Peristiwa Rengasdengklok itu terjadi
pada tanggal 16 Agustus 1945. Dengan peristiwa tersebut, para pemuda berhasil
mendesak dan meyakinkan Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut dengan bahagia oleh segenap rakyat
Indonesia. Dengan peristiwa mengharukan itu, seluruh rakyat menyadari Indonesia
telah menjadi negara merdeka. Seluruh rakyat di pelosok tanah air telah menjadi
bangsa yang bebas dari cengkeraman penjajah.
Namun demikian, sebenarnya di balik
peristiwa yang penuh dengan suka duka itu, telah terjadi peristiwa yang sangat
menegangkan. Peristiwa yang dimaksud berupa perbedaan pendapat antara kelompok
muda dengan kelompok tua tentang proklamasi kemerdekaan. Kelompok tua,
tokoh-tokohnya antara lain seperti Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Adapun
kelompok muda, antara lain:
a) Kelompok
Sukarni, tokoh-tokohnya adalah Soekarno, Adam Malik, Armoenanto, Pandoe
Kartawigoena, dan Maroenta Nitimiharjo.
b) Kelompok
Syahrir, tokoh utamanya Syahrir.
c) Kelompok
pelajar, tokoh-tokohnya Chaerul Saleh, Johan Noer, Sayoko, Syarif Thayeb
Darwis, dan Eri Soedewo.
d) Kelompok
Kaigun, tokoh-tokohnya Mr. Ahmad Soebarjo, Soediro, Wikana, dan E. Khairoedin.
Setelah mendengar berita kekalahan
Jepang atas Sekutu, kelompok muda menghendaki agar Indonesia segera
diproklamasikan. Para pemuda tidak menghendaki apabila kemerdekaan Indonesia
itu diperoleh sebagai hadiah dari Jepang. Mereka menghendaki kemerdekaan
Indonesia diperoleh dari perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Mereka
berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hak dan persoalan bangsa
Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, mereka mendesak agar proklamasi kemerdekaan
Indonesia segera dilaksanakan di luar PPKI.
Namun demikian, golongan tua
berpendapat bahwa pelaksanaan proklamasi tetap dilaksanakan di dalam PPKI untuk
tidak memancing konflik dengan pihak Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta juga
beralasan bahwa Jepang masih bersenjata dan mempunyai tugas memelihara keamanan
agar tidak terjadi perubahan status quo sampai Sekutu tiba di Indonesia.
Akibat penolakan itu, kedua tokoh
tua itu diamankan dan disembunyikan ke Rengasdengklok, daerah Karawang –
Bekasi. Tujuan pengamanan itu agar kedua tokoh tersebut tidak diperalat oleh
Jepang maupun Sekutu. Para pemuda berharap bahwa dengan cara tersebut, kedua
tokoh tersebut bersedia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sebelum rencana Rengasdengklok
dilaksanakan, Chaerul Saleh sempat menanyakan kepada Singgih tentang tempat
pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta. Singgih menyebutkan nama Rengasdengklok.
Menurut pendapatnya, tempat itu sangat tepat, dengan alasan:
a) Daerah
ini dilatarbelakangi Laut Jawa. Dengan demikian, jika ada serangan dapat segera
pergi melalui laut.
b) Sebelah
Timur dibentengi oleh wilayah Purwakarta dengan satu Daidan Peta.
c) Sebelah
Selatan ada Peta Cedung Gedeh.
d) Sebelah
Barat ada tentara Peta di Bekasi.
Selain itu, Singgih sudah sangat
akrab dengan para anggota Peta Rengasdengklok, terutama dengan Sudancho Umar
Bahsan. Mereka sama-sama anggota Peta dan teman di AMS (SLTA). Chaerul Saleh
bertanya kembali, “Siapa Sudanchonya?” Singgih menyebut nama Subeno. Ia dari
RHS (Rechts Hoge School / Fakultas Hukum). Rapat menyetuui rencana Singgih.
Sebelum rapat bubar, Chaerul Saleh
membagi tugas kepada kawan-kawannya. Setelah rapat selesai, Singgih beserta
ketiga orang temannya, yaitu Soetrisno, Sampoen, dan Soerachmat dengan
menggunakan mobil pergi menuju rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56.
Waktu itu jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Tanpa ragu-ragu, Singgih menuju
serambi depan rumah Bung Karno. Soedancho Soetrisno dan Boedancho Sampoen
berjaga-jaga. Tidak lama kemudian, Bung Karno keluar ketika mendengar suara
sepatu di ruangan depan. Bung Karno tampaknya belum tidur karena baru selesai
makan sahur. Saat itu bertepatan dengan bulan puasa.
Bung Karno agak terkejut melihat
seorang anggota Peta datang menghadap di malam buta. Mereka berpakaian lengkap
dengan pedang samurai terhunus di pinggangnya. Dengan sikap tegas, Singgih
memberi hormat. Bung Karno bertanya, “Ada apa malam-malam begini datang ke
rumah?”. Bung Karno agak tenang. Ia cukup mengenal Singgih dan kawan-kawannya
ketika bersama-sama mengikuti latihan militer di Daidan.
Singgih menjawab, “Kami Tentara Peta
ingin berbicara dengan Bapak. Tetapi, tidak di sini”.
“Tidak di sini? Lalu mau bicara di
mana?” tanya Bung Karno
“Yang jelas tidak di sini,” jawab
Singgih.
Bung Karno menegaskan. “Saya tidak
bisa pergi karena besok ada rapat dengan PPKI mengenai proklamasi kita”.
“Kami mohon maaf, Pak! Kalau keadaan
tidak genting dan gawat, waktu malam buta begini kami tidak akan datang.
Keamanan di Jakarta sudah tidak aman untuk Bapak dan Bung Hatta. Oleh karena
itu, kami dari Peta ingin berbicara dengan Bapak”, sahut Singgih.
Pendamping Singgih menambahkan pula,
“Nanti pagi sebelum matahari terbit akan ada pemberontakan rakyat yang dipimpin
tentara Peta diikuti oleh pemuda, mahasiswa, pelajar, dan Heiho. Tujuanya untuk
melucuti tentara Jepang. Pertempuran akan hebat dan revolusi akan berkobar.”
Singgih kemudian menambahkan, “Kami mohon Bapak percaya kepada tentara Peta
yang akan memberian pengamanan kepada Bapak sebagai pemimpin kami.”
Bung Karno terdiam sejenak. Kemudian
mengatakan, “Baik, saya setuju. Tapi istriku Fatma dan Guntur, juga Bung Hatta
harus ikut!
“Setuju,” sahut Singgih.
Singgih dan teman-temannya pun
berpamitan untuk menjeput Bung Hatta. Setibanya di rumah Bung Hatta, Singgih
kemudian menyampaikan maksudnya. Pembicaraan dengan Bung Hatta tidak mengalami
kesulitan. Bung Hatta segera menyetujuinya setelah mengetahui Bung Karno pun
setuju pergi ke luar kota. Mereka kemudian berangkat menuju rumah Bung Karno.
Bung Karno dengan istri dan anaknya sudah siap menunggu. Mereka kemudian pergi
menuju Rengasdengklok. Tentara Peta dengan ketat mengawal mereka.
Para prajurit Choedan Rengasdengklok
menyambut kedatanagn rombongan Bung Karno dengan pekik merdeka. Setelah
beristirahat beberapa saat, dalam suasana yang diliputi ketegangan, Singgih
mulai angkat bicara, “Apakah Bung Karno bersedia untuk segera menyatakan
kemerdekaan kita?”. Suasana semakin tegang. Bung Karno belum juga mau
berbicara. Singgih kembali meyakinkan Bung Karno bahwa Jepang telah menyerah
kepada Sekutu dan tidak mungkin lagi memenuhi janjinya memberikan kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia. Bung Karno diminta memenuhi kehendak rakyat
memproklamasikan kemerdekaan oleh kekuatan bangsa Indonesia sendiri.
Akhirnya, Bung Karno menganggukkan
kepalanya dan menyatakan kesediaannya untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, tetapi dilakukan di Jakarta. Mengetahui Bung Karno menyanggupinya,
hati Singgih dan para pemuda lainnya merasa lega dengan diliputi keharuan yang
mendalam. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 9.00 WIB lebih.
Setelah kesepakatan dicapai, Bung
Karno dan Bung Hatta akan segera mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta.
Dengan dijemput oleh Mr. Ahmad Soebardjo dan Soediro, Bung Karno dan Bung Hatta
beserta keluarga, pada sore harinya dikembalikan ke Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar