Negara-negara di dunia umumnya
memiliki masyarakat yang majemuk. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang
memiliki berbagai kebudayaan khusus yang jelas sekali. Demikian juga dengan
Negara kita Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Setiap suku
bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Indonesia merupakan negara yang
menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat,
hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskriptif) sebagian masyarak
masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di
tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun
dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5/1960 yang mengakui keberadaan
hukum adat dalam kepemilikan tanah dan proses perkawinan dan lain-lain.
(Subekti: 1992: 67).
Nanggröe Aceh Darussalam adalah
sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan
merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan
Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka
di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan. (Pejabat
Gubernur), Suku bangsa Orang Aceh, Orang Gayo, Orang Alas, Aneuk Jamee, Melayu
Tamiang, Jawa dll, Agama: Islam, Aceh, Indonesia, dll, Lagu
kedaerahan Bungong Jeumpa. (Buku Statistik Kependudukan Pemkab Aceh Tengah).
Berbicara tentang hukum Adat
dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan
(problem). Beberapa problem itu antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang
selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh
Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua,
hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai
peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture)
perlu dikembangkan pada masa sekarang sehingga hukum yang berlaku di masyarak
terasa lebih melekat. (Mahadi, 1991: 76).
Orang Aceh kaya akan adat istiadat,
kesenian dan tarian-tarian. Untuk setiap kabupaten mempunyai perbedaan dan
variasi masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara perkawinan,
kelahiran bayi, turun ke sawah, turun ke laut, peusijuk (tepung tawar),
khanduri mauled (maulid Nabi), Nuzulul Quran (17 Ramadhan) dan lain-lain.
Sedangkan bentuk budaya dapat dilihat pada tulisan kaligrafi, rumah-rumah adat,
meunasah (surau), balee, dayah/tempat pengajian dengan kesenian seperti dalaeil
khairat (puji-pujian berbentuk irama), dikee/zikir, nasyid/rebana. Dan
motif-motif adat lainnya dapat dilihat pada perhiasan emas, perak, keramik dan
ukiran-ukiran berbagai ornament, termasuk pada batu nisan Aceh, ruang pelamin
dan aneka pakaian adat (n, 2004; 69).
Orang-orang Aceh sebagai umat islam,
amat kuat memegang kepribadian Aqidah Islam dalam kehidupan, sebagai asas pokok
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wawasan budaya itu amat sejalan
dengan perkembangan watak etnik Aceh dimana aspek kultural, idiologi dan
struktural bersenyawa dengan adat dan agama Islam. Dimana satu sama lain sulit
dipisahkan. Bagi orang Aceh agama dengan adat, Lagei Zat Ngon Sifuet (seperti
zat dengan sifat) artinya antara adat dengan peraturan agama tidak dapat
dipisahkan. Adat bersumber dari syarak dan syarak bersumber dari Kitabullah
(Kitab Allah). Karena itu adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh
tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam (Ismail, Badruzzaman,
2004; 68).
Dalam hubungan ini lahirlah Hadih
Maja :
“Adat bak Po Teumeuruhom, hukom
bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Laksamana”.(Adat Pada Sultan, Hukum Pada Syiah Kuala, Qanun Pada Putroe Phang, Resam Pada Laksamana).
“ Mate Anuek meupat
jeurat gadoh adat pat tamita”(Mati anak tinggal pusara
hilangnya adat mau dicari kemana). (Umar, Muhammad,
2008; 76).
Berdasarkan hadih maja di atas jelas
menggambarkan bagian-bagian sumber peraturan yang dijalankan oleh masyarakat,
dan hadih maja yang kedua menunjukkan suatu kalimat nasihat kepada masyarakat
aceh akan pentingnya menjaga dan melestarikan adat istiadat serta menjaganya
dengan baik sampai ke anak cucu kita.
W.A. Haviland (1988;336) mengatakan
bahwa kebudayaan tanpa masyarakat adalah tidak mungkin, seperti juga tidak
mungkin ada masyarakat tanpa individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia
yang dikenal tidak berbudaya. Koentjaraningrat (2003; 74-75) berpendapat bahwa
kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar”. Selanjutnya dia berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling
sedikit tiga wujud, yaitu :
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal
dari kebudayaan. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut dengan adat istiadat.
Kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia
dalam masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa adat istiadat berkaitan erat
dengan kebudayaan, karena adat istiadat merupakan wujud ideal dari kebudayaan.
Untuk tetap mempertahankan adat istiadat tersebut, masyarakat pendukungnya akan
menurunkan kepada generasi yang berikutnya.
Masyarakat mewujudkan adat istiadat
dalam berbagai bentuk upacara. Upacara menurut jenisnya dapat digolongkan
kedalam dua kategori yaitu Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup Individu (Individual
Life Cycle) dan Upacara Keramat (Ritual of Application ).
Upacara sepanjang lingkaran hidup individu (Individual Life Cycle)
misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa akhil
baligh, masa bertunangan, masa setelah menikah, masa hamil, masa tua dan masa
setelah meninggal dunia (Syamsuddin, T; 1988;2).
Setiap kali kehidupan individu itu
beralih dari suatu tingkat ketingkat selanjutnya, biasanya lingkungan
masyarakatnya mengadakan upacara tertentu yang menunjuk pada peralihan status.
Peralihan sepanjang lingkaran hidup individu adalah saat yang dianggap penuh
bahaya (krisis) atau rawan terhadap gangguan bahaya gaib, oleh sebab itu harus
dilaksanakan upacara-upacara tertentu. Upacara adalah kelakuan simbolis yang
mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan
perbuatannya dalam tata tersebut. Dalam upacara dipergunakan kata-kata, doa dan
gerak-gerik tangan atau badan.
Dengan penjelasan diatas maka
peneliti tertarik untuk meneliti satu bagian dari upacara sepanjang lingkaran
hidup individu pada masyarakat Aceh yaitu adat peutron Anuek yang ada di
kecamatan Sakti kabupaten Pidie. Suku bangsa Aceh menyebut salah satu dari
upacara masa bayi tersebut dengan sebutan Adat Peutron Anuek. Adat Peutron
Anuek memiliki banyak pengertian dan makna-makna yang terkandung didalamnya.
Secara umum pengertian Adat Peutron Anuek ialah kebiasaan masyarakat membawa
anak turun ke tanah, upacara ini adalah upacara memperkenalkan seorang bayi
untuk pertama kalinya kepada lingkungan masyarakat luas baik di lingkungan itu
sendiri seperti sanak saudara (famili) maupun masyarakat luar. Upacara adat ini
dilaksanakan ketika bayi berumur 44 hari.
Anak yang telah berumur empat puluh
empat hari tersebut diturunkan kehalaman oleh seseorang yang terpandang baik
perangai maupun budi pekerti yang sudah lebih dulu diinginkan oleh orang tua si
bayi dengan tujuan agar si anak kelak mengikuti jejak orang tersebut, orang
yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Bayi diturunkan dengan
dipayungi ija batek (kain gendong berukir batik) dan kaki anak tersebut
diinjakkan ke tanah (peugilho tanoh). Pada upacara ini diatas kepala si anak di
belah buah kelapa dengan alas kain putih yang dipegang empat orang dengan
tujuan agar si bayi tidak takut terhadap suara petir. Dalam pelaksanaannya
selalu diiringi dengan mengayunkan sambil mengadakan acara berjanzi (marhaban)
dan sekaligus pemberian nama.
Saat pelaksanaan upacara Peutron
Anuek tidak mempunyai kesamaan waktu di seluruh masyarakat Aceh. Peutron Anuek
pada masyarakat Gayo dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bersamaan
dengan upacara cukur rambut, pemberian nama dan hakikah. Pada masyarakat Anuek
Jamee turun tanah disebut Turun Ka Aie, dilakukan pada hari ke empat puluh
empat, bersamaan pula dengan cukur rambut, pemberian nama, kadang-kadang pula
disertai dengan upacara hadiah. Begitu pula di Tamiang dan masyarakat Aceh
lainnya. Dahulu ada kalanya Peutron Anuek dilakukan setelah bayi berumur satu
sampai dua tahun, lebih-lebih jika bayi itu anak yang pertama. Karena
anak yang pertama biasanya upacaranya lebih besar (Syamsuddin, T,
1988; 128).
Bagi setiap pasangan suami istri,
kelahiran seorang bayi baik laki-laki maupun perempuan merupakan anugrah dan
berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semenjak kelahiran si bayi,
setiap orang tua selalu mempunyai harapan-harapan tertentu apabila si anak
kelak menjadi dewasa. Pengharapan-pengharapan orang tua terhadap anak-anaknya
dimanifestasikan dalam bentuk upacara adat. Dalam upacara tersebut adakalanya
dipotong hewan sembelihan, terutama bagi keluarga yang mampu secara ekonomi.
Berbagai upacara adat yang terdapat
pada suku bangsa Aceh, pelaksanaanya selalu dipengaruhi atau diiringi dengan
nilai-nilai agama Islam. Demikian pula halnya dengan upacara Peutron Anuek pada
suku bangsa Aceh. Agama Islam yang dianut tidak sampai pula menjadikan
masyarakat Aceh bersifat fanatik bahkan membenarkan terus berlangsungnya
tradisi-tradisi setempat namun akan selalu berpedoman kepada ajaran-ajaran
Islam. Meskipun tradisi-tradisi tersebut masih selalu dilaksanakan masyarakat,
tetapi dalam pelaksanaannya sudah banyak mengalami perubahan sesuai dengan
perubahan masyarakat dari dahulu sampai sekarang.
Adapun maksud peneliti memilih
Upacara Adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh yaitu berusaha memaparkan lebih
jauh lagi tentang upacara tersebut mulai makna dari pelaksanaannya, proses,
fungsinya dan makna simbol-simbol atau lambang-lambang yang banyak dipergunakan
dalam upacara Adat Peutron Anuek tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar