5 Desember 2013

Bireuen Dalam Ingatan Ku; Kenangan Yang Indah Hilang Dalam Ingatan


Oleh: Chaerol Riezal
Mengapa Bireuen ?

Bireuen, sebuah kota tingkat kewedanaan berpenduduk sekitar 55.000 jiwa, (bisa berubah) masuk kabupaten Aceh Utara. Posisinya terhampar di persimpangan jalan besar, ramai lalu lintas. Menghubungkan Bireuen-Sigli-Banda Aceh ke arah barat dan ke timur terus ke Lhok Seumawe-Langsa-Medan. Ke arah selatan Bireuen-Takengon- Blangkejeren-Kutacane. Di atas peta, kota Bireuen kelihatan kecil. Pamornya mulai tenggelam ditelan kecemerlangan kota Lhok Seumawe yang kini beralih wajah menjadi kota industri berskala besar. Letak kota Bireuen yang strategis itu, kini tak punya arti apa-apa lagi. Bahkan terkesan sudah ditinggalkan. Berbeda dengan masa Revolusi Fisik (Perang Kemerdekaan Rl 1945-1949). Kedudukan kota Bireuen merupakan basis dan titik sentral dari semua kegiatan politik, militer, sosial ekonomi dan budaya serta pertahanan/keamanan rakyat semesta (hankamrata).

Keterlibatan kota Bireuen yang begitu menentukan dalam alur sejarah perjuangan Republik Indonesia di awal revolusi, kini hanya tinggal nostalgia di kalangan Angkatan 45. Bekas-bekasnya seolah menguap ditelan waktu, hilang tak tentu rimbanya. Suatu kontras, demikianlah kesan melihat kota Bireuen sekarang dibandingkan tetangganya kota Lhok Seumawe, yang maju pesat dengan beraneka pembangunan fisik/materiil dari sebuah kota industri yang memiliki teknologi canggih. Akankah momen Bireuen yang indah itu di masa lampau, lenyap di makan waktu?


Jaraknya tidak seberapa, hanya sekitar 45 km. Dulu pun kedua kota bertetangga yang menyatu ini selalu bergandeng tangan menyelesaikan masalah-masalah bersama yang dihadapi, terutama di bidang ekonomi, perdagangan dan pendidikan. Tapi sekarang, mengapa kota Bireuen seolah tercecer ?

Padahal, di Bireuen banyak bangunan sejarah dan benda sejarah yang dapat dilestarikan yang melukiskan peranan kota Bireuen dalam perang Kemerdekaan Rl 1945-1949. Misalnya Markas Divisi X TNI, hotel Murni tempat berlangsungnya rapatrapat panting. Pertempuran Krueng Panjou yang terkenal, gudang senjata Teupin Mane yang angker dan masih banyak lagi lainnya.

Kalau ada yang mau disalahkan dalam kasus ini. Maka kesalahan itu seyogyanya berpulang kepada mereka Angkatan 45 sendiri. Mengapa mereka melupakan sejarah masa lalu, sejarah yang patriotik dan heroik diperankan Bireuen sebagai “Kota Perjuangan”. Nah, apa pula artinya itu Bireuen “Kota Perjuangan”?

Berbagai pertanyaan tentunya timbul dari kalangan generasi penerus. Kalau angkatan 45 tidak menjelaskan arti dan nilai kejuangan Bireuen sebagai “Kota Perjuangan”, tentu saja generasi penerus kehilangan jejak untuk melestarikannya.

Bireuen Kota Perjuangan; Aceh Sebagai Alternatif

Dalam konteks inilah tentunya Angkatan 45 mulai sadar dan segera mengambil inisiatif untuk memasyarakatkan makna “Bireuen Kota Perjuangan”. Nah, peristiwa itu bermula pada hari Rabu tanggal 8 April 1987 diadakan “Apel Angkatan 45” bertempat di halaman rumah mantan Panglima Divisi Gajah I/Divisi X TNI Komandemen Sumatera, yaitu di kota Bireuen.

Sebelumnya para pejuang kumpul di hotel “Murni”, Bireuen. Acara dimulai dengan mengheningkan cipta dan lagu Indonesia Raya diteruskan sambutan Sesepuh Masyarakat Aceh/Menteri Koperasi/Ka. Bulog. H . Bustanil Arifin, SH., Mayjen A.R. Ramly (Dubes R l di Washington DC) dan Gubernur Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA.


Acara terpenting dalam apel itu adalah peletakan batu pertama monumen “Bireuen Kota Perjuangan” oleh Letnan Jenderal (Purn) H. Bustanil Arifin. Hampir seluruh pejuang Angkatan 45 terwakili dalam “apel kejuangan” itu, baik dari TNI yang masih aktif, purnawirawan, Laskar Pejuang, Tentara Pelajar, Pejoang Wanita, yang berdatangan dari seluruh daerah Aceh dan luar daerah Aceh, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan sebagainya. Tampak antaranya Mayjen (Purn) Sjamaun Gaharu, T.A. Hamid Azwar, mantan Gubernur Aceh Prof. A . Hasjmy, A . Muzakkir Walad, Prof. Ir. Isjrin Nurdin, Alwin Nurdin, Gedong, A l i Hasan AS, Hasan Saleh dan sebagainya.

Dari upacara berlangsung dengan syahdu terlihat adanya kesan yang jelas memadu tekad mengangkat makna dan nilai kejuangan “Bireuen Kota Perjuangan” sebagai alternatif untuk melanjutkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.

Hanya disayangkan, begitu upacara selesai, tampaknya berakhir pula pesan-pesan yang perlu dikembangkan untuk melestarikan sejarah “Bireuen Kota Perjuangan”. Seyogyanya perlu tindak lanjut dengan program yang jelas dan rinci. Misalnya Gubernur Ibrahim Hasan langsung turun tangan membentuk sebuah panitia atau yayasan yang menggali dan meneliti makna dan nilai kejuangan yang melekat pada sosok “Bireuen Kota Perjuangan”. Hasilnya digodok, diuji lagi, misalnya lewat seminar yang dihadiri para pelaku dan pakar sejarah.

Ini penting, karena nilai sejarah “Bireuen Kota Perjuangan” jelas punya “linkage” (pertalian, sambungan) dengan sejarah perjuangan nasional dalam menegakkan dan mempertahankan negara R l selama Perang Kemerdekaan.

Bireuen, Mata Rantai Yang Hilang (Mising Link) ?

Betapa tidak! Kalau Angkatan 45 di Aceh tidak mampu merampungkan nilai kejuangan “Bireuen Kota Perjuangan” yang sesungguhnya, dikuatirkan akan terjadi “missing link” (adanya mata rantai yang hilang) dalam sejarah nasional Perang Kemerdekaan RI

Karena masalah ini belum banyak diungkap orang di tempat kejadiannya di Aceh. Sebab masih melekat apa yang dinamakan suatu “penyakit” di kalangan masyarakat Aceh, tak gemar gembar-gembor prestasi, takut dinilai sombong, takabur. Lebih baik diam. Inilah bagian dari kultur Aceh yang perlu dikoreksi dan diluruskan. Berbicara tentang sejarah atau penemuan baru berdasarkan fakta dan realita adalah sesuatu yang lumrah dan wajar untuk diangkat ke permukaan. Jangan tinggal terpendam atau didiamkan. Ini satu prestasi. Bukan menyombongkan diri. Sikap ini memang perlu dikoreksi.


Bertolak dari pemikiran dan pertimbangan di atas, pengasuh Yayasan “Seulawah RI-001” yang menerbitkan buku sejarah ini, mengambil prakarsa untuk mulai menggali dan meneliti apa yang tersurat dan tersirat dari julukan “Bireuen Kota Perjuangan”. Meskipun dengan alat dan fasilitas serba terbatas.

Sejarah itu bermula sejak datangnya Bung Karno ke Tanah Rencong tanggal 15 Juni 1948 mendarat di lapangan militer Lhok Nga. Tanggal 16 dan 17 Juni 1948 Bung Karno sedang berada di Bireuen, menyaksikan kelengkapan alat perang dengan senjata berat yang masih utuh, membuat hati Bung Karno bangga dan terpesona.

Di kota Bireuen-lah pertama kali Bung Karno melakukan dialog dengan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk. Mohd. Daud Bereueh. Kemudian dialog itu berkembang kembali di pendopo Residen Aceh di Kutaraja. Dalam dialog di kediaman mantan Panglima Divisi X TNI itulah Bung Karno menjelaskan situasi dan perkiraan keadaan yang menimpa Republik Indonesia.

Berkata Presiden Soekarno: “Negara kita dalam keadaan gawat, pihak Belanda terus mendirikan negara-negara bonekanya di pulau Jawa dan Sumatera. Ruang gerak kita dipersempit dan sekarang hanya daerah Aceh satu-satunya wilayah Rl masih utuh yang tidak diduduki militer Belanda. Aceh menjadi penting sebagai alternatif' satu-satunya yang menentukan kedudukan dan cita-cita bangsa/negara Rl. Karena itulah saya namakan Daerah Modal”, modal untuk melanjutkan perjuangan dan cita-cita kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17Agustus.”

Bireuen, Kota Pergerakan Dan Pendidikan

Melihat sejarahnya, kota Bireuen sejak lama memang dikenal sebagai pusat pergerakan kébangsaan dan pendidikan. Perguruan Taman Siswa adalah satu diantara contoh yang mengembangkan pembaruan dalam pendidikan nasional yang dimulai sekitar tahun 30-an.

Juga di bidang pendidikan agama, pembaruan paham dan ajaran Islam di mulai di sini. Sekolah agama tingkat Sanawiyah tumbuh seperti jamur sejak tahun 30-an. Sekolah Sanawiyah yang menonjol antaranya Perguruan “Cut Merak” di Bireuen dan Perguruan “Sanawiyah” di Matang Gelumpang Dua. Putera-puteri dari wilayah Peusangan ini pun banyak pergi ke luar daerah menuntut ilmu, seperti ke Sumatera Timur, Sumatera Barat dan sekembalinya ke Bireuen (Peusangan) terus mendirikan perguruan, dayah dan pesantren.

Di kalangan para ulama juga tidak tinggal diam. Tahun 1939 berdiri di Bireuen “Persatuan Ulama Seluruh Aceh” (PUSA) yang diketuai oleh Tgk. Mohd. Daud Bereueh dan Tgk. Abdurrahman Matang Gelumpang Dua. Dalam waktu relatif singkat organisasi PUSA ini menjalar dan tumbuh ke seluruh pedesaan.

Hadirnya PUSA tahun 1939 telah membuat pemerintah kolonial Belanda memperketat izin-izin rapat. Setahun kemudian, tahun 1940 PUSA mendirikan sebuah perguruan tingkat atas untuk menampung lulusan Sanawiyah dan diberi nama “Normal Islam” Bireuen. Satu-satunya perguruan tingkat atas yang didirikan swasta.

Animo masuk Normal Islam menjamur dan siswa-siswa lulusan perguruan ini umumnya memperoleh tempat yang layak untuk menjadi pimpinan di kalangan sipil dan militer di zaman Jepang dan awal kemerdekaan RI. Di Bireuen juga terdapat satu-satunya Sekolah Kader Perwira untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin militer pada awal kemerdekaan. Setiap angkatan yang lulus terus dikirim ke front area untuk mempraktekkan teori dan ilmu yang diperolehnya.

Sekolah Kader Perwira tersebut dipimpin oleh Kapten Agus Husin selaku Komandan dan Wakil Komandan Letnan Satu Bachtiar. Komandan Kompi Siswa Letnan Dua Sumampow, Komandan Kompi Siswa Letnan Dua G.A. Parengkuan, Komandan Peleton Siswa Letnan Dua Daud Gade dan Komandan Peleton Siswa Letnan Dua A . A . Ekel.

Bireuen sebagai kota lahirnya pergerakan kébangsaan, pendidikan nasional dan Islam telah banyak memberikan sumbangan di awal kemerdekaan yang kemudian dikenal sebagai “Kota Perjuangan”. Terlambatnya rakyat Aceh mengenyam pendidikan, memang bagian dari kebijakan kolonial onderwijs (pendidikan kolonial Belanda) yangbertujuan “memperbodoh” orang Aceh. Ia tanamkan image yang jelek tentang Aceh, seperti istilahnya yang terkenal sebagai mengejek “tipu Aceh”. Ada dua faktor utama penyebabnya:

Pertama : Aceh memang paling akhir dimasuki Belanda. Walau secara frontal perang Aceh-Belanda sudah berakhir tahun 1904 sewaktu Jenderal van Daalen menduduki Tanah Gayo/Alas di pegunungan Aceh Tengah/Tenggara. Tapi hati orang Aceh tak pernah ditaklukkan Belanda. Perang gerilya berlangsung terus sampai Belanda angkat kaki waktu Jepang masuk tahun 1942. Tidak sebutir peluru pun Jepang rugi waktu ia masuk ke Aceh. Karena orang Belanda telah diusir lebih dahulu oleh rakyat Aceh. Diantara tokoh-tokoh pejuang yang terkenal memimpin perang gerilya di Aceh Tengah/Tenggara adalah Pang Akop, Tgk. Tapa, Datok Seure, Datok Pining, Datok Utel dan Pang Aman Dimot. Perang 80 tahun Aceh-Belanda itu bermula pada saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Mijer, tahun 1867 berkirim surat kepada Sultan Aceh untuk mengakui kekuasaanya sampai tahun 1942 saat Belanda meninggalkan Indonesia karena Jepang datang dan berlanjut lagi sampai tahun 1945-1949 saat menghadapi agresi militer Belanda I dan II.

Kedua: Aceh ditundukkan tidak hanya dengan kekuatan senjata saja, tapi kolonial Belanda melakukan siasat “licik” yang lebih dikenal dengan istilah “Atjehschepolitiek”. Cara inilah yang dipergunakan Jenderal van Heutsz yang terkenal kejam dengan penasehat utamanya Dr. Snouck Hurgronye yang menyamar dengan berbagai panggilan “Abdul Gaffar”. Bahkan ada juga yang memanggil “Habib Putih” dan lain sebagainya. Abdul Gaffar ini melakukan pendekatan Islami yang sangat mengena di hati orang Aceh dengan berbagai tipu dayanya yang licik. Menafsirkan ayat dan Hadis sesenaknya, yang menguntungkan kolonial Belanda. Belanda tidak ingin rakyat Aceh terbuka matanya, apalagi menjadi pandai. Pengajaran yang diberikan sangat terbatas, sekedar untuk dididik sebagai calon pegawai administrasi yang tulis tangannya cantik.

Bireuen, Kawasan Wisata, Budaya, dan Sejarah
Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.
Di atas bukit kecil di dusun Tgk Keujreuen di desa itu menurut Ibrahim, makam Raja Jeumpa ditemukan. Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
Dahulu kala desa-desa Paloh Seulimeng, Abeuk Usong, Bintanghu, Blang Seupeung, Blang Gandai, Cot Iboeh, Cot Meugo, Blang Seunoeng, Blang Rheum, Cot Leusong, Glumpang Payong, Lipah Rayeuk, Batee Timoh dan Lhaksana, berada di daerah yang terletak di tepi pantai.
Daerah persawahan sekarang merupakan daerah genangan air laut dan rawa-rawa yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan. Di antara tumbuhan dan hutan-hutan itu ada undukan tanah yang lebih tinggi dari permukaaan laut, yang merupakan pulau-pulau kecil.
Saat itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong.
Menurut Ibrahim dalam tulisannya itu, bukti yang menunjukkan bahwa daerah tersebut dilingkari oleh air laut terdapat di Cot Cut, antara Abeuk Usong dengan Paloh Seulimeng, yaitu berupa lobang yang konon tak pernah tersumbat. Setahun sekali bila air pasang, maka air di lubang tersebut akan terasa asin. Bukti lainnya adalah sumur-sumur di desa-desa tersebut airnya asin.
Tugu Bate Kureng adalah salah satu tugu yang terletak di jantung Ibukota Bireuen tepatnya di depan Meuligoe Bupati. Diatasnya terdapat batu besar dan telah menjadi lambang kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Bireuen. Tugu ini terpancar sebuah ketegaran, ibarat kata “tak lekang di bakar panas, tak lapuk di guyur hujan”
Meuligoe Bupati. Meuligoe Bupati merupakan tempat kediaman Bupati Bireuen, meuligoe ini merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda, saat merdeka Presiden RI 1 ( Ir. Soekarno ) pernah menginap di meuligoe ini pada saat beliau berkunjung ke Aceh.
Tugu Sp.4 Bireuen. Tugu Sp. 4 adalah lambang keindahan dan kemewahan raut wajah kota Bireuen, berada di perempatan jalan antara jalan negara Banda Aceh-Medan dan jalan Bireuen-Takengon.
Tugu Juang. Tugu juang merupakan tugu perjuangan rakyat dimasa penjajahan Belanda. Tugu ini adalah kenangan sejarah Aceh. Tugu juang ini terletak di jantung kota Bireuen.
Tugu Perjuangan Batee Iliek. Objek wisata budaya ini terletak di desa Bate Iliek Kecamatan Samalanga dan merupakan land mark Kota Bireuen sebagai simbul Kota Juang.
Makam Pahlawan 44. Makam pahlawan ini terdapat di Desa Leku Kecamatan Pandrah. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 25 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Cot Di Lereueng. Makam ini terletak di Desa Cot Tufah Kecamatan gandapura, bila ingin melakukan ziarah ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak sekitar 20 Km.
MakamTgk. Banta Ahmad. Makam ini terdapat di Desa Samuti Krueng Kecamatan Gandapura. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 20 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Bantara Blang Mee. Makam ini terletak di Desa Babah Jurong Cot Kecamatan Kuta Blang. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak tempuh sekitar 18 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Raja Baroa. Objek wisata ziarah ini terdapat di Desa Gampong Raya Tambo Kecamatan Peusangan. Makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 13 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Di Batee Beutong. Makam ini terdapat di Desa Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 3 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Meurah Bireuen. Objek wisata ziarah ini terdapat di Desa Geudong Kecamatan Kota Juang. Untuk melakukanziarah ke makam ini dapat ditempuh dengan jarak 1 Km dari Kota Bireuen.
Makam Jeurat Manyang. Makam ini terdapat di Desa Blang Kubu Kecamatan Peudada. Untuk melakukan ziarah ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 5 Km dari ibukota kabupaten.
Makam Tgk. Marhum. Objek wisata ziarah ini terdapat di Desa Garot Kecamatan Peudada. Untuk melakukan ziarah ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 6 Km dari ibukota kabupaten.
Rumah Adat dan Makam Tgk Awe Geutah. Rumoh Tgk. Di Awe Geutah adalah peninggalan ulama kharismatik Tgk. Chik Abdurrahim di Gampong Awe Geutah Kecamatan Peusangan Siblah Krueng. Rumah ini diperkirakan telah dibangun 500 tahun yang silam. Dalam komplek Rumoh Tgk. Di Awe Geutah ini juga terdapat Mon Kaluet (Sumur Semedi) tempat para ulama dan para santri bersemedi. Tgk. Chik Awe Geutah merupakan ulama besar yang cukup berjasa dalam pengembangan ajaran islam dalam wilayah pase pada khususnya dan Aceh pada umumnya semasa kesultanan Iskandar Muda.
Mesjid Kuta Blang. Objek wisata budaya ini terdapat di Desa Meunasah Lueng Kecamatan Samalanga, untuk megunjungi masjid ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 1 Km dari Ibukota Kabupaten Bireuen
Makam Raja Jeumpa. Objek wisata ziarah ini terletak di Desa Geudong Kecamatan Kota Juang.Untuk melakukan ziarah ini dapat ditempuh lewt jalan darat dengan jarak 1 Km dari ibukota Kabupaten
Makam Tgk Dilapan. Makam syuhada 8 adalah makam para ulama Aceh yang syahid dalam peperangan. Makam ini terletak di sebelah barat Kota Bireuen sekitar 30 km, tepatnya di Cot Batee Geulungku Kecamatan Simpang Mamplam, berada disisi jalan Medan-Banda Aceh. Makam ini dianggap sakral (keramat) oleh masyarakat sehingga selalu disinggahi pengunjung yang melintasi jalan tersebut.
Pemandian Krueng Simpo. Objek Wisata dengan panorama alam yang sejuk dan bebatuan serta rindang pepohonan. Objek wisata ini terletak di sisi jalan Negara Bireuen – Takengon Km. 18. Pada hari libur khususnya Krueng Simpo ramai dikunjungi oleh pengunjung.
Pemandian Krueng Batee Iliek. Objek wisata Batee Iliek adalah tempat wisata pemandian yang dihiasi oleh air sungai yang mengalir di celah – celah bebatuan yang berukuran besar – besar yang terletak di lereng bukit yang berudara sejuk. Setiap hari libur ramai di kunjungi oleh wisatawan domestik. Objek wisata ini terletak di desa Batee Iliek yang berjarak 44 Km sebelah barat ibukota Kabupaten Bireuen.
PPI Peudada. PPI Peudada merupakan objek wisata bahari, yang memiliki keindahan alam tersendiri. Aliran sungai yang bermuara ke Selat Malaka menjadi jalur persinggahan kapal-kapal nelayan. PPI juga merupakan pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat pendaratan ikan. PPI juga dimanfaatkan oleh pengunjung sebagai tempat berpancing ria para pengunjung. PPI terletak di sebelah utara ibukota kabupaten tepatnya di Kecamatan Peudada dengan jarak sekitar 12 Km.
Pantai Ulee Kareueng. Objek wisata Ulee Kareueng terletak 28 Km sebelah utara ibukota Kabupaten Bireuen yaitu Kecamatan Pandrah. Objek wisata ini menyimpan pesona yang indah, sangat potensial untuk di kembangkan sebagai objek wisata bahari.
Pantai Peuneulet Baroh. Pantai Peuneulet Baroh adalah salah satu objek wisata yang terletak di bagian barat Kota Bireuen, tepatnya di Kecamatan Simpang mamplam ± 38 Km dari pusat Kota Bireuen. Alam yang bersahabat, ombak-ombak berkejaran, hamparan pantai yang luas membentang membuat semua mata setiap pengunjung terpesona. Keindahannya membuat Pantai Peuneulet Baroh ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar wilayah Bireuen.
Pantai Reuleng Manyang. Objek wisata alam pantai ini terdapat didesa Calok Kecamatan Simpang Mamplam yang berjarak ± 30 Km dari Ibukota Kabupaten.
Pantai Kuala Jangka. Pantai Kuala Jangka merupakan satu-satunya kuala yang sangat potensial bagi masyarakat nelayan di Kecamatan Jangka yang juga merupakam objek wisata bahari. Lautan yang membentang luas, panorama alam yang indah, ombak yang pecah menghantam bebatuan. Pantai ini juga sering digunakan sebagai tempat memancing bagi masyarakat Bireuen sekitarnya. Objek wisata ini terletak disebelah timur kota Bireuen dengan jarak berkisar 16 km.
Pantai Kuala Jeumpa. Pantai Kuala Jeumpa adalah objek wisata bahari. Pantai yang alamnya sangat indah dengan pulau-pulau kecil yang terletak disamping muara sungai. Ditempat ini juga merupakan tempat bertelurnya penyu. Disamping itu juga merupakan tempat mendaratnya perahu para nelayan tradisional. Pantai Kuala Jeumpa ini terletak di Kecamatan Jeumpa dengan jarak sekitar 5 km dari ibukota kabupaten.
Pantai Krueng Juli dan Ujong Blang. Objek wisata Krueng Juli dan Ujong Blang adalah daerah pantai laut yang menyimpan pesona keindahan pasir pantainya. Lokasi objek wisata panorama pantai ini terletak disebelah utara Kabupaten Bireuen yang berjarak ±3 Km tepatnya di desa Ujong Blang dan Krueng Juli Kecamatan Kuala.
Bireuen Dalam Ingatan Ku
Bireuen. Meskipun aku tak pernah menginjakkan kaki di tanah Bireuen, namun aku menyimpan hasrat bahwa suatu hari nanti aku bisa berada di sana, dan berkata kepada mereka,“Bireuen, aku datang”.Aku ingin menyebut ingatan dengan kenangan. Supaya aku tahu, semua kebahagiaan itu nyata, pernah ada dan indah. Bagaimana bisa kau berdiam diri begitu lama dalam ingatanku. Bahkan fajar dan senja senantiasa bergulir. Tapi ingatan tentang mu tak pernah menghilang? Kapan aku bisa menyebutmu kenangan? Kapan semua memori indah ini bisa disebut masa lalu?
Terlalu banyak pertanyaan. Seperti biasa. Apakah daun yang jatuh tidak pernah bertanya kepada angin? Ataukah mereka saling bercengkrama dengan bahasa yang sama sekali kita tidak tahu. Sehingga selama ini kita menduga bahwa daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Walau sebenarnya dalam waktu kejatuhannya dia memaki angin dengan semua sisa waktu yang dia punya? Aku ingin merubah ingatan ini menjadi kenangan.
Cinta yang tak pernah pergi, meski sempat padam. Tapi dia tetap hidup di relung hati. Kenangan yang tak pernah hilang terpahat abadi, seperti relief-relief yang terukir pada dinding-dinding candi. Kenangan yang masih bisa merekahkan senyuman, membuat pipi bersemu merah saat semuanya dituturkan dengan mata berbinar.
Demensia mungkin tidak berlaku untuk semua ingatan tentangnya suaranya, senyumnya, semua seperti hantu yang masih bergentayangan di otak. Meski banyak waktu yang telah berlalu namun yang pasti tak ada yang pergi dari hati, tak ada yang hilang dari kenangan
tak ada yang terhapus dari ingat.
Kita hanya ada sepanjang kita bergantung bersama. Ingatan ada selama kita bersama. Ketika ingatan menganggap kenangan adalah sebuah sejarah. Nostalgia yang tak tersembuhkan akan suatu dunia yang telah lama hilang. Adalah kekuatan ingatan untuk mewujudkan apa yang ada dan yang telah ada menjadi kepingan-kepingan kenangan mengerak di lapisan dasar sejarah terlepas dari biasnya prasangka.
Ironi-ironi kecil semakin menegaskan bahwa setiap ingatan yang melibatkan emosi, masih tak pernah mau berkompromi dengan waktu. Bukan ingatan sederhana, tentunya. Kini, baik ingatan maupun kenangan harus tunduk kepada sejarah secara berkelanjutan, tetapi bagaimana ingatan dan kenangan muncul kembali adalah perkara lain.
Sejarah, ia mampu menyampaikan kenangan-kenangan yang tidak pernah mencapai pengertian sepenuhnya hingga suatu ingatan yang tetap berada jauh, diperintahkan diam oleh masa lalu. Padamu, sejarah. kuserahkan entah ingatan, entah kenangan. sama saja.
Sama halnya denganku yang mengingat segala peristiwa dengan caraku sendiri. Bagaimana aku mengingat semua meskipun belum tentu bagaimana peristiwa tersebut terjadi. Sama halnya dengan hujan hari ini, celakanya tak hanya mengingatkan aku akan bagaimana caranya agar tidak basah. tapi, lebih dari itu. lebih.
Bertubi-tubi mencoba mendefinisikan peristiwa ini dalam hal orang lain. Meskipun ini sangat membebaskan, membebaskan aku dalam segala ingatan yang kini lebih sering ku sebut sebagai museum ketakutan. Namun, aku tidak pernah menyalahkan ingatan atas keterasingan yang terjadi oleh jeda. Aku bertanggung jawab atas harapan yang kubawa, untuk reaksi emosionalku sendiri, untuk ketidaknyamananku sendiri, dan untuk suasana hatiku sendiri.
Menurutku, ingatan ini tak perlu kuperlihatkan seutuhnya padamu. Sama halnya bulan malam ini, dia hanya menunjukkan sebagian dirinya ketika malam tiba, lalu keesokan harinya dia menghilang. Dengan begitu mungkin akan lebih indah dilihat, terkadang. meskipun, kadang muncul kadang hilang di balik awan. ah, tapi aku selalu ingat, karna aku: pohon.
Eh, jangan-jangan, kita adalah sama-sama kapak. atau sebaliknya. aku: pohon. kamu : pohon. Yang tak mengucapkan sepatah katapun. Meskipun bersebelahan, diam, berabad-abad. Ah, tapi tahukah kamu, ingatan? seseorang yang kuingat setelah kucingku pergi, kamu.
Pada mulanya adalah bukan kata, tapi rasa. Satu kata yang dirasakan hingga menjadi rasa yang terkatakan. Makna, mungkin perlu makna untuk menjembatani agar kata tak terpisahkan dari rasa, meskipun rasa juga merupakan pemberontakan dari kata. Ini tentang sebuah kata yang tengah ku rasa. Aku melihat, tiap kata memiliki rasa yang berbeda hingga mampu melahirkan rasa baru. Bagiku, yang menarik di sini adalah persoalan kata dan rasa.
Aku masih menyisakan kata yang belum dibahas dalam rasa ini, haruskah aku bertanya dengan kata? Tak bisakah aku bertanya dengan rasa? Mungkin sebenarnya kata-kata telah melaksanakan dengan baik tanggung jawabnya untuk menciptakan dan mempertahankan rasa. Akan tetapi, tugas ini menjadi mustahil untuk dilakukan dengan baik sejauh setiap kata tidak mengakui keadaan apa adanya dan mengacuhkan rasa yang seharusnya.
Seandainya terdapat cara yang tidak hanya menjadikan kata sebagai penunjuk rasa melainkan sebagai sumber perasaan, sebuah cara yang tidak hanya menjadikan kata menjadi kalimat namun juga sebagai sesuatu yang dirasa juga merasa. Satu kata, satu nama, satu rasa. Pada suatu sembarang keadaan.
Aku sukar bernafas, telinga semakin panas, udara terasa semakin gerah hingga menyesakkan dada, mendengar peristiwa-peristiwa yang sengaja diringkas sedang emosi semakin tertahan. Pada cuaca yang sedang seperti ini, yang kulakukan hanyalah menghambur-hamburkan perasaan ini. Ini tidaklah mudah, meskipun aku membawa sekotak kebenaran sedang kamu juga mempunyai sekoper kebenaran. Iya, seperti itulah kebenarannya, kata kita. Tapi, bagaimana kita bisa berpikiran bahwa kita memang benar? Ketika kita belum terbebas dari segala alasan hebat. Alasan yang belum pasti. Lagipula, kepastian itu tidak selalu disertai dengan konsekuensi.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Syiah Kuala, Darussalam – Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar