5 Februari
1947, 66 tahun yang lalu menjadi tonggak bersejarah berdirinya HMI. Perjalanan
66 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menorehkan tinta sejarah di
pentas nasional. Banyak tokoh nasional dan lokal telah dilahirkan oleh
organisasi yang lahirnya diprakarsai oleh Lafran Pane ini. HMI pun diharapkan
tetap dapat memberikan kontribusinya dalam mengisi perjalanan bangsa. Bulan
Oktober 1946 berdiri Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebagai
satu-satunya organisasi mahasiswa di Yogyakarta waktu itu yang anggotanya
meliputi mahasiswa BPT Gadjah Mada, STT, STI. Di Solo tahun 1946 berdiri
Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Kedua organisasi itu berhaluan komunis.
Tidak satupun diantara organisasi mahasiswa itu yang berorientasi Islam.
Lafran Pane,
seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII- Universitas Islam
Indonesia) yang baru duduk di tingkat I, mengadakan pembicaraan dengan
teman-teman mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam. Lafran
Pane lantas mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang
ada di STI, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT),
guna menghadiri rapat, membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih
kurang 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota PMY dan GPII.
Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan, belum membawa hasil, karena
ditentang oleh PMY. Dengan mengadakan rapat tanpa undangan, secara mendadak,
mempergunakan jam kuliah tafsir Bapak Husin Yahya almarhum (mantan Dekan
Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), diselenggarakanlah pertemuan
untuk mendeklarasikan berdirinya HMI.
Ketika itu
hari Rabu Tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Febuari 1947, di salah satu ruangan
kuliah STI di jalan Setiodiningratan 30 (sekarang Jl. Panembahan Senopati),
masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya ketika memimpin rapat
antara lain mengatakan: “Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa
Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Sikap ini diambil, karena
kebutuhan terhadap organisasi ini sudah sangat mendesak. Yang mau memerima HMI
sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus
menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.”
Adapun latar
belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari
keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada
umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian
adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu.
Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi
mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa
yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk
pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut
tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka
organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan
keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Ketika
mendirikan HMI 5 Febuari 1947, Lafran Pane genap berusia 25 Tahun. Ide
Lafran Pane mendirikan HMI dilakukan bersama 14 orang temannya yaitu Kartono
Zarkasi, Dahlan Husain, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti
Zainab, M. Anwar, Hasan Basri, Zukkarnaen, Thayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron
Hadi. Terpilih menjadi Ketua HMI pertama Lafran Pane dan Wakil Ketua
Asmin Nasution.
Sejarah mencatat
HMI telah memberikan kontribusi tidak kecil sejak awal kelahirannya. Setidaknya
itu terlihat dari tekad awal (1947) yang tertuang dalam tujuan organisasi yang
secara konsisten dilaksanakan, yaitu mempertahankan Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan agresi
Belanda dan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi.
Demikian
pula ketika terjadi gerakan PKI pada 1965. HMI menjadi satu elemen yang paling
diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai musuh utama. Sampai-sampai DN Aidit
memprovokasi anak buahnya dengan mengemukakan, “Jika tidak bisa membubarkan
HMI, lebih baik pakai sarung saja.” Berkat rahmat Tuhan, bukan HMI yang bubar
melainkan PKI yang gulung tikar.
Sampai pada
dua pertiga masa kekuasaan Orde Baru, HMI masih memperlihatkan kekuatan luar
biasa. Bahkan ketika kekuasaan Orde Baru dengan gaya represif dan otoriter
ingin memaksakan kehendak agar seluruh ormas termasuk OKP menggunakan asal
tunggal Pancasila, HMI dalam kongres di Medan (1983) dengan tegas dan suara
bulat menolak. Walaupun dalam kongres berikut (1986), HMI dengan sangat
terpaksa mengakomodasi keinginan penguasa tersebut dengan pertimbangan yang
bersifat sangat politis. Dalam artian ingin menyelamatkan wadah perjuangan HMI
dari gerusan penguasa otoriter, lantaran bila tidak mau menerima Pancasila
sebagai asas tunggal HMI akan dibubarkan. Meskipun itu harus dibayar mahal oleh
HMI dengan menyempal organ HMI yang kemudian menamakan diri HMI Majelis
Penyelamat Organisasi (MPO) yang dimotori Eggy Sudjana.
Perumusan
NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) HMI
NDP kali
pertama dikenal pada tahun 1969 pada saat Pengurus Besar HMI yang bertempat di
Jakarta dipimpin oleh Nurcholis Madjid yang sering dikenal dengan Cak Nur,
tepatnya pada Kongres ke-9 di Malang, pada saat itu Cak Nur memberikan
presentasi mengenai Nilai Dasar Islam, selanjutnya kertas kerja yang telah
disampaikan oleh Cak Nur dalam kongres tersebut diminta oleh peserta kongres
dan selanjutnya kongres mengamanahkan untuk disempurnakan dengan menugaskan
Sakib Mahmud, Endang Ashari serta konseptornya Cak Nur.
Pada Kongres
ke-10 di Palembang tahun 1971 konsep dasar Islam ini dikukuhkan dengan nama
“Nilai-Nilai Dasar Perjuangan” yang disingkat dengan NDP tanpa perubahan isi
sama sekali, adapun alasan dipilihnya nama ini adalah: karena Nilai Dasar Islam
(NDI) dianggap justru menyempitkan makna Islam itu sendiri, apalagi mengklaim
dengan nama Islam. Selain itu kata perjuangan memiliki makna usaha yang
sungguh-sungguh untuk merubah suatu keadaan, kata perjuangan itupun
terinspirasi dari sebuah kata judul sebuah buku “Perjuangan Kita” karya Syahrir.
Sebagai
catatan ada pula yang menyatakan bahwa konsep nilai dasar perjuangan ini adalah
hasil kajian Cak Nur dari pejalanannya keluar negeri (yang dimulai dari Suriah,
Kuwait, Saudi, Turki, Libanon, Mesir, Amerika. Yang kemudian dilanjutkan dengan
beberapa negara di Asia). Dari perjalannya ini beliau membandingkan umat Islam
di setiap negara bagaimana mereka menganut Islam memahami, menghayati serta
pengamalan ajaran-ajaran Islam, selanjutnya beliau membandingkan dengan kondisi
umat Islam di Indonesia, hingga sampai akhirnya beliau termotivasi untuk
memberikan konsep ajaran Islam yang mampu menjadi panduan bagi muslim
Indonesia. Bagi HMI, NDP sangat penting sebagai panduan berpikir dalam memahami
nilai-nilai Islam yang bersumber pada Alquran dan Sunnah. Dan bisa dikatakan
bahwa NDP itu sendiri adalah kesimpulan tafsir Alquran dalam organisasi HMI.
Kesimpulan dalam NDP memposisikan HMI sebagai organisasi perjuangan.
Adapun
beberapa faktor yang melatarbelakangi lahirnya NDP adalah sebagai berikut :
·
Belum adanya literature yang memadai bagi kader HMI
untuk rujukan filsafat sosial dalam usaha melakukan aksi dan kerja kemanusiaan.
·
Kondisi umat Islam khususnya di Indonesia yang masih
mengalami kejumudan dan kurang dalam penghayatan serta pengamalan nilai-nilai
ajaran Islam.
·
Kaca perbandingan, karena kader PKI mempunyai buku
panduan yang dijadikan pedoman untuk menjalankan ideologi marxisnya, maka dari
mahasiswa Islam juga harus memiliki buku panduan sebagai dasar perjuangan.
Dalam
perjalanan sejarah NDP, ketika negeri ini menganut asas tunggal yang ditetapkan
oleh pemerintah yang saat itu rezim Soeharto, dengan Orde Barunya dengan
dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila, NDP pun
berubah nama lagi menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) namun isinya tetap tidak
berubah, selanjutnya perubahan nama ini kemudian disahkan pada kongres ke-16 di
Padang.
Setelah orde
baru tumbang dan alam demokrasi yang kian berkibar, maka pada Kongres ke-22 di
Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama NDP. Kedudukan NDP: Sebagai Landasan
Perjuangan, tujuan NDP : Sebagai Filsafat Sosial.
Demikianlah
perjuangan berat yang pernah dialami. Akan tetapi setelah itu HMI terbuai lantaran
kedekatannya dengan kekuasaan, bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan hampir
tidak ada lagi sekat yang membatasi antara HMI dan kekuasaan. Hampir dapat
dipastikan hal itu lantaran pada masa-masa tersebut banyak alumnus HMI
menempati posisi-posisi strategis dalam birokrasi pemerintahan.
HMI dan
Kekuasaan
Dalam masa
setelah roda reformasi dapat menggulingkan komandan rezim Orde Baru, terlihat
kondisi lebih buruk lagi pada HMI. Dalam masa itu seperti yang telah saya
sebutkan di atas, HMI tidak lagi menjadi mainstream. Di tengah kebebasan dalam
menyampaikan pendapat, HMI terlihat sedemikian serak. Jarang sekali melakukan
penyikapan terhadap kondisi-kondisi sosial yang timpang termasuk dalam bentuk
aksi-aksi demonstrasi atau yang lain.
Ada dua hal
yang kemungkinan besar menyebabkan hal tersebut. Pertama, telah tumpul pisau
analisis yang dahulu menjadikannya sebagai organisasi kritis. Kedua, HMI tidak
lagi mampu menghimpun kekuatan untuk menyuarakan sikapnya secara bersama-sama
lantaran telah terjadi kritis militansi. Selain itu di tengah-tengah gerakan
Islam baik keagamaan maupun politik dengan politik aliran, HMI justru kalah
dengan yang lain.
Serpihan-serpihan
pemikiran yang dahulu pernah dilontarkan oleh senior-senior dan sekaligus
adalah ideolog HMI seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dan Nurcholish Madjid
tidak mampu dilanjutkan oleh HMI secara institusional sehingga HMI seakan
kehilangan akar genealogisnya. Pemikiran senior-senior itu sekarang justru
banyak dielaborasi ditempat dan komunitas lain, seperti Komunitas Islam Utan
Kayu dengan bendera Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dengan sangat intens
melanjutkan gagasan-gagasan senior HMI tersebut.
Bila dalam
komunitas itu sebagian besar adalah kader HMI, sekali lagi itu bukan HMI secara
institusional. Dan itu, justru menunjukkan bahwa HMI memang sudah tidak lagi
menyediakan ruang untuk menggali pemikiran-pemikiran ideologis. Padahal dewasa
ini, ide-ide yang dulu kontraversial itu telah menjadi mainstream dan mulai
banyak mendapat apresiasi positif dari khalayak masyarakat. Karena itu,
HMI sesegera mungkin menyadari kesalahan langkah yang diambilnya selama ini.
Jika tidak dilakukan, dalam waktu tidak lama judul di atas akan menjadi sangat
pas untuk menggambarkan kondisi HMI yang bagaikan anak ayam yang mati bukan
lantaran kekurangan makanan, melainkan justru tertimbun padi yang menggunung di
dalam lumbung yang seharusnya ia makan dengan porsi lebih banyak.
Tegakkan
Identitas
Mantan Ketua
Umum PB HMI periode 1974-1976, Chumaidi Syarif Romas melihat tantangan HMI saat
ini adalah harus menegakkan identitas kembali, hingga nilai-nilai dasar
perjuangan HMI. Supaya nilai itu diterapkan sesuai dengan kebutuhan sekarang,
dan memberikan alternatif pemikiran di tengah arus globalisasi yang sekarang
terjadi. Apalagi tantangan HMI saat ini ialah ditengah maraknya koruptor, kader
HMI acap mengedepankan kepentingan pribadi.
Untuk itu,
menurut Pimpinan Kolektif Majelis Nasional KAHMI 2012-2017 Taufiq Hidayat untuk
kondisi akan datang, HMI harus lebih konsern menata pengkaderannya. Pengkaderan
yang dipunyai sejauh ini sudah memberikan hasil positif di tengah masyarakat,
tapi untuk tantangan jauh ke depan, mulai harus dipikirkan
perubahan-perubahannya. Kembali pada bagaimana mengintensifkan
intelektualitas kader HMI, bagaimana menguatkan network kader HMI, itu
penting untuk dijaga.
Taufiq
menegaskan HMI haruslah tetap pada jalur sebagai organisasi independen. Karena
independensi itu yang memberi suatu keleluasaan dalam bertindak, berpikir, dan
dalam berkiprah di tengah masyarakat. Karena dia tidak memandang strata dan
latar belakang.
“Yakin Usaha Sampai”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar