Oleh: Chaerol Riezal
Mengapa Bireuen ?
Bireuen, sebuah kota tingkat kewedanaan
berpenduduk sekitar 55.000 jiwa, (bisa berubah) masuk kabupaten Aceh Utara.
Posisinya terhampar di persimpangan jalan besar, ramai lalu lintas.
Menghubungkan Bireuen-Sigli-Banda Aceh ke arah barat dan ke timur terus ke Lhok
Seumawe-Langsa-Medan. Ke arah selatan Bireuen-Takengon- Blangkejeren-Kutacane. Di
atas peta, kota Bireuen kelihatan kecil. Pamornya mulai tenggelam ditelan kecemerlangan
kota Lhok Seumawe yang kini beralih wajah menjadi kota industri berskala besar.
Letak kota Bireuen yang strategis itu, kini tak punya arti apa-apa lagi. Bahkan
terkesan sudah ditinggalkan. Berbeda dengan masa Revolusi Fisik (Perang
Kemerdekaan Rl 1945-1949). Kedudukan kota Bireuen merupakan basis dan titik
sentral dari semua kegiatan politik, militer, sosial ekonomi dan budaya serta
pertahanan/keamanan rakyat semesta (hankamrata).
Keterlibatan kota Bireuen yang begitu
menentukan dalam alur sejarah perjuangan Republik Indonesia di awal revolusi,
kini hanya tinggal nostalgia di kalangan Angkatan 45. Bekas-bekasnya seolah
menguap ditelan waktu, hilang tak tentu rimbanya. Suatu kontras, demikianlah
kesan melihat kota Bireuen sekarang dibandingkan tetangganya kota Lhok Seumawe,
yang maju pesat dengan beraneka pembangunan fisik/materiil dari sebuah kota
industri yang memiliki teknologi canggih. Akankah momen Bireuen yang indah itu
di masa lampau, lenyap di makan waktu?
Jaraknya tidak seberapa, hanya sekitar
45 km. Dulu pun kedua kota bertetangga yang menyatu ini selalu bergandeng
tangan menyelesaikan masalah-masalah bersama yang dihadapi, terutama di bidang
ekonomi, perdagangan dan pendidikan. Tapi sekarang, mengapa kota Bireuen seolah
tercecer ?
Padahal, di Bireuen banyak bangunan
sejarah dan benda sejarah yang dapat dilestarikan yang melukiskan peranan kota
Bireuen dalam perang Kemerdekaan Rl 1945-1949. Misalnya Markas Divisi X TNI,
hotel Murni tempat berlangsungnya rapatrapat panting. Pertempuran Krueng Panjou
yang terkenal, gudang senjata Teupin Mane yang angker dan masih banyak lagi
lainnya.
Kalau ada yang mau disalahkan dalam
kasus ini. Maka kesalahan itu seyogyanya berpulang kepada mereka Angkatan 45
sendiri. Mengapa mereka melupakan sejarah masa lalu, sejarah yang patriotik dan
heroik diperankan Bireuen sebagai “Kota Perjuangan”. Nah, apa pula artinya itu
Bireuen “Kota Perjuangan”?
Berbagai pertanyaan tentunya timbul dari
kalangan generasi penerus. Kalau angkatan 45 tidak menjelaskan arti dan nilai
kejuangan Bireuen sebagai “Kota Perjuangan”, tentu saja generasi penerus
kehilangan jejak untuk melestarikannya.
Bireuen
Kota Perjuangan; Aceh Sebagai
Alternatif
Dalam konteks inilah tentunya Angkatan
45 mulai sadar dan segera mengambil inisiatif untuk memasyarakatkan makna
“Bireuen Kota Perjuangan”. Nah, peristiwa itu bermula pada hari Rabu tanggal 8
April 1987 diadakan “Apel Angkatan 45” bertempat di halaman rumah mantan
Panglima Divisi Gajah I/Divisi X TNI Komandemen Sumatera, yaitu di kota
Bireuen.
Sebelumnya para pejuang kumpul di hotel “Murni”,
Bireuen. Acara dimulai dengan mengheningkan cipta dan lagu Indonesia Raya
diteruskan sambutan Sesepuh Masyarakat Aceh/Menteri Koperasi/Ka. Bulog. H .
Bustanil Arifin, SH., Mayjen A.R. Ramly (Dubes R l di Washington DC) dan
Gubernur Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA.
Acara terpenting dalam apel itu adalah peletakan
batu pertama monumen “Bireuen Kota Perjuangan” oleh Letnan Jenderal (Purn) H.
Bustanil Arifin. Hampir seluruh pejuang Angkatan 45 terwakili dalam “apel
kejuangan” itu, baik dari TNI yang masih aktif, purnawirawan, Laskar Pejuang,
Tentara Pelajar, Pejoang Wanita, yang berdatangan dari seluruh daerah Aceh dan
luar daerah Aceh, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan sebagainya.
Tampak antaranya Mayjen (Purn) Sjamaun Gaharu, T.A. Hamid Azwar, mantan
Gubernur Aceh Prof. A . Hasjmy, A . Muzakkir Walad, Prof. Ir. Isjrin Nurdin,
Alwin Nurdin, Gedong, A l i Hasan AS, Hasan Saleh dan sebagainya.
Dari upacara berlangsung dengan syahdu
terlihat adanya kesan yang jelas memadu tekad mengangkat makna dan nilai
kejuangan “Bireuen Kota Perjuangan” sebagai alternatif untuk melanjutkan
cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Hanya disayangkan, begitu upacara
selesai, tampaknya berakhir pula pesan-pesan yang perlu dikembangkan untuk
melestarikan sejarah “Bireuen Kota Perjuangan”. Seyogyanya perlu tindak lanjut
dengan program yang jelas dan rinci. Misalnya Gubernur Ibrahim Hasan langsung
turun tangan membentuk sebuah panitia atau yayasan yang menggali dan meneliti
makna dan nilai kejuangan yang melekat pada sosok “Bireuen Kota Perjuangan”.
Hasilnya digodok, diuji lagi, misalnya lewat seminar yang dihadiri para pelaku
dan pakar sejarah.
Ini penting, karena nilai sejarah “Bireuen
Kota Perjuangan” jelas punya “linkage” (pertalian, sambungan) dengan sejarah perjuangan
nasional dalam menegakkan dan mempertahankan negara R l selama Perang
Kemerdekaan.
Bireuen, Mata Rantai Yang Hilang (Mising
Link) ?
Betapa tidak! Kalau Angkatan 45 di Aceh
tidak mampu merampungkan nilai kejuangan “Bireuen Kota Perjuangan” yang
sesungguhnya, dikuatirkan akan terjadi “missing link” (adanya mata rantai yang
hilang) dalam sejarah nasional Perang Kemerdekaan RI
Karena masalah
ini belum banyak diungkap orang di tempat kejadiannya di Aceh. Sebab masih melekat
apa yang dinamakan suatu “penyakit” di kalangan masyarakat Aceh, tak gemar
gembar-gembor prestasi, takut dinilai sombong, takabur. Lebih baik diam. Inilah
bagian dari kultur Aceh yang perlu dikoreksi dan diluruskan. Berbicara tentang sejarah
atau penemuan baru berdasarkan fakta dan realita adalah sesuatu yang lumrah dan
wajar untuk diangkat ke permukaan. Jangan tinggal terpendam atau didiamkan. Ini
satu prestasi. Bukan menyombongkan diri. Sikap ini memang perlu dikoreksi.
Bertolak dari
pemikiran dan pertimbangan di atas, pengasuh Yayasan “Seulawah RI-001” yang
menerbitkan buku sejarah ini, mengambil prakarsa untuk mulai menggali dan
meneliti apa yang tersurat dan tersirat dari julukan “Bireuen Kota Perjuangan”.
Meskipun dengan alat dan fasilitas serba terbatas.
Sejarah itu
bermula sejak datangnya Bung Karno ke Tanah Rencong tanggal 15 Juni 1948
mendarat di lapangan militer Lhok Nga. Tanggal 16 dan 17 Juni 1948 Bung Karno
sedang berada di Bireuen, menyaksikan kelengkapan alat perang dengan senjata berat
yang masih utuh, membuat hati Bung Karno bangga dan terpesona.
Di kota
Bireuen-lah pertama kali Bung Karno melakukan dialog dengan Gubernur Militer
Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk. Mohd. Daud Bereueh. Kemudian
dialog itu berkembang kembali di pendopo Residen Aceh di Kutaraja. Dalam dialog
di kediaman mantan Panglima Divisi X TNI itulah Bung Karno menjelaskan situasi
dan perkiraan keadaan yang menimpa Republik Indonesia.
Berkata
Presiden Soekarno: “Negara kita dalam keadaan gawat, pihak Belanda terus mendirikan
negara-negara bonekanya di pulau Jawa dan Sumatera. Ruang gerak kita dipersempit
dan sekarang hanya daerah Aceh satu-satunya wilayah Rl masih utuh yang tidak diduduki
militer Belanda. Aceh menjadi penting sebagai alternatif' satu-satunya yang menentukan
kedudukan dan cita-cita bangsa/negara Rl. Karena itulah saya namakan Daerah Modal”,
modal untuk melanjutkan perjuangan dan cita-cita kemerdekaan yang
diproklamasikan tanggal 17Agustus.”
Bireuen, Kota Pergerakan Dan Pendidikan
Melihat sejarahnya, kota Bireuen sejak
lama memang dikenal sebagai pusat pergerakan kébangsaan dan pendidikan.
Perguruan Taman Siswa adalah satu diantara contoh yang mengembangkan pembaruan
dalam pendidikan nasional yang dimulai sekitar tahun 30-an.
Juga di bidang pendidikan agama, pembaruan
paham dan ajaran Islam di mulai di sini. Sekolah agama tingkat Sanawiyah tumbuh
seperti jamur sejak tahun 30-an. Sekolah Sanawiyah yang menonjol antaranya
Perguruan “Cut Merak” di Bireuen dan Perguruan “Sanawiyah” di Matang Gelumpang
Dua. Putera-puteri dari wilayah Peusangan ini pun banyak pergi ke luar daerah
menuntut ilmu, seperti ke Sumatera Timur, Sumatera Barat dan sekembalinya ke
Bireuen (Peusangan) terus mendirikan perguruan, dayah dan pesantren.
Di
kalangan para ulama juga tidak tinggal diam. Tahun 1939 berdiri di Bireuen
“Persatuan Ulama Seluruh Aceh” (PUSA) yang diketuai oleh Tgk. Mohd. Daud
Bereueh dan Tgk. Abdurrahman Matang Gelumpang Dua. Dalam waktu relatif singkat
organisasi PUSA ini menjalar dan tumbuh ke seluruh pedesaan.
Hadirnya
PUSA tahun 1939 telah membuat pemerintah kolonial Belanda memperketat izin-izin
rapat. Setahun kemudian, tahun 1940 PUSA mendirikan sebuah perguruan tingkat
atas untuk menampung lulusan Sanawiyah dan diberi nama “Normal Islam” Bireuen. Satu-satunya
perguruan tingkat atas yang didirikan swasta.
Animo
masuk Normal Islam menjamur dan siswa-siswa lulusan perguruan ini umumnya
memperoleh tempat yang layak untuk menjadi pimpinan di kalangan sipil dan militer
di zaman Jepang dan awal kemerdekaan RI. Di Bireuen juga terdapat satu-satunya
Sekolah Kader Perwira untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin militer pada
awal kemerdekaan. Setiap angkatan yang lulus terus dikirim ke front area untuk
mempraktekkan teori dan ilmu yang diperolehnya.
Sekolah
Kader Perwira tersebut dipimpin oleh Kapten Agus Husin selaku Komandan dan
Wakil Komandan Letnan Satu Bachtiar. Komandan Kompi Siswa Letnan Dua Sumampow,
Komandan Kompi Siswa Letnan Dua G.A. Parengkuan, Komandan Peleton Siswa Letnan
Dua Daud Gade dan Komandan Peleton Siswa Letnan Dua A . A . Ekel.
Bireuen
sebagai kota lahirnya pergerakan kébangsaan, pendidikan nasional dan Islam
telah banyak memberikan sumbangan di awal kemerdekaan yang kemudian dikenal
sebagai “Kota Perjuangan”. Terlambatnya rakyat Aceh mengenyam pendidikan, memang
bagian dari kebijakan kolonial onderwijs (pendidikan kolonial Belanda)
yangbertujuan “memperbodoh” orang Aceh. Ia tanamkan image yang jelek tentang
Aceh, seperti istilahnya yang terkenal sebagai mengejek “tipu Aceh”. Ada dua
faktor utama penyebabnya:
Pertama : Aceh
memang paling akhir dimasuki Belanda. Walau secara frontal perang Aceh-Belanda
sudah berakhir tahun 1904 sewaktu Jenderal van Daalen menduduki Tanah Gayo/Alas
di pegunungan Aceh Tengah/Tenggara. Tapi hati orang Aceh tak pernah ditaklukkan
Belanda. Perang gerilya berlangsung terus sampai Belanda angkat kaki waktu
Jepang masuk tahun 1942. Tidak sebutir peluru pun Jepang rugi waktu ia masuk ke
Aceh. Karena orang Belanda telah diusir lebih dahulu oleh rakyat Aceh. Diantara
tokoh-tokoh pejuang yang terkenal memimpin perang gerilya di Aceh
Tengah/Tenggara adalah Pang Akop, Tgk. Tapa, Datok Seure, Datok Pining, Datok
Utel dan Pang Aman Dimot. Perang 80 tahun Aceh-Belanda itu bermula pada saat
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Mijer, tahun 1867 berkirim surat
kepada Sultan Aceh untuk mengakui kekuasaanya sampai tahun 1942 saat Belanda meninggalkan
Indonesia karena Jepang datang dan berlanjut lagi sampai tahun 1945-1949 saat menghadapi
agresi militer Belanda I dan II.
Kedua: Aceh
ditundukkan tidak hanya dengan kekuatan senjata saja, tapi kolonial Belanda
melakukan siasat “licik” yang lebih dikenal dengan istilah “Atjehschepolitiek”.
Cara inilah yang dipergunakan Jenderal van Heutsz yang terkenal kejam dengan
penasehat utamanya Dr. Snouck Hurgronye yang menyamar dengan berbagai panggilan
“Abdul Gaffar”. Bahkan ada juga yang memanggil “Habib Putih” dan lain
sebagainya. Abdul Gaffar ini melakukan pendekatan Islami yang sangat mengena di
hati orang Aceh dengan berbagai tipu dayanya yang licik. Menafsirkan ayat dan
Hadis sesenaknya, yang menguntungkan kolonial Belanda. Belanda tidak ingin
rakyat Aceh terbuka matanya, apalagi menjadi pandai. Pengajaran yang diberikan
sangat terbatas, sekedar untuk dididik sebagai calon pegawai administrasi yang tulis
tangannya cantik.
Bireuen,
Kawasan Wisata, Budaya, dan Sejarah
Kabupaten
Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa
merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar
Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan
Jeumpa, Kabupaten Bireuen.
Di atas bukit
kecil di dusun Tgk Keujreuen di desa itu menurut Ibrahim, makam Raja Jeumpa
ditemukan. Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan
mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng
Peusangan di sebelah timur.
Dahulu kala
desa-desa Paloh Seulimeng, Abeuk Usong, Bintanghu, Blang Seupeung, Blang
Gandai, Cot Iboeh, Cot Meugo, Blang Seunoeng, Blang Rheum, Cot Leusong,
Glumpang Payong, Lipah Rayeuk, Batee Timoh dan Lhaksana, berada di daerah yang
terletak di tepi pantai.
Daerah
persawahan sekarang merupakan daerah genangan air laut dan rawa-rawa yang
ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan. Di antara tumbuhan dan hutan-hutan itu ada
undukan tanah yang lebih tinggi dari permukaaan laut, yang merupakan
pulau-pulau kecil.
Saat itu Desa
Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga bandar
pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang
Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan
perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada
langsung ke Cot Cut Abeuk Usong.
Menurut
Ibrahim dalam tulisannya itu, bukti yang menunjukkan bahwa daerah tersebut
dilingkari oleh air laut terdapat di Cot Cut, antara Abeuk Usong dengan Paloh
Seulimeng, yaitu berupa lobang yang konon tak pernah tersumbat. Setahun sekali
bila air pasang, maka air di lubang tersebut akan terasa asin. Bukti lainnya
adalah sumur-sumur di desa-desa tersebut airnya asin.
Tugu Bate Kureng adalah salah satu
tugu yang terletak di jantung Ibukota Bireuen tepatnya di depan Meuligoe
Bupati. Diatasnya terdapat batu besar dan telah menjadi lambang kehidupan bagi
masyarakat Kabupaten Bireuen. Tugu ini terpancar sebuah ketegaran, ibarat kata
“tak lekang di bakar panas, tak lapuk di guyur hujan”
Meuligoe Bupati. Meuligoe Bupati
merupakan tempat kediaman Bupati Bireuen, meuligoe ini merupakan salah satu
bangunan peninggalan Belanda, saat merdeka Presiden RI 1 ( Ir. Soekarno )
pernah menginap di meuligoe ini pada saat beliau berkunjung ke Aceh.
Tugu Sp.4 Bireuen. Tugu Sp. 4
adalah lambang keindahan dan kemewahan raut wajah kota Bireuen, berada di
perempatan jalan antara jalan negara Banda Aceh-Medan dan jalan
Bireuen-Takengon.
Tugu Juang. Tugu juang merupakan tugu perjuangan rakyat dimasa penjajahan
Belanda. Tugu ini adalah kenangan sejarah Aceh. Tugu juang ini terletak di
jantung kota Bireuen.
Tugu Perjuangan Batee Iliek. Objek wisata budaya ini terletak di
desa Bate Iliek Kecamatan Samalanga dan merupakan land mark Kota Bireuen
sebagai simbul Kota Juang.
Makam Pahlawan 44. Makam pahlawan
ini terdapat di Desa Leku Kecamatan Pandrah. Untuk mencapai objek wisata ziarah
ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 25 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Cot Di Lereueng. Makam
ini terletak di Desa Cot Tufah Kecamatan gandapura, bila ingin melakukan ziarah
ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak sekitar 20 Km.
MakamTgk. Banta Ahmad. Makam ini
terdapat di Desa Samuti Krueng Kecamatan Gandapura. Untuk mencapai objek wisata
ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 20 Km dari ibukota
kabupaten.
Makam Bantara Blang Mee. Makam ini
terletak di Desa Babah Jurong Cot Kecamatan Kuta Blang. Untuk mencapai objek
wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak tempuh sekitar
18 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Raja Baroa. Objek wisata
ziarah ini terdapat di Desa Gampong Raya Tambo Kecamatan Peusangan. Makam ini
dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 13 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Di Batee Beutong. Makam
ini terdapat di Desa Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala. Untuk mencapai objek
wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 3 Km dari
ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Meurah Bireuen. Objek
wisata ziarah ini terdapat di Desa Geudong Kecamatan Kota Juang. Untuk
melakukanziarah ke makam ini dapat ditempuh dengan jarak 1 Km dari Kota
Bireuen.
Makam Jeurat Manyang. Makam ini
terdapat di Desa Blang Kubu Kecamatan Peudada. Untuk melakukan ziarah ke makam
ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 5 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Marhum. Objek wisata
ziarah ini terdapat di Desa Garot Kecamatan Peudada. Untuk melakukan ziarah ke
makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 6 Km dari ibukota
kabupaten.
Rumah Adat dan Makam Tgk Awe Geutah.
Rumoh Tgk. Di Awe Geutah adalah peninggalan ulama kharismatik Tgk. Chik
Abdurrahim di Gampong Awe Geutah Kecamatan Peusangan Siblah Krueng. Rumah ini
diperkirakan telah dibangun 500 tahun yang silam. Dalam komplek Rumoh Tgk. Di
Awe Geutah ini juga terdapat Mon Kaluet (Sumur Semedi) tempat para ulama dan
para santri bersemedi. Tgk. Chik Awe Geutah merupakan ulama besar yang cukup
berjasa dalam pengembangan ajaran islam dalam wilayah pase pada khususnya dan
Aceh pada umumnya semasa kesultanan Iskandar Muda.
Mesjid Kuta Blang. Objek wisata
budaya ini terdapat di Desa Meunasah Lueng Kecamatan Samalanga, untuk
megunjungi masjid ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 1 Km dari
Ibukota Kabupaten Bireuen
Makam Raja Jeumpa. Objek wisata
ziarah ini terletak di Desa Geudong Kecamatan Kota Juang.Untuk melakukan ziarah
ini dapat ditempuh lewt jalan darat dengan jarak 1 Km dari ibukota Kabupaten
Makam Tgk Dilapan. Makam syuhada 8
adalah makam para ulama Aceh yang syahid dalam peperangan. Makam ini terletak
di sebelah barat Kota Bireuen sekitar 30 km, tepatnya di Cot Batee Geulungku
Kecamatan Simpang Mamplam, berada disisi jalan Medan-Banda Aceh. Makam ini
dianggap sakral (keramat) oleh masyarakat sehingga selalu disinggahi pengunjung
yang melintasi jalan tersebut.
Pemandian Krueng Simpo. Objek Wisata dengan panorama alam
yang sejuk dan bebatuan serta rindang pepohonan. Objek wisata ini terletak di
sisi jalan Negara Bireuen – Takengon Km. 18. Pada hari libur khususnya Krueng
Simpo ramai dikunjungi oleh pengunjung.
Pemandian Krueng Batee Iliek. Objek wisata Batee Iliek adalah tempat wisata
pemandian yang dihiasi oleh air sungai yang mengalir di celah – celah bebatuan
yang berukuran besar – besar yang terletak di lereng bukit yang berudara sejuk.
Setiap hari libur ramai di kunjungi oleh wisatawan domestik. Objek wisata ini
terletak di desa Batee Iliek yang berjarak 44 Km sebelah barat ibukota
Kabupaten Bireuen.
PPI Peudada. PPI Peudada
merupakan objek wisata bahari, yang memiliki keindahan alam tersendiri. Aliran
sungai yang bermuara ke Selat Malaka menjadi jalur persinggahan kapal-kapal
nelayan. PPI juga merupakan pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat pendaratan
ikan. PPI juga dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat berpancing ria para
pengunjung. PPI terletak di sebelah utara ibukota kabupaten tepatnya di
Kecamatan Peudada dengan jarak sekitar 12 Km.
Pantai Ulee Kareueng. Objek wisata Ulee
Kareueng terletak 28 Km sebelah utara ibukota Kabupaten Bireuen yaitu Kecamatan
Pandrah. Objek wisata ini menyimpan pesona yang indah, sangat potensial untuk
di kembangkan sebagai objek wisata bahari.
Pantai Peuneulet Baroh. Pantai Peuneulet
Baroh adalah salah satu objek wisata yang terletak di bagian barat Kota
Bireuen, tepatnya di Kecamatan Simpang mamplam ± 38 Km dari pusat Kota Bireuen.
Alam yang bersahabat, ombak-ombak berkejaran, hamparan pantai yang luas
membentang membuat semua mata setiap pengunjung terpesona. Keindahannya membuat
Pantai Peuneulet Baroh ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar wilayah
Bireuen.
Pantai Reuleng Manyang. Objek wisata alam
pantai ini terdapat didesa Calok Kecamatan Simpang Mamplam yang berjarak ± 30
Km dari Ibukota Kabupaten.
Pantai Kuala Jangka. Pantai Kuala Jangka
merupakan satu-satunya kuala yang sangat potensial bagi masyarakat nelayan di
Kecamatan Jangka yang juga merupakam objek wisata bahari. Lautan yang
membentang luas, panorama alam yang indah, ombak yang pecah menghantam
bebatuan. Pantai ini juga sering digunakan sebagai tempat memancing bagi
masyarakat Bireuen sekitarnya. Objek wisata ini terletak disebelah timur kota
Bireuen dengan jarak berkisar 16 km.
Pantai Kuala Jeumpa. Pantai Kuala Jeumpa adalah objek
wisata bahari. Pantai yang alamnya sangat indah dengan pulau-pulau kecil yang
terletak disamping muara sungai. Ditempat ini juga merupakan tempat bertelurnya
penyu. Disamping itu juga merupakan tempat mendaratnya perahu para nelayan
tradisional. Pantai Kuala Jeumpa ini terletak di Kecamatan Jeumpa dengan jarak
sekitar 5 km dari ibukota kabupaten.
Pantai Krueng Juli dan Ujong Blang. Objek wisata
Krueng Juli dan Ujong Blang adalah daerah pantai laut yang menyimpan pesona
keindahan pasir pantainya. Lokasi objek wisata panorama pantai ini terletak
disebelah utara Kabupaten Bireuen yang berjarak ±3 Km tepatnya di desa Ujong
Blang dan Krueng Juli Kecamatan Kuala.
Bireuen Dalam Ingatan Ku
Bireuen. Meskipun
aku tak pernah menginjakkan kaki di tanah Bireuen, namun aku menyimpan hasrat
bahwa suatu hari nanti aku bisa berada di sana, dan berkata kepada mereka,“Bireuen,
aku datang”.Aku ingin menyebut ingatan dengan kenangan. Supaya aku tahu, semua
kebahagiaan itu nyata, pernah ada dan indah. Bagaimana bisa kau berdiam diri
begitu lama dalam ingatanku. Bahkan fajar dan senja senantiasa bergulir. Tapi
ingatan tentang mu tak pernah menghilang? Kapan aku bisa menyebutmu kenangan?
Kapan semua memori indah ini bisa disebut masa lalu?
Terlalu banyak
pertanyaan. Seperti biasa. Apakah daun yang jatuh tidak pernah bertanya kepada
angin? Ataukah mereka saling bercengkrama dengan bahasa yang sama sekali kita
tidak tahu. Sehingga selama ini kita menduga bahwa daun yang jatuh tidak pernah
membenci angin. Walau sebenarnya dalam waktu kejatuhannya dia memaki angin
dengan semua sisa waktu yang dia punya? Aku ingin merubah ingatan ini menjadi
kenangan.
Cinta yang tak
pernah pergi, meski sempat padam. Tapi dia tetap hidup di relung hati. Kenangan
yang tak pernah hilang terpahat abadi, seperti relief-relief yang terukir pada
dinding-dinding candi. Kenangan yang masih bisa merekahkan senyuman, membuat
pipi bersemu merah saat semuanya dituturkan dengan mata berbinar.
Demensia
mungkin tidak berlaku untuk semua ingatan tentangnya suaranya, senyumnya, semua
seperti hantu yang masih bergentayangan di otak. Meski banyak waktu yang telah
berlalu namun yang pasti tak ada yang pergi dari hati, tak ada yang hilang dari
kenangan
tak ada yang terhapus dari ingat.
tak ada yang terhapus dari ingat.
Kita hanya ada
sepanjang kita bergantung bersama. Ingatan ada selama kita bersama. Ketika
ingatan menganggap kenangan adalah sebuah sejarah. Nostalgia yang tak
tersembuhkan akan suatu dunia yang telah lama hilang. Adalah kekuatan ingatan
untuk mewujudkan apa yang ada dan yang telah ada menjadi kepingan-kepingan
kenangan mengerak di lapisan dasar sejarah terlepas dari biasnya prasangka.
Ironi-ironi
kecil semakin menegaskan bahwa setiap ingatan yang melibatkan emosi, masih tak
pernah mau berkompromi dengan waktu. Bukan ingatan sederhana, tentunya. Kini,
baik ingatan maupun kenangan harus tunduk kepada sejarah secara berkelanjutan,
tetapi bagaimana ingatan dan kenangan muncul kembali adalah perkara lain.
Sejarah, ia
mampu menyampaikan kenangan-kenangan yang tidak pernah mencapai pengertian
sepenuhnya hingga suatu ingatan yang tetap berada jauh, diperintahkan diam oleh
masa lalu. Padamu, sejarah. kuserahkan entah ingatan, entah kenangan. sama
saja.
Sama halnya
denganku yang mengingat segala peristiwa dengan caraku sendiri. Bagaimana aku
mengingat semua meskipun belum tentu bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Sama
halnya dengan hujan hari ini, celakanya tak hanya mengingatkan aku akan
bagaimana caranya agar tidak basah. tapi, lebih dari itu. lebih.
Bertubi-tubi
mencoba mendefinisikan peristiwa ini dalam hal orang lain. Meskipun ini sangat
membebaskan, membebaskan aku dalam segala ingatan yang kini lebih sering ku
sebut sebagai museum ketakutan. Namun, aku tidak pernah menyalahkan ingatan
atas keterasingan yang terjadi oleh jeda. Aku bertanggung jawab atas harapan
yang kubawa, untuk reaksi emosionalku sendiri, untuk ketidaknyamananku sendiri,
dan untuk suasana hatiku sendiri.
Menurutku,
ingatan ini tak perlu kuperlihatkan seutuhnya padamu. Sama halnya bulan malam
ini, dia hanya menunjukkan sebagian dirinya ketika malam tiba, lalu keesokan
harinya dia menghilang. Dengan begitu mungkin akan lebih indah dilihat,
terkadang. meskipun, kadang muncul kadang hilang di balik awan. ah, tapi aku
selalu ingat, karna aku: pohon.
Eh,
jangan-jangan, kita adalah sama-sama kapak. atau sebaliknya. aku: pohon. kamu :
pohon. Yang tak mengucapkan sepatah katapun. Meskipun bersebelahan, diam,
berabad-abad. Ah, tapi tahukah kamu, ingatan? seseorang yang kuingat setelah
kucingku pergi, kamu.
Pada mulanya
adalah bukan kata, tapi rasa. Satu kata yang dirasakan hingga menjadi rasa yang
terkatakan. Makna, mungkin perlu makna untuk menjembatani agar kata tak
terpisahkan dari rasa, meskipun rasa juga merupakan pemberontakan dari kata.
Ini tentang sebuah kata yang tengah ku rasa. Aku melihat, tiap kata memiliki
rasa yang berbeda hingga mampu melahirkan rasa baru. Bagiku, yang menarik di
sini adalah persoalan kata dan rasa.
Aku masih
menyisakan kata yang belum dibahas dalam rasa ini, haruskah aku bertanya dengan
kata? Tak bisakah aku bertanya dengan rasa? Mungkin sebenarnya kata-kata telah
melaksanakan dengan baik tanggung jawabnya untuk menciptakan dan mempertahankan
rasa. Akan tetapi, tugas ini menjadi mustahil untuk dilakukan dengan baik
sejauh setiap kata tidak mengakui keadaan apa adanya dan mengacuhkan rasa yang
seharusnya.
Seandainya
terdapat cara yang tidak hanya menjadikan kata sebagai penunjuk rasa melainkan
sebagai sumber perasaan, sebuah cara yang tidak hanya menjadikan kata menjadi
kalimat namun juga sebagai sesuatu yang dirasa juga merasa. Satu kata, satu
nama, satu rasa. Pada suatu sembarang keadaan.
Aku sukar
bernafas, telinga semakin panas, udara terasa semakin gerah hingga menyesakkan
dada, mendengar peristiwa-peristiwa yang sengaja diringkas sedang emosi semakin
tertahan. Pada cuaca yang sedang seperti ini, yang
kulakukan hanyalah menghambur-hamburkan perasaan ini. Ini tidaklah
mudah, meskipun aku membawa sekotak kebenaran sedang kamu juga mempunyai
sekoper kebenaran. Iya, seperti itulah kebenarannya, kata kita. Tapi, bagaimana
kita bisa berpikiran bahwa kita memang benar? Ketika kita belum terbebas dari
segala alasan hebat. Alasan yang belum pasti. Lagipula, kepastian itu tidak
selalu disertai dengan konsekuensi.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Syiah
Kuala, Darussalam – Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar