19 Oktober 2014

Merayakan Harkitnas 20 Mei, Mewarisi Kebodohan Sejarah


Rasulullah Saw sebagai tauladan terbaik umat manusia sepanjang zaman mengatakan jika dalam melakukan sesuatu itu, manusia harus memahami terlebih dahulu apa yang akan dilakukan atau diperbuatnya. Istlahnya: “Fahmu qabla ‘amal” atau “Paham terlebih dahulu baru melakukan”. Ini merupakan prinsip yang harus diikuti oleh manusia yang oleh Allah Swt diberi akal, sehingga manusia bisa bepikir, memilah yang baik atau buruk, dan tidak melakukan sesuatu hanya karena latah atau berdalih “sudah tradisi”.

Akal-lah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal, manusia bisa berpikir. Beda dengan hewan yang hanya mengandalkan insting, sehingga semua yang dilakukan hewan sesungguhnya hanya merupakan pengulangan dari apa yang telah dilakukan hewan-hewan lainnya. Sebab itu, sangatlah tidak layak seorang manusia di dalam melakukan sesuatu hanya menyatakan “Sudah tradisi”. Karena yang namanya tradisi tentu ada yang bagus dan ada pula yang jelek.

Salah satu peringatan yang terus dipelihara sepanjang tahun oleh penguasa di negeri ini adalah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Tidak dahulu tidak sekarang, pemerintah selalu saja mendengungkan jika tanggal 20 Mei, tanggal berdirinya organisasi priyayi Jawa Boedhi Oetomo tahun 1908, merupakan tonggak kebangkitan nasional. Padahal Boedhi Oetomo sama sekali tidak berhak mendapat tempat terhormat seperti itu. Mengapa?

Budi Utomo Tidak Punya Andil Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Adalah KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa“, dengan tegas menulis jika Budi Utomo (BO) tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. BO terdiri dari para pegawai negeri (ambtenaar) yang hidupnya tergantung pada uang penjajah Belanda. BO juga tidak turut mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis sentris. Hanya bangsawan Jawa Tengah dan Madura yang boleh menjadi anggotanya, orang Sunda, Betawi, dan sebagainya dilarang masuk BO.


BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan dalam penyusunan Anggaran Dasar Organisasi-pun BO tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Belanda. Dalam rapat-rapat, BO tidak pernah membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana memperbaiki tarap hidup orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis tentang tujuan organisasi yakni untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Tujuan BO tersebut jelas bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan. BO juga memandang Islam sebagai batu sandungan bagi upaya mereka. Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam salah satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini Alsrichtnoer voor de Indische Vereniging berkata: “ Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…. sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan “.


Sebuah artikel di ”Suara Umum“, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, yang dikutip oleh Al-Ustadz A. Hassan dalam majalah “Al-Lisan “ terdapat tulisan berbunyi: “Digul lebih utama dari pada Mekkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu punya kiblat.“ (M.S. Al-Lisan Nomer 24, 1938) Oleh karena sangat loyal pada penjajah Belanda, tidak ada seorang pun anggota BO yang ditangkap Belanda. Arah perjuangan BO yang tidak nasionalis, telah mengecewakan dua pendiri BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya keluar dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata tokoh Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak 1895. Sekretaris BO (1916) , Boediardjo, juga seorang mason yang mendirikan cabang sendiri dengan nama Mason Boediardjo. Buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, karya Dr. Th. Stevens memuat fakta ini. Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi Utomo, sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja.

Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ” (Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83). Budi Utomo merupakan organisasi binaan Freemasonry yang menginduk kepada Yahudi Belanda. Pengkultusan terhadap Budi Utomo, dengan menisbatkannya sebagai organisasi pelopor kebangkitan Indonesia, merupakan hasil kerja Freemasonry dan Yahudi Belanda.

Jadi, siapa pun yang dengan sadar memelihara pengkultusan ini—dengan salah satunya ikut-ikutan merayakan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei dengan sadar, padahal mereka tahu tentang sejarah yang sesungguhnya dari Budi Utomo ini—berarti telah ikut bergabung dengan barisan kaum Freemasonry dalam menyesatkan bangsa ini.

Berdirinya Syarikat Islam Jadikan Sebagai Harkitnas

Seharusnyalah peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan tanggal 20 Mei, namun tanggal 16 Oktober. Sejarah telah mencatat jika tiga tahun sebelum Budi Utomo berdiri, Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam) didirikan, tepatnya pada 16 Oktober 1905. Sangat beda dengan Budi Utomo, SI lebih nasionalis dan berterus terang ingin mencapai Indonesia yang merdeka. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab itu para pengurusnyapun terdiri dari berbagai macam suku dari seluruh Nusantara.


SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, bersifat nasional, Anggaran Dasarnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, bersikap non-kooperatif dengan Belanda, dan ikut mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan. Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia. Der Mehden tidak sendirian, ada banyak sejarawan asing dan juga Indonesia yang dengan tegas menyatakan jika SI-lah organisasi nasionalis pertama. Sedangkan Budi Utomo bukanlah organisasi yang nasionalis.

Usaha untuk menjadikan SI (atau SDI) sebagai tonggak Harkitnas menggantikan kesalah-kaprahan sejarah selama ini, pernah diusulkan umat Islam kepada pemerintah. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini.


Akhir tahun 1980-an Indonesia katanya dilanda fenomena kebangkitan Islam dan saat ini sudah ada banyak orang yang mengaku sebagai tokoh Islam yang masuk ke lingkaran pusat pemerintahan, bahkan duduk dalam pos-pos strategis. Namun bukannya mewarnai pemerintahan, mereka malah terwarnai pemerintahan yang sampai hari ini masih saja mewarisi tradisi Yahudi Belanda. Bukannya meluruskan sejarah negeri Muslim terbesar di dunia ini, mereka malah ikut-ikutan latah memelihara warisannya Freemasonry Belanda ini. Jika untuk meluruskan sejarah yang kecil saja mereka tidak punya keberanian sebesar biji dzarrah sekali pun, maka apa lagi yang bisa kita harapkan dari mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar