22 Juni 2013

Sekilah Tentang Peristiwa Rengasdengklok

            Peristiwa Rengasdengklok itu terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945. Dengan peristiwa tersebut, para pemuda berhasil mendesak dan meyakinkan Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut dengan bahagia oleh segenap rakyat Indonesia. Dengan peristiwa mengharukan itu, seluruh rakyat menyadari Indonesia telah menjadi negara merdeka. Seluruh rakyat di pelosok tanah air telah menjadi bangsa yang bebas dari cengkeraman penjajah.

            Namun demikian, sebenarnya di balik peristiwa yang penuh dengan suka duka itu, telah terjadi peristiwa yang sangat menegangkan. Peristiwa yang dimaksud berupa perbedaan pendapat antara kelompok muda dengan kelompok tua tentang proklamasi kemerdekaan. Kelompok tua, tokoh-tokohnya antara lain seperti Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta. Adapun kelompok muda, antara lain:

a)      Kelompok Sukarni, tokoh-tokohnya adalah Soekarno, Adam Malik, Armoenanto, Pandoe Kartawigoena, dan Maroenta Nitimiharjo.

b)      Kelompok Syahrir, tokoh utamanya Syahrir.

c)      Kelompok pelajar, tokoh-tokohnya Chaerul Saleh, Johan Noer, Sayoko, Syarif Thayeb Darwis, dan Eri Soedewo.

d)     Kelompok Kaigun, tokoh-tokohnya Mr. Ahmad Soebarjo, Soediro, Wikana, dan E. Khairoedin.

            Setelah mendengar berita kekalahan Jepang atas Sekutu, kelompok muda menghendaki agar Indonesia segera diproklamasikan. Para pemuda tidak menghendaki apabila kemerdekaan Indonesia itu diperoleh sebagai hadiah dari Jepang. Mereka menghendaki kemerdekaan Indonesia diperoleh dari perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Mereka berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hak dan persoalan bangsa Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, mereka mendesak agar proklamasi kemerdekaan Indonesia segera dilaksanakan di luar PPKI.


            Namun demikian, golongan tua berpendapat bahwa pelaksanaan proklamasi tetap dilaksanakan di dalam PPKI untuk tidak memancing konflik dengan pihak Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta juga beralasan bahwa Jepang masih bersenjata dan mempunyai tugas memelihara keamanan agar tidak terjadi perubahan status quo sampai Sekutu tiba di Indonesia.

            Akibat penolakan itu, kedua tokoh tua itu diamankan dan disembunyikan ke Rengasdengklok, daerah Karawang – Bekasi. Tujuan pengamanan itu agar kedua tokoh tersebut tidak diperalat oleh Jepang maupun Sekutu. Para pemuda berharap bahwa dengan cara tersebut, kedua tokoh tersebut bersedia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

            Sebelum rencana Rengasdengklok dilaksanakan, Chaerul Saleh sempat menanyakan kepada Singgih tentang tempat pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta. Singgih menyebutkan nama Rengasdengklok. Menurut pendapatnya, tempat itu sangat tepat, dengan alasan:

a)      Daerah ini dilatarbelakangi Laut Jawa. Dengan demikian, jika ada serangan dapat segera pergi melalui laut.

b)      Sebelah Timur dibentengi oleh wilayah Purwakarta dengan satu Daidan Peta.

c)      Sebelah Selatan ada Peta Cedung Gedeh.

d)     Sebelah Barat ada tentara Peta di Bekasi.

            Selain itu, Singgih sudah sangat akrab dengan para anggota Peta Rengasdengklok, terutama dengan Sudancho Umar Bahsan. Mereka sama-sama anggota Peta dan teman di AMS (SLTA). Chaerul Saleh bertanya kembali, “Siapa Sudanchonya?” Singgih menyebut nama Subeno. Ia dari RHS (Rechts Hoge School / Fakultas Hukum). Rapat menyetuui rencana Singgih.

            Sebelum rapat bubar, Chaerul Saleh membagi tugas kepada kawan-kawannya. Setelah rapat selesai, Singgih beserta ketiga orang temannya, yaitu Soetrisno, Sampoen, dan Soerachmat dengan menggunakan mobil pergi menuju rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Waktu itu jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Tanpa ragu-ragu, Singgih menuju serambi depan rumah Bung Karno. Soedancho Soetrisno dan Boedancho Sampoen berjaga-jaga. Tidak lama kemudian, Bung Karno keluar ketika mendengar suara sepatu di ruangan depan. Bung Karno tampaknya belum tidur karena baru selesai makan sahur. Saat itu bertepatan dengan bulan puasa.


            Bung Karno agak terkejut melihat seorang anggota Peta datang menghadap di malam buta. Mereka berpakaian lengkap dengan pedang samurai terhunus di pinggangnya. Dengan sikap tegas, Singgih memberi hormat. Bung Karno bertanya, “Ada apa malam-malam begini datang ke rumah?”. Bung Karno agak tenang. Ia cukup mengenal Singgih dan kawan-kawannya ketika bersama-sama mengikuti latihan militer di Daidan.

            Singgih menjawab, “Kami Tentara Peta ingin berbicara dengan Bapak. Tetapi, tidak di sini”.

            “Tidak di sini? Lalu mau bicara di mana?” tanya Bung Karno

            “Yang jelas tidak di sini,” jawab Singgih.

            Bung Karno menegaskan. “Saya tidak bisa pergi karena besok ada rapat dengan PPKI mengenai proklamasi kita”.

            “Kami mohon maaf, Pak! Kalau keadaan tidak genting dan gawat, waktu malam buta begini kami tidak akan datang. Keamanan di Jakarta sudah tidak aman untuk Bapak dan Bung Hatta. Oleh karena itu, kami dari Peta ingin berbicara dengan Bapak”, sahut Singgih.

            Pendamping Singgih menambahkan pula, “Nanti pagi sebelum matahari terbit akan ada pemberontakan rakyat yang dipimpin tentara Peta diikuti oleh pemuda, mahasiswa, pelajar, dan Heiho. Tujuanya untuk melucuti tentara Jepang. Pertempuran akan hebat dan revolusi akan berkobar.” Singgih kemudian menambahkan, “Kami mohon Bapak percaya kepada tentara Peta yang akan memberian pengamanan kepada Bapak sebagai pemimpin kami.”

            Bung Karno terdiam sejenak. Kemudian mengatakan, “Baik, saya setuju. Tapi istriku Fatma dan Guntur, juga Bung Hatta harus ikut!

            “Setuju,” sahut Singgih.

            Singgih dan teman-temannya pun berpamitan untuk menjeput Bung Hatta. Setibanya di rumah Bung Hatta, Singgih kemudian menyampaikan maksudnya. Pembicaraan dengan Bung Hatta tidak mengalami kesulitan. Bung Hatta segera menyetujuinya setelah mengetahui Bung Karno pun setuju pergi ke luar kota. Mereka kemudian berangkat menuju rumah Bung Karno. Bung Karno dengan istri dan anaknya sudah siap menunggu. Mereka kemudian pergi menuju Rengasdengklok. Tentara Peta dengan ketat mengawal mereka.

            Para prajurit Choedan Rengasdengklok menyambut kedatanagn rombongan Bung Karno dengan pekik merdeka. Setelah beristirahat beberapa saat, dalam suasana yang diliputi ketegangan, Singgih mulai angkat bicara, “Apakah Bung Karno bersedia untuk segera menyatakan kemerdekaan kita?”. Suasana semakin tegang. Bung Karno belum juga mau berbicara. Singgih kembali meyakinkan Bung Karno bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan tidak mungkin lagi memenuhi janjinya memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Bung Karno diminta memenuhi kehendak rakyat memproklamasikan kemerdekaan oleh kekuatan bangsa Indonesia sendiri.

            Akhirnya, Bung Karno menganggukkan kepalanya dan menyatakan kesediaannya untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tetapi dilakukan di Jakarta. Mengetahui Bung Karno menyanggupinya, hati Singgih dan para pemuda lainnya merasa lega dengan diliputi keharuan yang mendalam. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 9.00 WIB lebih.

            Setelah kesepakatan dicapai, Bung Karno dan Bung Hatta akan segera mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan di Jakarta. Dengan dijemput oleh Mr. Ahmad Soebardjo dan Soediro, Bung Karno dan Bung Hatta beserta keluarga, pada sore harinya dikembalikan ke Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar