16 Januari 2014

Adat Aceh Dalam Acara Peutron Aneuk



Negara-negara di dunia umumnya memiliki masyarakat yang majemuk. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki berbagai kebudayaan khusus yang jelas sekali. Demikian juga dengan Negara kita Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskriptif) sebagian masyarak masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5/1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah dan proses perkawinan dan lain-lain. (Subekti: 1992: 67).

Nanggröe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan. (Pejabat Gubernur), Suku bangsa Orang Aceh, Orang Gayo, Orang Alas, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Jawa dll, Agama: Islam, Aceh, Indonesia, dll, Lagu kedaerahan Bungong Jeumpa. (Buku Statistik Kependudukan Pemkab Aceh Tengah).

Berbicara tentang hukum Adat dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Beberapa problem itu antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan pada masa sekarang sehingga hukum yang berlaku di masyarak terasa lebih melekat. (Mahadi, 1991: 76).


Orang Aceh kaya akan adat istiadat, kesenian dan tarian-tarian. Untuk setiap kabupaten mempunyai perbedaan dan variasi masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara perkawinan, kelahiran bayi, turun ke sawah, turun ke laut, peusijuk (tepung tawar), khanduri mauled (maulid Nabi), Nuzulul Quran (17 Ramadhan) dan lain-lain. Sedangkan bentuk budaya dapat dilihat pada tulisan kaligrafi, rumah-rumah adat, meunasah (surau), balee, dayah/tempat pengajian dengan kesenian seperti dalaeil khairat (puji-pujian berbentuk irama), dikee/zikir, nasyid/rebana. Dan motif-motif adat lainnya dapat dilihat pada perhiasan emas, perak, keramik dan ukiran-ukiran berbagai ornament, termasuk pada batu nisan Aceh, ruang pelamin dan aneka pakaian adat (n, 2004; 69).

Orang-orang Aceh sebagai umat islam, amat kuat memegang kepribadian Aqidah Islam dalam kehidupan, sebagai asas pokok dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wawasan budaya itu amat sejalan dengan perkembangan watak etnik Aceh dimana aspek kultural, idiologi dan struktural bersenyawa dengan adat dan agama Islam. Dimana satu sama lain sulit dipisahkan. Bagi orang Aceh agama dengan adat, Lagei Zat Ngon Sifuet (seperti zat dengan sifat) artinya antara adat dengan peraturan agama tidak dapat dipisahkan. Adat bersumber dari syarak dan syarak bersumber dari Kitabullah (Kitab Allah). Karena itu adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam (Ismail, Badruzzaman, 2004; 68).

Dalam hubungan ini lahirlah Hadih Maja :

Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”.(Adat Pada Sultan, Hukum Pada Syiah Kuala, Qanun Pada Putroe Phang, Resam Pada Laksamana).

“  Mate Anuek meupat jeurat gadoh adat pat tamita”(Mati anak tinggal pusara     hilangnya adat mau dicari kemana). (Umar, Muhammad, 2008; 76).

Berdasarkan hadih maja di atas jelas menggambarkan bagian-bagian sumber peraturan yang dijalankan oleh masyarakat, dan hadih maja yang kedua menunjukkan suatu kalimat nasihat kepada masyarakat aceh akan pentingnya menjaga dan melestarikan adat istiadat serta menjaganya dengan baik sampai ke anak cucu kita.


W.A. Haviland (1988;336) mengatakan bahwa kebudayaan tanpa masyarakat adalah tidak mungkin, seperti juga tidak mungkin ada masyarakat tanpa individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal tidak berbudaya. Koentjaraningrat (2003; 74-75) berpendapat bahwa kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Selanjutnya dia berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu :

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut dengan adat istiadat. Kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa adat istiadat berkaitan erat dengan kebudayaan, karena adat istiadat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Untuk tetap mempertahankan adat istiadat tersebut, masyarakat pendukungnya akan menurunkan kepada generasi yang berikutnya.

Masyarakat mewujudkan adat istiadat dalam berbagai bentuk upacara. Upacara menurut jenisnya dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup Individu (Individual Life Cycle) dan Upacara Keramat (Ritual of Application ). Upacara sepanjang lingkaran hidup individu  (Individual Life Cycle) misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa akhil baligh, masa bertunangan, masa setelah menikah, masa hamil, masa tua dan masa setelah meninggal dunia (Syamsuddin, T; 1988;2).


Setiap kali kehidupan individu itu beralih dari suatu tingkat ketingkat selanjutnya, biasanya lingkungan masyarakatnya mengadakan upacara tertentu yang menunjuk pada peralihan status. Peralihan sepanjang lingkaran hidup individu adalah saat yang dianggap penuh bahaya (krisis) atau rawan terhadap gangguan bahaya gaib, oleh sebab itu harus dilaksanakan upacara-upacara tertentu. Upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata tersebut. Dalam upacara dipergunakan kata-kata, doa dan gerak-gerik tangan atau badan.

Dengan penjelasan diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti satu bagian dari upacara sepanjang lingkaran hidup individu pada masyarakat Aceh yaitu adat peutron Anuek yang ada di kecamatan Sakti kabupaten Pidie. Suku bangsa Aceh menyebut salah satu dari upacara masa bayi tersebut dengan sebutan Adat Peutron Anuek. Adat Peutron Anuek memiliki banyak pengertian dan makna-makna yang terkandung didalamnya. Secara umum pengertian Adat Peutron Anuek ialah kebiasaan masyarakat membawa anak turun ke tanah, upacara ini adalah upacara memperkenalkan seorang bayi untuk pertama kalinya kepada lingkungan masyarakat luas baik di lingkungan itu sendiri seperti sanak saudara (famili) maupun masyarakat luar. Upacara adat ini dilaksanakan ketika bayi berumur 44 hari.

Anak yang telah berumur empat puluh empat hari tersebut diturunkan kehalaman oleh seseorang yang terpandang baik perangai maupun budi pekerti yang sudah lebih dulu diinginkan oleh orang tua si bayi dengan tujuan agar si anak kelak mengikuti jejak orang tersebut, orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Bayi diturunkan dengan dipayungi ija batek (kain gendong berukir batik) dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugilho tanoh). Pada upacara ini diatas kepala si anak di belah buah kelapa dengan alas kain putih yang dipegang empat orang dengan tujuan agar si bayi tidak takut terhadap suara petir. Dalam pelaksanaannya selalu diiringi dengan mengayunkan sambil mengadakan acara berjanzi (marhaban) dan sekaligus pemberian nama.

Saat pelaksanaan upacara Peutron Anuek tidak mempunyai kesamaan waktu di seluruh masyarakat Aceh. Peutron Anuek pada masyarakat Gayo dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama dan hakikah. Pada masyarakat Anuek Jamee turun tanah disebut Turun Ka Aie, dilakukan pada hari ke empat puluh empat, bersamaan pula dengan cukur rambut, pemberian nama, kadang-kadang pula disertai dengan upacara hadiah. Begitu pula di Tamiang dan masyarakat Aceh lainnya. Dahulu ada kalanya Peutron Anuek dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun, lebih-lebih jika bayi itu anak yang pertama. Karena anak  yang pertama biasanya upacaranya lebih besar (Syamsuddin, T, 1988; 128).


Bagi setiap pasangan suami istri, kelahiran seorang bayi baik laki-laki maupun perempuan merupakan anugrah dan berkah dari Tuhan Yang Maha  Kuasa. Semenjak kelahiran si bayi, setiap orang tua selalu mempunyai harapan-harapan tertentu apabila si anak kelak menjadi dewasa. Pengharapan-pengharapan orang tua terhadap anak-anaknya dimanifestasikan dalam bentuk upacara adat. Dalam upacara tersebut adakalanya dipotong hewan sembelihan, terutama bagi keluarga yang mampu secara ekonomi.

Berbagai upacara adat yang terdapat pada suku bangsa Aceh, pelaksanaanya selalu dipengaruhi atau diiringi dengan nilai-nilai agama Islam. Demikian pula halnya dengan upacara Peutron Anuek pada suku bangsa Aceh. Agama Islam yang dianut tidak sampai pula menjadikan masyarakat Aceh bersifat fanatik bahkan membenarkan terus berlangsungnya tradisi-tradisi setempat namun akan selalu berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam. Meskipun tradisi-tradisi tersebut masih selalu dilaksanakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya sudah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat dari dahulu sampai sekarang.

Adapun maksud peneliti memilih Upacara Adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh yaitu berusaha memaparkan lebih jauh lagi tentang upacara tersebut mulai makna dari pelaksanaannya, proses, fungsinya dan makna simbol-simbol atau lambang-lambang yang banyak dipergunakan dalam upacara Adat Peutron Anuek tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar