Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama
islam, Pancasila sendiri yang sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas
dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila
“Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” yang
sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih
bertahan sampai sekarang yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang
penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari
bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti
akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut
dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu
disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam.
Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti
bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam
namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi
negara pada saat itu.
Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah
perahan murni dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena
ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan
Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan),
Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan
Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo
mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di
Indonesia.
Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di
Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha,
bahkan Konghucu. Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak,
bahkan pengikut animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep
Berketuhanan YME (Allahu Ahad).
Pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat
di Nusantara, kebanyakan terdiri dari Kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem
monarkis seperti ini, belum dikenal konsep musyawarah untuk mufakat; tetapi
yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh pada
titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, minus demokrasi, karena kedudukan
raja diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada persatuan. Perpecahan,
perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu mengundang pertumpahan darah.
Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan
sebagai alat pemersatu, apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi
ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syari’at Islam.
Para nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila
sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang
terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak yang mereka
anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat
agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah
dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas
konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini?
Pancasila, sudah kian terbukti, cuma sekadar alat
politisi busuk yang anti Islam, namun mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal,
bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya multietnis, multi kultural, dan multi
agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak
perlu Pancasila, begitu pun negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru lebih
maju dari Indonesia.
Kenyataan ini, betapapun pahitnya haruslah diakui
secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini,
belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab,
sebagaimana sila kedua Pancasila. Sedang sejarah membuktikan, apa yang
dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan
terhadap kemanusiaan.
Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006,
di Bandung, muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila
untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak
cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka
memosisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan.
Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran
porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan
perilaku menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan juga bencana.
Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan
lebih dari 6000 jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan
umat Islam. Seorang paranormal mengatakan, “Bencana gempa di Jogjakarta,
terjadi akibat pendukung RUU APP yang kian anarkis.” Lalu, pembakaran kantor
Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB
dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir.
Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang
daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP.
Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun
moral atas nama agama, juga dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai
landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia
beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,”
kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung,
“Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong
Bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin menyeragamkan.”
Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang
mengkhianati Pancasila. Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan
ideologi, budaya, dan seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis)
dipaksakan berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh
dipertunjukkan hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan
dinyatakan sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan
ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar