, yang pro Yahudi dan anti Hitler. Bahkan di masa John XXIII-lah para pejabat Vatikan diperbolehkan menjadi anggota Freemasonry. Sesuatu yang dulunya dilarang keras.

Anehnya, semasa dengan Paus John XXIII, Grandmaster Biarawan Sion bernama Plantard juga memakai gelar John XXIII. Keduanya juga secara aneh meninggal bersamaan tahun pada 1963. Dan para cendekiawan pengkaji Injil Gnostik percaya bahwa Paus John XXIII adalah anggota dari Biarawan Sion.

Dalam tulisan terakhir dan judul dibawah ini akan saya paparkan Paus John XXIII tersebut dan juga Paus Benediktus XVI sekarang yang sempat membuat heboh dengan pidato jihadnya yang menghina Rasulullah SAW dan Islam.


Si Paus Juga Manusia (Tamat)


Nama John mendapat tempat istimewa dalam Sekte Gereja Yohanit, sebuah sekte eksoterik yang menuhankan Yohannes dan mengangap Yesus hanyalah manusia biasa. Sekte Yohanit inilah tempat Ordo Biarawan Sion, Templar, dan Freemason berasal.

Para Grand Master ordo ini biasa bergelar John (Inggris), yang sama artinya dengan Giovanni (Itali), Joan (Perancis, laki-laki) dan Jeanne (Perancis, perempuan). Nama ini sebetulnya berasal dari nama Yohannes Sang Pembaptis, yang sosoknya begitu dihormati setara dengan Maria Magdalena bagi kelompok Kabbalah.

Istilah ‘John’ bermakna pada kecenderungan Jemaat Gereja Yohanit yang menuhankan Yohanes Kristus, sedangkan ‘Peter’ bermakna pada Jemaat Vatikan. Grand Master Biarawan Sion pertama saja, Jean de Gisors, pada tahun 1188 menggunakan gelar Jean II. 

Jean I diduga kuat dinisbahkan kepada Yohanes Kristus itu sendiri. Nama Jean Cocteau yang muncul dalam daftar orang-orang yang diduga sebagai Grand Master Sion memakai gelar “Jean XXIII”. Leonardo Da Vinci sendiri memakai gelar “Jean IX”. Pada tahun 1959, ketika Cocteau masih memegang jabatan sebagai Grand Master, Paus Pius XII meninggal dunia dan digantikan dengan seorang paus baru, Kardinal Angelo Roncalli dari Venesia.

Roncalli Pilih Gelar John 


Seperti yang sudah-sudah, setiap Paus baru yang dilantik bebas memilih gelar mereka sendiri. Entah mengapa, Kardinal Roncalli memilih nama ‘John XXIII’ dan hal ini membuat banyak tokoh Katolik cemas. Mereka menjadi bertanya-tanya mengapa gelar itu yang dipilih oleh Roncalli?

Bukankah nama John merupakan nama yang terkutuk karena nama tersebut telah digunakan pada awal abad ke-15 oleh seorang anti-paus. John XXIII, seseorang anti-paus itu telah diturunkan dari jabatannya pada tahun 1415. Ia adalah seorang uskup di Alet. Ketika Roncalli memakai gelar yang sama, tanda tanya besar kalangan Gereja menyertainya.

Di tahun 1976, sebuah buku misterius terbit di Italia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Judulnya “The Prophecies of Pope John XXIII” (Ramalan Paus John XXIII) yang berisi kumpulan prosa liris yang mengandung ramalan aneh yang diduga telah ditulis oleh Paus John XXIII (Angelo Roncalli) yang telah meninggal di tahun 1963.

Anehnya lagi, Jean Cocteau—Grandmaster Biarawan Sion—sendiri juga meninggal di tahun 1963. Menurut Baigent, “Isi buku itu tidak jelas dan dan melukiskan segala tafsiran yang luas. ” Apakah buku itu memang karya Paus John XXIII? ‘Pendahuluan’ pada buku tersebut menyatakan bahwa buku itu adalah benar tulisan Paus John XXIII. Menariknya, buku tersebut juga mengatakan jika Paus John XXIII merupakan anggota dari Ordo Salib Mawar (Rose-Croix), yang selalu berhubungan dengan ordo tersebut saat menjabat Papal Nuncio bagi Turki di tahun 1935.

Pada peristiwa ‘Penebangan Pohon Elms’ yang memisahkan Ordo Sion dengan Ordo Templar, Biara Sion yang kemudian mengubah namanya menjadi Biarawan Sion telah menggunakan gelar tambahan ‘Kejujuran Salib Mawar’ (Rose-Croix Veritas). Sebab itu, Ordo Salib Mawar dicurigai sebagai nama lain dari “Biarawan Sion”.

“Implikasinya sungguh menggoda! Ketika akan menjadi paus, Kardinal Roncalli memilih nama Grand Masternya sendiri, sehingga, demi alasan simbolis, akan ada dua John XXIII yang memimpin Sion dan Vatikan secara bersamaan, ” ujar Baigent. Jean Cocteu ‘John XXIII’ sebagai Grand Master Biarawan Sion dan Angelo Roncalli ‘John XXIII’ yang mengepalai Tahta Suci Vatikan. Keduanya pun meninggal dunia pada tahun yang sama: 1963. (!)

Kesamaan aneh ini juga bisa kita lihat pada sumbernya. Sekurangnya ada tiga sumber yang sama menunjukkan bahwa Jean Cocteau mengakhiri jabatan Grand Master Sion pada tahun 1963 yakni The Dossiers Secrets, The Priory Document, dan daftar para Grand Master Biarawan Sion versi Majalah Vaincare No. 3, September 1989 (hal. 22) yang dieditori oleh Thomas Plantard de Saint-Clair, orang yang diduga sama dengan Pierre Plantard. Ketiga versi ini menyebutkan nama-nama berbeda para Grand Master dalam setiap periodisasinya, namun untuk akhir periodesasi Grand Master Jean Cocteau, ketiganya sepakat: 1963.

Ada sebuah kejutan lagi tentang John XXIII. Pada abad ke-12, seorang biarawan Irlandia bernama Malachi mengumpulkan serangkaian ramalan yang sejenis dengan ramalan Nostrodamus. Dalam ramalan-ramalan tersebut, dikabarkan tanggapan penting dari Vatikan, termasuk Paus ketika itu John-Paul II—Malachi menyebutkan para Paus yang akan menggantikan tahta Saint Peter pada abad-abad mendatang. Untuk setiap Paus, ia menawarkan sejenis motto deskriptif.

Lalu, bagi John XXIII, motto tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, yaitu ‘Pasteur et Nautonnier’ (Gembala dan Navigator). Gelar resmi bagi orang-orang yang diduga Grand Master Sion juga ‘Nautonnier’.

Suatu kebenaran yang menggaris-bawahi kebetulan yang aneh ini adalah ketika berkuasa, Paus John XXIII telah memperbaiki kedudukan Gereja terhadap Freemasonry dan mengeluarkan izin bagi seorang Katolik untuk menjadi anggota Freemasonry. John XXIII ini juga bertanggungjawab atas reorientasi Gereja Katolik antara lain dengan mendirikan Dewan Vatikan yang para anggotanya berasal dari tokoh-tokoh Gereja Katolik seluruh dunia. Siapakah Paus John XXIII dan apakah ia benar seorang Freemason atau pun Biarawan Sion?


Film Produksi Vatikan

Sebuah film dokumenter yang diproduksi Vatikan memuat satu kisah khusus mengenai Paus John XXIII ini. Di Indonesia, Emperor Edutaintmen yang banyak mengedarkan film-film dokumenter tentang Kekristenan, mengedarkan film tersebut dalam format empat keeping VCD berjudul “The Bible: Pope John XXIII part 1 dan 2” (2004).

Dalam film tersebut dikisahkan bahwa Angelo Roncalli berasal dari Desa Sotto il Monto. Ia anak dari pasangan petani miskin Italia. Atas kebaikan pamannya, Angelo kecil bisa menempuh pendidikan di seminari untuk menjadi seorang pastur.

Tahun 1944 ia bertugas di Turki. Saat di Turki inilah Uskup Roncalli membebaskan orang-orang Yahudi yang memenuhi sejumlah gerbong kereta yang ditahan pihak Nazi-Jerman. Ribuan orang Yahudi selamat dari upaya pembunuhan yang ingin dilakukan Nazi dan memberi selamat kepada Roncalli. Salah seorang perempuan Yahudi memberikan sebuah kalung Bintang David seraya berkata kepada Roncalli, “Yesus juga seorang Yahudi. ” Roncalli pun memberikan kalung salibnya kepada perempuan itu seraya tersenyum.

Tahun 1958 Paus XXII meninggal. Lewat suksesi yang ketat dan dipenuhi intrik sesama Kardinal Vatikan yang berambisi menjadi Paus, akhirnya Roncalli terpilih menjadi Paus pada tanggal 28 Oktober 1958. Setelah menjadi Paus, Roncalli menyatakan bahwa dirinya kini dipanggil dengan sebutan ‘Giovanni’ (‘John’ dalam bahasa Inggris).

Film itu tidak menyinggung satu pun keterkaitan Roncalli atau Paus John XXIII dengan Freemasonry dan sebagainya. Hanya saja, kejadian di Istanbul, Turki, tahun 1944, saat dia menyelamatkan ribuan orang Yahudi dari penangkapan Nazi-Jerman itu tentu didengar oleh para petinggi bangsa Yahudi dan kemudian ‘berterimakasih’ kepada Roncalli dengan sesuatu yang tidak biasa.

Kedekatan Roncalli dengan Yahudi juga tergambar dengan jelas tatkala saat menjadi Paus John XXIII, ia mencabut larangan orang Katolik menjadi anggota Freemasonry. Sebelumnya, orang-orang Katolik yang ingin menjadi anggota Freemason maka ia harus melakukannya dengan diam-diam, namun setelah Paus John XXIII mencabut larangan itu maka berbondong-bondonglah orang-orang Katolik menjadi anggota Freemasonry, tidak terkecuali para Yesuit yang begitu patuh pada institusi kepausan, mereka juga banyak yang menjadi anggota Freemasonry.

Adakah naiknya Roncalli jadi paus merupakan sebuah kesuksesan program rahasia Konspirasi Yahudi Internasional untuk menghantam dan menghancurkan Gereja dari dalam? Ajaran Kristen sendiri berabad sebelumnya juga telah dirusak oleh Paulus, seorang Yahudi dari Tarsus, yang menciptakan Injil Perjanjian Baru, di mana ayat-ayat dalam Perjanjian Baru ini banyak sekali yang bertentangan dengan Perjanjian Lama.

Tradisi Kekristenan juga banyak yang sesungguhnya tidak berasal dari ajaran Yesus sendiri, melainkan dari ajaran paganisme Kekaisaran Romawi yang berasal dari Mesir kuno, ajaran Kabbalah.

Apalagi di abad-20, Konspirasi telah mengubah The Holy Bible King James Version yang dipakai di negara-negara Kristen mayoritas dunia dengan memasukan ratusan catatan kaki dari Cyrus Scofield sehingga Injil tersebut tidak ada bedanya dengan Talmud, penuh dengan catatan kaki yang mendukung kepentingan Zionis-Yahudi. Konspirasi telah begitu berhasil menaklukkan Gereja dari dalam dan menjadikannya kuda tunggangan bagi kepentingannya mencapai The New World Order.

Ataukah ia, seperti dugaan banyak peneliti semisal Baigent, diyakini anggota dari Biarawan Sion? Bukankah ketika Vatikan menerima surat pengaduan dari Uskup Carcassonne atas kelakuan Pastor Berenger Sauniere, Kardinal Angelo Roncalli yang datang kepada Sauniere sebagai utusan Vatikan?

Benediktus XVI


Benediktus XVI bernama asli Joseph Alois Ratzinger, lahir di Marktl am Inn, Jerman, pada 16 April 1927. Usia 14 tahun dia masuk seminari menengah di Traunstein. Setahun sebelumnya, dia sudah masuk wajib militer dengan bergabung dengan organisasi pemuda NAZI.

Singkat cerita, tahun 1977, Paus Paulus VI mengangkatnya sebagai kardinal. Bagi kalangan tertentu di Vatikan, Kardinal Ratzinger merupakan salah seorang yang paling berpengaruh dan dihormati di Vatikan. Ia dikenal dekat dengan Paus Yohanes Paulus II. Namun bagi sebagian kalangan lain di Vatikan, Ratzinger dianggap sebagai seorang Kardinal yang keras dan konservatif. Ia berpandangan tidak ada toleransi dalam hal kebenaran keagamaan. Sikapnya sesuai dengan jabatannya yang mengepalai bidang keimanan Vatikan.

Ketika Paus Yohannes Paulus meninggal, Kardinal Ratzinger memimpin upacara pemakamannya pada 8 April 2005. Ratzinger juga yang memimpin konklaf yang dimulai tanggal 18 April 2005 dan yang kemudian mentahbiskan dirinya sebagai paus yang baru. Kardinal Joseph Ratzinger terpilih sebagai Paus Gereja Katolik Roma yang ke-265 dengan nama gelar Paus Benedictus XVI di usia yang ke 78.

Salah satu masalah yang sangat mengganggunya sejak lama adalah menurunnya jumlah pemeluk Katolik di Eropa dan terutama di Amerika Latin, serta berkurangnya jumlah imam di Eropa. Di sisi lain, di Amerika dan Eropa, dalam waktu yang bersamaan, jumlah pemeluk Islam dari tahun ke tahun semakin meningkat. Permasalahan ini sungguh-sungguh dirasa mengganggunya. Pertumbuhan pemeluk Islam di Eropa dan di lain sisi menurunnya jumlah umat Kristiani di wilayah yang sama dianggapnya sebagai ancaman serius terhadap kekristenan itu sendiri.

Sebab itu, ketika ia memilih gelar Benedictus, maka hal tersebut bukan suatu kebetulan karena sangat terkait dengan sosok Santo Benedictus yang dalam sejarah gereja dikenal sebagai “Penjaga Christendom Eropa”, benua tempat negeri-negeri Kristen berkumpul. Dengan memilih gelar Benedictus, Ratzinger ingin menyatakan diri sebagai penjaga Eropa Kristen dari serangan apa pun yang bisa mengubah indentitas ini. Dan seorang Ratzinger, dalam hal ini bukanlah orang yang suka bermain-main.

Dalam sejarah kekristenan, nama Santo Benedictus memiliki isyarat khusus sebagai penjaga atau pengawal kekristenan Eropa atau Dunia Barat (The Christendom) dari upaya penghancuran atau ancaman ‘Kaum Barbar’ yang ketika itu terjadi dalam masa keruntuhan Imperium Romawi. Dalam sejarah Eropa di abad pertengahan (Medieval), istilah ‘Kaum Barbar’ kerap digunakan untuk menyebut tentara kaum Muslimin. Seperti dalam episode Perang Salib, tentara kaum Muslimin sering disebut pula sebagai Saracen.

Dipilihnya gelar ‘Benedictus’ oleh Joseph Alois Ratzinger memberikan petunjuk secara eksplisit maupun implisit bahwa Paus yang baru ini akan menjaga kekristenan Eropa dan Barat pada umumnya, menyelamatkan kebudayaan The Christendom, dari apa yang disebutnya sendiri sebagai “Serbuan Barbarisme Modern”. Lalu apa yang sesungguhnya disebut sebagai “Serbuan Barbarisme Modern”? Apakah Islam? Mengingat Ratzinher penah berpidato kontroversial menyerang makna Jihad umat Islam?

Bagi umat Islam, sebenarnya ada cara yang amat sederhana dan mudah untuk melihat apakah seseorang itu bisa dijadikan sahabat atau tidak, apakah seseorang itu tulus mau bersahabat dengan kita atau malah menjadikan ‘persahabatannya’ dengan kita sebagai strategi belaka untuk menggolkan maksud-maksud tersembunyinya.

Cara sederhana itu adalah: lihat, bagaimana penyikapan mereka tentang Israel. Apakah dia bersikap benar dengan tidak mengakui Israel sebagai negara karena berdiri di atas tanah hak milik bangsa Palestina, karena ia berdiri di atas tanah milik bangsa lain yang terus dijajahnya, ataukah dia mengakui Israel walau dia tahu keberadaan Israel tidak sah dipandang dari sudut logika sehat mana pun.

Sebuah artikel yang menarik dan lugas tentang kedekatan Paus Bendictus dengan Yahudi bisa kita ketemukan di website resmi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI (mirifica.net) berjudul “Rabi Tel Aviv: Paus Benecditus Sahabat Yahudi” (dimuat tanggal 22 April 2005, yang diambil dari Suara Merdeka, Rabu, 20 April 2005). Silakan klik dan baca sendiri artikel tersebut. 

(Tamat/Chaerol Riezal)

Ratapan, Tangisan Dan Derita Aceh Di Tangan 6 Presiden RI


(Chaerol Riezal)

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Aceh terlebih dahulu telah lama merdeka dan dikenal diberbagai mancanegara, tak hanya dikenal di daerah sendiri, Aceh pun diakui oleh kerajaan-kerajaan maupun penguasa Asing lainnya bahwa Aceh ini sebuah negeri yang berdaulat dan merdeka serta disegani oleh bangsa asing yang ingin melakukan penjajahan. Sekarang apa yang terjadi? Aceh harus menerima pil pahit yang diberi oleh Pemerintah RI melalui trik-trik yang telah dirancang sedemikian rupa. Raksasa (Aceh) yang dahulu begitu hebat dan kuat, sekarang harus dipaksa menerima kenyataan, harus turun gunung dan kembali ke pangkuan NKRI yang merupakan bangsa yang baru lahir pada abad ke 19.

350 tahun lamanya bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing (Belanda), dan diperburuk lagi oleh penjajahan bangsa Jepang selama 3.5 tahun, tapi sebenarnya masih banyak bangsa lain yang ingin menjajah bangsa Indonesia. Setelah sekian lamanya bangsa ini dijajah oleh bangsa asing, barulah pada tanggal 17 agustus 1945 bangsa ini Merdeka dari penjajahan bangsa asing diatas Bumi ini. Tapi kenapa sekarang penjajahan itu masih terus berlangsung, hanya saja bangsa sendiri menjajah bangsa sendiri. Salah satu bukti yang kuat tentang Indonesia menjajah bangsa sendiri adalah Aceh dan juga daerah lain, yang dijajah oleh pemerintah pusat “Jakarta”. Mungkin ini hobi mereka yang tak pernah henti-henti nya memeras dan melihat jeritan rakyatnya sendiri. Percaya atau Tidak, disaat kala Jakarta (Dinasti Jawa) yang memimpin negeri ini, penderitaan yang dirasakan oleh seluruh Rakyat Indonesia takkan pernah berhenti disitu dan terus berlangsung hingga ajal menjemput mereka. “Anda boleh percaya kepada yang namanya keajaiban, tetapi ingat anda jangan bergantung kepada nya karena Tuhan takkan mengubah seorang kaum apabila kaum tersebut tidak mau mengubah dirinya”.

Berikut ini adalah beberapa derita Aceh dari tipuan manis di tangan 6 Presiden RI:

1.      Soekarno

Ø  Januari 1950 provinsi Aceh dibentuk. Tengku Muhammad Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur pertama sementara Tengku Wahab Seulimeum sebagai Ketua DPRD.
Ø  Agustus 1950 Provinsi Aceh dilebur ke provinsi Sumatera Utara melalui Perpu nomor 5 tahun 1950.
Ø  21 September 1953 Tengku Muhammad Daud Beureueh memimpin pemberontakan DII/TII guna untuk menagih sebuah janji manis yang diucapkan Soekarno karena pemerintah pusat “Jakarta” telah ingkar janji terhadap Aceh.
Ø  1 Januari 1957, DPR melalui UU nomor 24/1956 bersepakat kembali membentuk Provinsi Aceh yang terpisah dari Sumatera Utara.
Ø  16 Mei 1959, melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia nomor 1/Missi/1959, Aceh diberikan status sebagai Daerah Istimewa. Walaupun diberikan daerah istimewa, toh nyatanya Aceh ditipu oleh permainan licik pemerintah pusat.

2.      Soeharto

Ø  4 Desember 1976, Tengku Muhammad Hasan Di Tiro memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ø  Mei 1990, Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan mengajukan penambahan pasukan ABRI untuk memulihkan keamanan. Permintaan itu ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan memberlakukan operasi jaring merah yang dikenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM).
Ø  Juli 1990, terjadi penambahab anggota personel ABRI di Aceh, dari 600 personel menjadi 1200 personel.
Ø  29 Desember 1996, Kapolda Aceh kolonel Suwahyu menilai Aceh sudah cukup aman. Ia menyarankan agar operasi militer diganti dengan operasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibnas). Selang dua minggu Suwahyu dicopot dari jabatannya.

3.      BH Hbibie

Ø  14 Okteber 1999, lahirnya UU nomor 44/1999 mengenai penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Ø  7 Agustus 1998, panglima ABRI jenderal Wiranto mencabut status DOM di Aceh.

4.      Abdurrahman Wahid

Ø  27 Oktober 1999, mahasiswa Aceh menuntut referendum untuk Aceh, yang disuarakan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh dan DPRD Aceh.
Ø  8 November 1999, Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPRA) digelar di Banda Aceh, di ikuti oleh hampir dua juta rakyat Aceh. Acara kolosal ini berlangsung dengan aman dan damai.
Ø  16 November 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan tidak akan membuka Komando Daerah Militer (Kodam) di Aceh.\
Ø  12 Mei 2000, Pemerintah Pusat dan GAM menandatangani nota kesepahaman bersama tentang jeda kemanusiaan untuk Aceh di Geneva, Swiss.
Ø   5 Agustus 2000, Pemerintah Pusat dan GAM menyepakati perpanjangan jeda kemanusiaan.
Ø  1 September 2000, lahir Perpu nomor 2/2000 mengenai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang.
Ø  21 Desember 2000, Perpu nomor 2/2000 diundangkan menjadi UU nomor 37/2000.
Ø  15 Januari 2001, jeda kemanusiaan II berakhir.
Ø  18 Maret 2001, Pemerintah Pusat dan GAM menyetujui beberapa zona aman (Peace Zone) di Aceh.
Ø  11 April 2001, Presiden mengeluarkan Inpres nomor 4/2001, tentang langkah-langkah komprehensif untuk menyelesaikan masalah Aceh.

5.      Megawati Soekarnoputri

Ø  Agustus 2001, Megawati menandatangani UU nomor 18 tahun 2001, tentang otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam.
Ø  9-11 Mei 2002, Pemerintah Pusat dan GAM bertemu di Geneva, Swiss. GAM menerima UU NAD sebagai langkah awal penyelesaian Aceh.
Ø  Juli 2002, DPRD NAD menolak di berlakukannya status darurat sipil maupun darurat militer di Aceh.
Ø  9 Desember 2002, Pemerintah Pusat dan GAM menandatangani kesepatan perhentian permudsuhan di Geneva, Swiss.
Ø  28 April 2003, Pemerintah Pusat menetapkan pelaksanaan operasi terpadu kemanusiaan, penegakan hukum, operasi penegakan hukum dan operasi pemantapan pemerintahan.
Ø  18 Mei 2003, Terbit Keppres nomor 28/2003, seluruh Aceh dinyatakan dalam keadaan bahaya dengan tingkat Darurat Militer (DM).
Ø  18 Mei 2004, Megawati mengeluarkan Keppres nomor 43/2004, yang menetapkan status darurat sipil di Aceh selama enam bulan.

6.      Susilo Bambang Yudhoyono

Ø  18 November 2004, Terbit Perpres nomor 2/2004 yang memperpanjang status darurat sipil di Aceh selama enam bulan.
Ø  Januari-Juli 2005, Pemerintah Pusat dan GAM melakukan lima tahapan perundingan di Helsinky, Firlandia.
Ø  15 Agustus, Wakil Pemerintah RI dan GAM menandatangani kesepakatan damai di Helsinky, Firlandia. Yang kemudian di kenal dengan Perjanjian Mou Helsinky. Tapi nyatanya smapai sekarang, saat ini, dan detik ini perjanjian tersebut belum sepenuhnya di laksanakan oleh Pemerintah Jawa “Jakarta”. (ada saja alasan untuk di perlambat mengenai Mou Helsinky).
Ø  22 Februari 2006, Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) mulai dibahas di DPR-RI.
Ø  11 Juli 2006, DPR sepakat RUU-PA disahkan menjadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA).
Ø  01 Agustus 2006, UU nomor 11/2006 mengenai Pemerintahan Aceh (UU-PA) mulai berlaku. (Rangkuman dari berbagai sumber).