19 Juni 2012

Perempuan Aceh Lalu Mengapa Kartini?


Oleh : Chaerol Riezal

“Hukum sebab akibat adalah salah satu instrument Tuhan dalam menciptakan keseimbangan makro kosmis, siapa menanam angin akan menuai badai, setiap kebaikan dan kejahatan walau sebesar bija atom pun pasti akan mendapatkan konsekwensi baik sekarang atau nanti di alam akhirat. Sesuatu yang baik pastinya datang dari Tuhan dan sesuatu yangg jelek pasti datang dari diri kita. Karena sudah jelas yang salah dan yang baik, tinggal manusia yang memilih. Sebagai manusia kita tidak tahu apakah mereka benar atau salah, tapi yakinlah Allah Maha Adil dalam memberikan hukuman maupun penghargaan pada mahluknya. Dan semuanya harus dijadikan intropeksi bagi kita, baik secara pribadi maupun secara bangsa.”

Menguak sebuah sejarah adalah berbicara tentang masa lalu, untuk dijadikan pelajaran guna merumuskan masa depan yang lebih baik, bukan untuk larut dan terbelenggu dengan masa silam. Maka sepahit apapun itu, sejarah harus dikemukakan apa adanya tanpa ada unsur kebohongan, tidak perlu dibelok-belokan. Membuka kebenaran sejarah jangan dimaknai dengan upaya menggetarkan luka lama dan melahirkan dendam, tapi justru dihadapi secara dewasa agar tidak terjadi kesalahpahaman berkempanjangan. Tanpa ada masa lalu bagaimana ada masa depan tuan.

Bukan hal yang aneh jika Aceh (Banda Aceh-Nusantara) inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawah oleh para pedagang Arab. Maka dari itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”. Sejarah Aceh adalah Islam, dan Islam mewarnai sejarah Aceh. Sepanjang masa perjalanannya, Aceh selalu mengukir sejarah dan Aceh akan terus berbicara akan tentang sejarahnya. Sejarahlah yang membuat kita bangga pada hari ini. Maka kebanggaan generasi dimasa yang akan datang adalah sejarah yang harus kita ukir dimasa sekarang.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, perlu saya tegaskan bahwa walaupun saya berasal dari Putra Aceh, namun saya tidak memihak kepada siapa pun. Saya ibarat berada ditengah-tengah lautan yang luas dan tak ingin terdampar dipantai manapun tapi justru saya ingin meluruskan arus yang berbelok arah agar tidak singgah dimana pun maupun demi maksud tujuan tertentu.

Tak bisa dipungkiri dan tak terbantahkan lagi, bahwa Aceh menjadi gudang penghasil pahlawan Perempuan maupun Pria. Tentu saja sebutan itu bukan asal disebut. Mari kita membuka Mata selembar mungkin mengenai sejarah Bumi Serambi Mekkah ini (Aceh). Maka sederet nama-nama para pejuang inoeng atau pemimpin wanita perkasa Aceh tersuguhkan. Kisah pun tak kalah heroik dengan kaum Agam alias Pria.

Berbicara tentang perjuangan emansipasi wanita di Indonesia, maka secara jujur kita harus mengakui, bahwa berdasarkan fakta sejarah dan bukti menunjukkan bahwa sudah sejak abad ke-15 Masehi, Aceh telah melaksanakan emansipasi wanita maupun dikalangan laki-laki. Percaya tidak percaya, silahkan buka sejarah, maka sejarahlah yang nantinya akan berbicara tentang pahlawan-pahlawan perkasa Aceh.

Pertama-tama dalam tulisan saya ini timbul pertanyaan dalam benak saya. Kenapa dan Mengapa Kartini? Alasan itulah yang kemudian membuat saya menulis tulisan ini. Bahwa perempuan asal Jepara itu, telah menjadi ikon Kebangkitan Perempuan Indonesia. Perempuan yang dianggap telah berhasil mengangkat citra wanita Indonesia melalui pendidikan, melawan adat istiadat di masyarakat Jawa yang tidak memihak pada kaumnya.

Kartini yang mempunyai nama lengkap Raden Ajeng Kartini, lahir pada tanggal 21 April 1879 di bumi Jepara, Jawa Tengah. Beliau adalah anak dari salah seorang Bangsawan yang masih taat pada adat istiadat sehingga tak mungkin baginya bergaul dan hidup dengan rakyat jelata. Setelah lulus dari ELS (Europese Lagere School) setingkat dengan SD, Kartini tidak diperbolehkan lagi melanjutkan sekolah yang lebih tinggi oleh orang tuanya, sehingga harapannya untuk melamjutkan sekolah yang lebih tinggi  pupus sudah. Hari-harinya ia habiskan hanya untuk berdiam dirumah sambil menunggu untuk dinikahi, beliau sangat sedih akan hal ini dan ingin sekali menentang tetapi takut akan dianggap sebagai anak durhaka. Untuk mengisi kesedihan ini, Kartini mengumpulkan surat-surat, majalah, buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya untuk dibaca ditaman rumahnya serta mengajak teman wanitanya untuk diajar tulis menulis dan belajar ilmu pengetahuan lainnya.

Raden Ajeng Kartini telah sekian lama mendominasi buku-buku pelajaran dan terutama buku-buku tingkat SD di seluruh Indonesia. Ia sangat diagung-agung dan diulek-ulekkan sebagai pahlawan emansipasi wanita. Bahkan oleh pihak Belanda sekalipun yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun lamanya, nama Kartini dinobatkan sebagai salah satu jalan di negeri Kincir Angin itu. Inilah sebuah penghargaan yang besar yang juga tak pernah dan tidak mungkin diberikan untuk orang yang dianggap “Musuh” (Wanita Aceh).

Hari berkebaya adalah ajakan yang menunjukan sebuah penghargaan dan rasa bangga serta rasa hormat para perempuan di pulau Jawa terhadap Kartini sosok yang diyakini telah melakukan perubahan terhadap bangsanya, rasa bangga sekaligus pengabdian yang ditunjukkan dengan sikap mengajak seluruh perempuan Indonesia lainnya untuk ikut mengabadikan tokoh perempuan dari kampung halaman mereka. Begitulah bunyinya sosok pahlawan bagi perempuan pulau Jawa.
Tanggal 21 April bagi kalangan kaum wanita di negeri ini tentu saja merupakan hari yang Istimewa dan Special. Karena pada tanggal tersebutlah salah seorang putri “Kebanggan” Indonesia dilahirkan di bumi Jepara, Jawa Tengah. Yaitu Raden Ajeng Kartini (1879-1904) namanya. Sebagai salah satu anak manusia yang pernah mengenyam bangku sekolah di negeri ini, tentunya saya juga menaruh rasa hormat yang dalam terhadap sosok wanita yang oleh masyarakat Kadung dianggap sebagai figure teladan perempuan pejuang dan tokoh emansipasi wanita ini. Namun setelah saya pikirkan perlahan-lahan beranjak dewasa, kini saya mulai sadar bahwa Kartini ternyata tak se-sakral itu. Dan kini saya juga tertarik untuk mengkritisi sosok Putri Kebanggan Indonesia ini, secara Objektif tentunya.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada sang “Putri Yang Mulia” (Sebutan beliau dalam salah satu lirik lagu nasional Ibu Kita Kartini), izinkanlah saya mengungkapkan beberapa kegundahan hati yang mengganjal di benak saya tentang R.A Kartini ini.
Pertama-tama bolehlah dan izinkanlah saya paparkan beberapa cuplikkan lirik dalam Lagu Ibu Kita Kartini yang juga bisa menjadi renungan kita bersama. Berikut ini beberapa petikan lirik lagu “Sakral” tersebut yang masih saya ingat:
Ibu Kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia.

Nah dalam lirik lagu diatas nampak jelas begitu terpujinya Kartini ini. Terbukti dengan  menyebutkan “Putri Yang Mulia” pada beliau. Dan ada lagi satu bait dalam lirik lagu tersbut yang juga dapat kita kritisi bersama, yaitu pada kata ”Sungguh Besar Cita-Citanya Bagi Indonesia.”
Sebenarnya apakah gerangan cita-cita besar Kartini yang oleh banyak orang disebut sebagai cita-cita yang mulia itu? Jawabannya (tolong anda analisa sendiri) konon adalah perjuangan mengenai emansipasi dan kesetaraan Gender. Untuk membahas masalah ini (Emansipasi dan Kesetaraan Gender) sungguh membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan tentunya akan selalu menimbulkan Pro dan Kontra setelahnya. Maka dalam tulisan ini saya mencoba mengambil sisi lain yang juga layak untuk dicermati. Yaitu mengenai kelayakan Kartini menyandang gelar Tokoh Emansipasi Wanita sehingga dijadikan sebagai Inspirator dan simbol sakral bagi para wanita di negeri ini hingga hari ini.
Nama R.A Kartini sebenarnya baru “Terkenal dan Meledak” sedemikian rupa pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya dengan para Nonik Belanda. Kumpulan surat yang diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) itu sendiri diterbitkan 14 tahun setelah kematian Kartini. Dan inilah yang patut digaris bawahi, penerbitnya adalah Belanda sang penjajah negeri ini. Menjadi menarik jika kita cermati apakah gerangan maksud Belanda dibalik semua itu? Mengapa kita patut curiga dengan maksud negeri yang telah mengeruk kekayaan perut Indonesia selama 3,5 Abad ini? Karena tidak mungkin negara yang tabiatnya adalah penjajah melakukannya dengan tanpa tujuan tertentu yang besar dibaliknya. Belanda boleh saja tidak menjajah Indonesia lagi secara fisik namun haram bagi mereka jika melepaskan Indonesia secara cuma-cuma karena negara inilah yang telah menghidupi negeri Kincir Angin tersebut selama 350 tahun lamanya.Pengkultusan Kartini adalah salah satu buah manis yang dihasilkan dari penanaman benih sejarah oleh Belanda melalui diterbitkannya buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Yang menjadi pertanyaan: Mengapa hanya Kartini saja yang menjadi sosok wanita yang hingga kini dikultuskan sebagai Tokoh Inspirator bagi para kaum hawa dinegeri ini? Dan mengapa hanya Kartini yang mungkin tidak pernah mendengar suara bentakan penjajah pun dijadikan sebagai pahlawan? Hal ini nampaknya tak lain adalah merupakan sisa-sisa proyek Belanda yang ingin meracuni otak anak-anak Indonesia melalui pembelokkan sejarah yang dibentuknya. Ingat bung, Kartini mulai terkenal namanya pasca diterbitkannya kumpulan surat-menyuratnya oleh Belanda. Kartini lebih disukai Belanda karena tidak membahayakan kepentingan Belanda. Karena tidak ada gerakan nyata dari Kartini yang memberi pengaruh luas pada masyarakatnya kala itu.
Kartini adalah anak priyayi alias dari kalangan Ningrat yang pergaulannya sangat terbatas, hingga tak mungkin baginya bergaul dengan rakyat jelata, karena kala itu masih berlaku sistem Kasta Sosial. Maka wajar saja jika Harsja W. Bahtiar dalam artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita” yang terangkum dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4) melakukan gugatan terhadap penokohan Kartini. Harsja W. Bahtiar menilai bahwa selama ini kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia sebenarnya lebih kepada konstruk (bentukan) orang-orang Belanda.
Maaf cakap, bandingkan dengan Cut Nyak Dhien yang tak mau berkompromi dan sangat membenci Belanda (bek kamat jaroe ke, kapee ceulaka. Tegas Cut Nyak Dhien). Sungguh inilah nampaknya juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Kartini sangat di anak emaskan oleh Belanda sehingga sejarah mengenai dirinya begitu agung, dipuji dan sangat diagung-angungkan hingga kini diberikan sebuah penghargaan besar, meski sesungguhnya dia tak layak untuk itu. Maka dari sini kita dapat menarik sebuah benang merah yang terputus mengapa kini hanya Kartini yang sejarahnya begitu gencar dipublikasikan dan bahkan hari kelahiranya diperingati setiap tahun secara meriah mulai dari pemakaian adat istiadat, Kebaya oleh para wanita negeri ini di hari tersebut hingga kegiatan-kegiatan seremonial lainnya.

Padahal jika boleh dikata tokoh ini masih dalam tahap bercita-cita serta bermimpi dan belum bergerak secara nyata dan sumbangsihnya bagi masyarakatnya kala itu juga tidak terlalu mencolok. Lantas mengapa justru Kartini yang diagung-agungkan sebagai Putri Indonesia yang mulia dan membanggakan?? Ah nampaknya kita memang lebih senang kepada tokoh yang berkoar-koar dan ucapannya yang indah meski tindakannya belum nyata ada (No Action Talk Only). Sama seperti kasus penganugerahan Nobel Perdamaian bagi Obama yang banyak dikritik oleh banyak masyarakat dunia karena sebenarnya dia tidak layak untuk itu sebab Obama menurut mereka hanya pandai berpidato namun Actionnya jauh dari apa yang diharapkan.

So, jika hingga hari ini Kartini masih dikultuskan sedemikian rupa, itu adalah hasil rekayasa manis dari pihak-pihak tertentu yang ingin terus membelokkan sejarah bangsa ini yang Shahih dan asli. Belanda dan pihak-pihak yang berkepentingan mencengkeram Indonesia ingin agar generasi baru Indonesia, terutama wanitanya, supaya menjadi seperti Kartini yang jinak pada Barat, dan paham keagamaannya Pluralis alias tidak fanatik dan taat pada agamanya. Mengapa demikian ?? Karena Islam adalah musuh yang sangat ditakuti oleh kaum Barat/penjajah (seperti halnya kata Christian Snouck Hurgonje). Dan jika semua itu berjalan sesuai Proyek mereka, maka bangsa Indonesia ini akan tetap mudah mereka kontrol.


Lalu Kalau Begitu Kapan Hari Perempuan Aceh?

Kalau menggunakan teks-teks atau konteks tentang Kartini, kita bisa temukan ditempat R.A Kartini lahir dalam semua buku wajib serta dalam lagu wajib. Ini tentu tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan yang berada di Jakarta. Sedangkan dalam hal mengenai keacehan jadi terabaikan dan untuk Aceh lebih baik tutup buku (masa bodoh). Dengan demikian, tentang Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Cut Meurah Intan, Pocut Baren, Malahayati, Ratu Safiatuddin, Tengku Fakinah, dan Perempuan Aceh lainnya sering kali tidak dipresentasikan dalam sejumlah buku wajib atau teks wajib lainnya. Inilah yang merupakan yang disebut sebagai tidak memihak, ketidakmerataan, ketidakadilan, dan sebagainya.

Barangali anda perlu diingatkan. Nah ini dia. Perlu kita ketahui, jauh sebelum R.A Kartini lahir, Aceh telah melahirkan Perempuan-Perempuan Perksa yang jasanya sungguh laur biasa dan Aceh pula pernah dipimpin oleh pada masa 4 Ratu yang berturut-turut, dari tahun 1641 - 1699, setelah Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani mangkat. Maka Aceh pun dipimpin oleh permpuan-permpuan yang begitu gagah dan sangat berpengaruh dalam hal urusan kenegaraan dan tahta kerajaan, Siapa mereka? Sebut saja: Taj’al- ‘Alam Safiatuddin Syah, Nuru’l ‘Alam Nakiatu’ddin Syah, Inayat Zakiatu’ddin Syah dan Kamalat Syah.

Tak sampai disitu tuan, Aceh juga melahirkan sejumlah Inoeng (Wanita) yang sangat gagah dan perkasa juga tak kalah dari kaum Agam alias Pria. Mereka bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pendidik, ulama dan berjihat, berperang, berjuang di medan perang. Mereka tak rela harus menjadi budak bangsa asing. Semangat pantang mundur mereka sungguh luar biasa, berkobar dan bergerilya dianatara peluru menentang setiap penjajahan diatas teriknya panas matahari. Mereka tak asing lagi bagi rakyat Aceh dan masih menjadi Idola dihati rakyat Aceh, meraka juga rela meninggalkan keluarga dan harta benda demi mengusir para penjajah yang kemudian Gugur dalam pertempuran melawan penjajah demi Aceh Tercinta. Mereka tak lain tak bukan seperti yang telah kita sebutkan diatas adalah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren, Tengku Fakinah, Tengku Fatimah, dan perempuan perkasa Aceh lainnya.

Tapi ironisnya, pahlawan-pahlawan Aceh ini seringkali disebut sebagai “Musuh” dalam sejumlah buku sejarah Aceh yang ditulis oleh para penulis Belanda. Musuh tentunya memang tidak akan dijadikan nama jalan di Belanda seperti yang diberikan untuk seorang Kartini. Musuh juga tidak mungkin diberikan sebuah penghargaan yang besar serta sangat diagung-agungkan. Yang namanya musuh tetap menjadi musuh sampai kapan pun tidak akan pernah berubah dan tidak mungkin fitnah menjadi sebuah kebenaran. Tapi nyatanya kok demikaian. Mengapa jasa perjuangan para pejuang Aceh yang murni dan nyata ini, seringkali tidak terepresentasikan dan berberat sebelah, terutama dalam dunia pendidikan Aceh. Dengan kata lain, kalau berbicara tentang keacehan tentunya pasti banyak diabaikan dalam segi apapun itu. Inilah yang oleh Stuart Hall (1998) disebut sebagai Unrepresentativeness atau tidak mewakili. Maka dari itu, perlu sekali untuk kita tingkatkan kembali Kearifan Aceh.

Ada iri dalam benak perempuan dan Rakyat Aceh pada umumnya, karena kenapa tidak salah satu dari perempuan Aceh yang menjadi ikon Perubahan Perempuan di Indonesia atau Kebangkitan Perempuan Indonesia maupun sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Padahal perempuan Acehlah yang lebih lama muncul ketimbang Kartini yang lahir pada 21 April 1879. Hal ini pernah kita angkat kepermukaan untuk membuktikan kepada Dunia, bahwa sudah sejak lama Rakyat Aceh telah memberikan tempat terhormat dan memberi kesempatan kepada kaum wanita sejajar dengan kaum pria, jauh sebelum kaum Barat dan R.A Kartini berjuang untuk emansipasi kaum wanita. Namun tidak seperti masa Kartini yang dianggap masih dikekang dan dipingit oleh adat istiadat Jawa. Dari fakta sejarah tersebut diatas membuktikan, bahwa Aceh telah berlangsung dalam praktek sejak lama dalam abad ke-15 M, bukan lagi dalam slogan perjuangan ataupun teori.

Di tahun 2012 ini, tepatnya tanggal 21 April bangsa Indonesia memperingati hari kelahiran Kartini yang ke-133 kali. Seiring dengan dikeluarnya Keppres RI nomor 108 tahun 1964, perempuan Jawa asal Jepara ini yang bernama lengkap R.A Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional serta menetapkan tanggal kelahirannya untuk diperingati setiap tahun yang kemudian dikenal sebagai “Hari Kartini.” Lantas bagaimana dengan perempuan Aceh? Lalu kapan hari perempuan Aceh? Adakah lagu wajib untuk Perempuan Aceh? Bagaimana dengan jasa-jasa mereka yang murni dan nyata itu? Kapan Perempuan Perkasa Aceh mendominasi buku-buku wajib diseluruh Indonesia? Sudahkah Perempuan Aceh berbangga dengan tokoh Perempuannya? Entehlah ! Yang pasti sampai saat ini perempuan Aceh hanya mengetahui dan mengenal hari Kartini. Rakyat Aceh, Saya dan Kita semua tidak pernah mengenal Hari Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Merah Intan, Malahayati, Ratu Safiatuddin, dan Wanita Perkasa Aceh lainnya.

Tapi jikalau sekedar menanyakan nama-nama pahlawan Aceh baik dari kaum laki-laki maupun kaum perempuan, Insya Allah dengan lancar lidah akan keluar nama itu. Akan tetapi jika ditanyai kapan hari dan tanggal berapa Perempuan Perkasa Aceh akan dikenang layaknya seperti hari Kartini? Saya sangat yakin banyak akan bungkam bila ditanyai seperti itu dan dengan sedikit menggelengkan kepalanya. Lain halnya ketika kita ditanyai hari, tanggal, dan bulan kelahiran Kartini dikenang. Dan saya sendiri pun sudah menanyakan hal ini kepada beberapa kawan kampus dan beberapa siswa-siswi SMP dan SMA di Aceh bahkan seklipun kepada anak TK. Mereka dengan senangnya dan lancar menyebut tanggal Hari Kartini yang akan dikenang di negeri ini. Bahkan beberapa diantara mereka, menghafal sedemikian fasehnya lirik lagu “Ibu Kita Kartini”. Ini salah siapa? Tanyakan pada diri anda sendiri. Sungguh ini sangat di sayangkan bila hal ini terus berlanjut ke generasi-generasi selanjutnya. Padahal Nenek Moyang mereka jauh lebih sakti dan lebih hebat ketimbang Kartini yang mereka kenal selama ini.

Terus terang saya katakan, sewaktu masih mengenyam bangku sekolah ditingkat SD, SMP dan SMA, saya masih ingat sampai sekarang, bahwa guru yang menjelaskan tentang keistimewaan Aceh dan sejarah Aceh lainnya sangat sedikit dan minim sekali akan penjelasannya tentang muatan lokal ini. Malahan mereka lebih cenderung terhadap tokoh-tokoh daerah luar. Tapi kini perlahan-lahan saya mulai sadar bahwa Pendidikan Aceh sedang sakit tuan. Terutama dalam hal meningkatkan kearifan lokal itu sendiri dan tentunya tidak mengabaikan sejarah atau muatan luar. Karena mengapa? Sebagian sejarah Aceh tidak dimasukkan dalam kurikulum kita. Misalnya seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Perang Aceh, dan sejarah Aceh lainnya.

Jujur saya katakan bahwa saya adalah termasuk salah satu korban dunia pendidikan dari tingkat SD hingga SMA yang cenderung mengabaikan pahlawan dari Aceh. Untungnya saya mulai bangkit dan sadar tatkala mulai membaca sendiri buku-buku tak wajib disekolah yang sulit saya dapatkan dipasaran. Terus terang saya katakan sejak dari SD hingga sampai SMA, saya lebih mengenal Kartini ketimbang pahlawan Perempuan Aceh yang tak diragukan lagi kepahlawannya padahal Acehlah yang mendominasi pahlawan diseluruh Indonesia denagan bukti adanya SK Presiden RI. Tapi nyatanya apa saya dapat, saya tidak pernah mengetahui hal itu dan kini saya mulai terarah ketika beranjak dewasa. Ini semua tak terlepas dari peranan kekuasaan. Juga peranan kepala sekolah, terutama guru, yang memilih dan menggunakan teks tanpa mempertanyakannya. Serta terlalu banyak edaran buku wajib dan pengaruh Barat yang ingin terus mengabaikan dan mengesampingkan ketokohan Aceh tapi lebih mengagung-agungkan pahlawan luar.

Seharusnya pihak sekolah harus kritis dan sadar mengapa mengambil tindakan itu dan mengapa tidak mengambil teks yang lain serta mengapa teks tersebut tidak meyakinkan tentang informasi yang setara antara Kartini dengan Perempuan Aceh? Ini jelas menunjukan bahwa sekolah hanya menjadi tempat Reproduksi baik secara sadar atau tidak, keinginan politik pada waktu itu. Apakah ini yang disebut dengan Pendidikan? Ada apa dengan semua ini? Siapa yang berhak disalahkan tolong beritahukan kepada kami?

Apakah pihak sekolah pantas disalahkan? Bagi saya antara iya dan tidak. Mungkin juga tidak sepenuhnya disalahkan karena mereka hanya melaksanakan tugas dari Dinas Pendidikan. Tapi disisi lain kepala sekolah dan guru patut disalahkan karena mereka tidak mempersoalkan dan menanyakan hal ini. Dan yang lebih buruk lagi, mengapa pihak Dinas Pendidikan dan Kementerian yang bertanggung jawab atas pendidikan di Aceh, tidak mempertanyakan hal-hal yang bersifat aneh ini? Mengapa pemerintah Aceh tidak mengambil suatu tindakan yang tegas dan nyata akan masalah pendidikan ini? Jika semua ini di diamkan, tunggulah dampak negatif yang akan datang. Masa depan bangsa ini dan anak negeri ini akan berantakan dan terjerumus kedalam jurang khususnya dalam dunia pendidikan.

Kembali kepersoalan. Iya atau Tidak, memang begitu realitasnya yang terpampang dihadapan kita sekarang. Realitas yang membuat kita tertampar dan tercabik. Realita yang memaksa kita untuk bertanya kepada diri sendiri dan hati nurani kita “Patutkah Kita Berbangga Memiliki Perempuan Aceh?” Patutkah kita membusungkan dada sambil berkata “Akulah Perempuan Aceh, Darah Pahlawan dan Pemberani?” Sedangkan penghargaan yang kita berikan kepada pahlawan kita hanya secuil dan tidak seimbang dengan apa yang telah mereka perjuangkan selama itu, walaupun mereka tidak mengharapkan itu, namun mereka layak untuk mendapatkannya. Ini merupakan pukulan telak bagi Perempuan Aceh pada umumnya, jasa mereka sama sekali tidak ada harganya. Jika saja penokohan Kartini ini tidak terjadi, maka saya, tidak akan mengganggu gugat tentang sosok R.A Kartini.

Mengapa Rakyat Aceh tidak mempersoalkan hal ini dengan serius? Kenapa seluruh Rakyat Aceh dipaksa untuk mengakui keberadaan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita? Bukankah jauh sebelum Kartini lahir, Aceh telah memiliki Ratu dan Perempuan yang emansipasinya melebihi emansipasi Kartini? Barangkali perempuan diluar Aceh sana dan terutama perempuan Jawa tidak mengakui keberadaan Perempuan Aceh, seperti Cut Nyak Dhien sebagai tokoh emansipasi wanita, dengan sedikit alasan mungkin Cut Nyak Dhien berjuang dan berperang melawan penjajah dengan pedang dan kuda bukan dengan kertas dan pena seperti Kartini? Jika itu alasannya, lalu bagaimana dengan Ratu Safiatuddin? Ratu Safiatuddin perempuan yang tersohor ke seantero dunia bukan karena maskulinitasnya seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Malahayati, dan wanita perkasa Aceh lainnya, tetapi karena kehebatannya dalam memimpin Kerajan Aceh Darussalam.

Perempuan yang juga memperjuangkan serta mempergunakan kertas dan pena sebagai bagian dari alat perjuangannya layaknya seperti Kartini. Ataukah karena Sejarah Aceh tidak pernah mengalami ketimbangan antara lak-laki dan perempuan seperti kebanyakan perempuan di pulau Jawa sehingga keberadaan perempuan Aceh tidak patut dijadikan Kiblat Perempuan Indonesia? Mungkin juga Kurikulum kita yang tidak memihak kepada Aceh, sehingga banyak Sejarah Aceh yang tidak dimasukkan kedalam kurikulum, yang membuat kebanyakan anak muda-mudi Aceh tidak mengetahui Sejarah mereka sendiri.

Memang kita tidak pantas membandingkan dan menyamakan Kartini dengan Perempuan Aceh, karena penokohan mereka dikenal dengan sudut pandang yang berbeda. Tentu setelahnya pasti akan timbul Pro dan Kontra jika Kartini disandingkan dan disamakan dengan Perempuan Aceh. Perempuan Jawa sekarang dan siapapun akan lebih mudah berkata “kalau Ibu Kartini kami lebih pintar daripada Perempuan Aceh maupun perempuan Indonesia lainnya, karena beliau berjuang dan melawan adat istiadat yang tidak memihak kepada kaumnya (wanita) dengan menggunakan Kertas dan Pena. Dan hanya satu-satunya perempuan yang ketika itu berjuang dengan menggunakan kertas dan pena hanyalah Perempuan Jawa yang bernama R.A Kartini.”

Bagi saya secara personal, lebih pantas dan lebih elok lagi jika Kartini dibandingkan atau disandingkan dengan Perempuan Aceh terdahulu, yang juga menggunakan kertas dan pena sebagai alat perjuangannya, siapakah beliau? yaitu Ratu Safiatuddin, anak yang masih menjadi idola hati Rakyat Aceh Sultan Iskandar Muda. Selama ini kita hanya mengenal dan berbangga dengan Cut Nyak Dhein, karena beliau handal dalam berperang melawan penjajah, berkuda dan memainkan pedang. Berbangga dengan Cut Meutia, karena beliau berani menerjang peluru dengan perlawanan hingga tetesan darah penghabisan. Berbangga dengan Malahayati, karena beliau mampu berlayar berhari-hari di Samudera luas, sehingga keberadaan pada masa 4 Ratu yang berturut-turut memimpin Aceh yang lebih politis dan akademis jadi terabaikan. 

Sepertinya ada yang salah dengan cara pandang kita terhadap sosok Wanita Perkasa Aceh ini. Ratu Safiatuddin bisa saja lebih hebat dan lebih pintar daripada Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Malahayati, dan perempuan Aceh lainnya. Namun karena sejarah tidak menceritakan tentang sifat maskulinitas dari pribadi beliau secara detail, maka tingkat kepopuleran mereka jauh dibawah Perempuan Aceh lainnya. Ratu Safiatuddin perempuan yang mampu mengatur semua urusan kenegaraan tanpa ada pedang kiri kanan ditangan beliau. Perempuan Aceh satu ini yang hebat dan mampu mendominasi tahta kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam pada masanya. Sosok feminim yang penuh dengan kewibawaan serta kata-kata yang tegas disetiap surat-suratnya kepada relasi kerajaan.

Sosok yang sangat saya yakini melebihi kehebatan dan kepintaran Kartini bahkan lebih unggul daripada sosok seorang Kartini. Sosok yang hari kelahiran dan hari mangkatnya patut diabadikan. Sudah saatnya Rakyat Aceh mengenang sebuah hari dan tangal serta menjadikan salah satu Perempuan Aceh sebagai Perempuan Terhebat di Nusantara/Sebagai Emansipasi Wanita/Sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Kita sebagai Rakyat Aceh tidak pantas dan tak patut harus selalu mengenang tokoh dari daerah lain. Sedangkan tokoh kita sendiri jadi terlupakan. Sehingga tak layak Perempuan Aceh menjadikan Kartini sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Sudah saatnya (bukan lagi saatnya) Perempuan Aceh harus berkiblat kepada Perempuan Aceh yang perkasa terdahulu seperti perempuan negeri ini lakukan terhadap Kartini. Bagi saya penokohan Kartini sebagai satu-satunya sosok dan emansipasi wanita perlu dikaji ulang atau membuat sebuah seminar tentang penokohan ini “Tepatkah Kartini Dijadikan Sebagai Kiblat Perempuan Indonesia?”

Seandainya saja Ibu Kartini masih hidup, mampukah seorang R.A Kartini menjadi seorang Perempuan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan bahkan terutama mampu menjadi Perempuan Aceh? Jika beliau mampu, maka saya tidak akan mempersoalkan lagi tentang keberadaannya sebagai Kiblat Perempuan Indonesia. Tapi sayang beliau sudah tiada, sehingga kesanggupan itupun hanya ada dalam keyakinan para simpatisannya saja. Dan bagi saya yang belum sepenuhnya mengiyakan dan mengakui bahwa keberadaan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita akan meyakini Kartini tidak akan pernah mampu menjadikan Perempuan Indonesia lainnya adalah selain Perempuan Jawa dan penduduknya.

R.A Kartini saya mengenal nama Mu ketika saya masih dibangku Taman Kanak-Kanak (TK), karena setiap tanggal 21 April hampir seluruh negeri ini terutama dipulau Jawa diharuskan memakai pakaian adat, kebaya dan sejenisnya. Saya juga mengenal nama Mu lewat sepengkal sejarah yang telah engkau ukir dan lewat sebuah lagu yang bertajuk “Ibu Kita Kartini” karya WR Supratman. Sungguh dalam lirik lagu itu engkau sangat dipuji dan mempunyai cita-cita yang besar. Berbeda halnya dengan Hari Perempuan Aceh dan Perempuan Indonesia lainnya. Saya tidak pernah mengenal hari mereka: Hari Pahlawan Perempuan Indonesia selain hari Kartini, apalagi hari Nenek Moyangku, Perempuan Aceh layaknya seperti hari engkau dikenang dinegeri ini wahai Kartini.

Engaku disebut-sebut sebagai pahlawan yang memperjuangkan emansipasi wanita tapi ketika itu saya belum tahu apa itu emansipasi dan mengapa harus diperjuangkan. Tapi kemudian perlahan-lahan ketika saya beranjak dewasa saat menginjak Pendidikan Sejarah di Universitas Syiah Kuala, saya mulai tahu apa yang engkau perjuangkan dan apakah seperti itu cita-cita yang engkau perjuangkan, Kartini. Tapi sekarang perjuangan untuk setara dengan kaum laki-laki itu ternyata butuh perjuangan yang gigih dan lama. Sampai saat ini perempuan masih terus memperjuangkan untuk mendapatkan kesetaraan yang dicita-citakan oleh Kartini.

Tahukah engkau Kartini, wanita dan perempuan era modern sekarang sudah bebas untuk keluar rumah dan tak ada lagi pingitan adat seperti apa yang engkau rasakan dahulu. Terutama perempuan di pulau jawa mereka sudah bebas keluar rumah, tidak terikat dan dikekang oleh adat istiadat Jawa bahkan mereka tidak pernah lagi merasakan seperti yang engkau rasakan dulu Kartini. Juga kawan saya dikampus asal dari Jawa, Yogyakarta sudah bebas memilih universitas yang di inginkan dan bahkan keluarganya hijrah dan menetap di Aceh. Ada satu hal lagi Kartini.

Wahai Kartini, alangkah baiknya engkau mengetahui dan melihat langsung Perempuan Aceh zaman sekarang. Perempuan-perempuan Aceh saat ini harus menggunakan jilbab dan memakai rok sebagai tanda, simbol dan lambang Syariat Islam. Perempuan Aceh tidak boleh lagi memiliki kebebasan untuk bisa mendefinisikan tubuhnya sendiri dalam hal berpakaian. Perempuan Aceh tidak terbelenggu lagi oleh adat istiadat dan malahan mereka senang dan bangga dengan aturan yang mengatasnamakan Agama Islam yang diterapkan melalui Qanun (Undang-Undang Islam) bahkan Satpol PP pun telah diadakan di Aceh.

Kartini, saya tidak tahu mengapa engkau mau menikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri tiga? Mengapa engka mau dimadu, dipingit, dan dikurung dalam rumah? Apakah ini sebuah bentuk kepatuhanmu terhadap orang tua agar orang tuamu tidak malu? Ataukah engkau tidak sanggup lagi melawan budaya patriarki dan penafsiran orang tentang Islam?

Dari perjuangan Mu Kartini, saya bisa mendapatkan banyak pelajaran. Perjuangan terhadap kaum Mu tentu sudah kita rasakan saat ini, tapi perjuangan terus akan berlanjut. Salah satu pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa perempuan memiliki pilihan atas dirinya sendiri, itulah yang saya maknai sebagai kebebasan menjadi perempuan sampai saat ini.

Jadi, kesimpulan yang dapat kita tarik dari pembahasan tulisan ini adalah: Ternyata jikalau kita dapat berpikir secara akal sehat maka kita akan dengan sangat yakin untuk mengatakan bahwa yang berhak menyandang status Putri Kebanggaan Indonesia tersebut adalah Perempuan Aceh bukan R.A Kartini. Dan yang Actionnya bagi bangsa ini telah terbukti nyata ada dan bukan hanya sekedar bercita-cita/bermimpi/menulis/melawan adat istiadat/berkawan dengan Belanda/tanpa jasa yang besar dan Talk Only belaka yang dapat dianggap sebagai wanita pejuang dan Inspirator sejati bagi wanita Indonesia. Karena kita sebenarnya lebih butuh action nyata dari seorang manusia yang ditokohkan dan bukan hanya sekedar omongan belaka. Jika hanya karena memiliki cita-cita yang besar bagi Indonesia, Kartini telah dicap sebagai Putri Indonesia yang sejati nan mulia (seperti dalam lirik lagu di atas), lalu kapan Hari yang Special untuk jasa perempuan-perempuan Aceh, layaknya seperti hari Kartini??? Dan lantas apa gelar (bukan hanya gelar Pahlawan) yang layak di selamatkan kepada tokoh-tokoh wanita pejuang yang tidak hanya bercita-cita namun telah berkarya dan bergerak nyata bagi bangsa ini??? Toh kalau hanya bercita-cita saja seperti Kartini, maka saya, anda dan semua masyaarakat Indonesia pun juga bisa. Yea kan? Memang sorang Musuh tidak mungkin untuk diberikan dan tidak layak untuk mendapatkan sebuah Penghargaan yang besar seperti yang apa yang telah Kartini dapatkan selama ini. Akan tetapi tolong anda pikirkan sematang mungkin secara akal sehat tentunya. Terakhir Saran dan Pesan penulis kepada seluruh Perempuan Aceh “Belajarlah dari Perempuan Jawa maupun Perempuan Indonesia lainnya dalam hal menghargai jasa pahlawan kita sendiri.”



Penulis Adalah Mahasiswa FKIP Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar