16 Juni 2013

Revolusi Konflik Dalam Islam: Kajian Normatif Dan Historis Perspektif Ulama Dayah

Jauh sebelum Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), daerah ini sudah dilanda konflik. Anthony Reid, seorang ahli sejarah Asia Tenggara yang pernah belajar di Selandia Baru dan Cambridge, dalam bukunya “Asal Mula Konflik Aceh” menyebutkan konflik di Aceh sudah bergejolak sebelum nama Indonesia ada hingga akhir abad 19, saat Aceh menjadi bagian kesatuan NKRI. Konflik itu bermula saat agresi Belanda dan realpolitik Inggris mengorbankan banyak rakyat Aceh. Padahal, mula-mula Belanda mampir ke tanah Aceh, mereka disambut baik oleh masyarakat Aceh.

Ada hal yang memicu terjadinya konflik, yakni upaya pendekatan. Jika semula pendekatan yang dilakukan Belanda mampu ‘mencuri’ hati rakyat Aceh, pola dan sistem perdagangan merekalah yang membuat rakyat Aceh melawan. Hal ini selaras dengan kearifan yang hidup dalam masyarakat Aceh, “Ureueng Aceh hanjeut teupèh. Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geujôk rasa, menyo hana teupèh, padé bijèh jeut tarasa.” Selanjutnya, konflik dipicu juga oleh hegemoni kekuasaan pemikiran pusat terhadap daerah-daerah—termasuk Aceh—sehingga sebuah kebenaran seolah hanya boleh ditentukan oleh para penguasa.

Nah, buku berjudul “RESOLUSI KONFLI DALAM ISLAM—Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah” yang ditulis oleh Tgk. H. Ibrahim Bardan alias Abu Panton, ini mencoba mencari dan memberikan solusi terhadap pemecahan konflik di Aceh. Dari judulnya yang menggunakan frasa “Perspektif Ulama Dayah” sudah terkesan bahwa solusi/resolusi yang dipaparkan dalam buku terbitan Aceh Institute Press itu merupakan hasil pemikiran ulama dayah (pesantren) di Aceh. Artinya, penulis tidak membatasi bahwa resolusi konflik di Aceh juga dapat dilakukan melalui perspektif lainnya.


Namun demikian, satu hal yang tak dapat dipisahkan dari Aceh adalah Islam, dan ulama merupakan pemikir dalam Islam. Bahkan, dalam setiap konflik di Aceh, ulama selalu terlibat sebagai pencari solusi. Selain itu, pemimpin perang pun ada yang ulama, seperti Tgk. Chik Ditiro, Tgk. Chik Kuata Karang, Tgk. Chik Pante Kulu, Tgk. Fakinah, dan lain-lain. Oleh karena itu, buku berdasarkan perspektif ulama dayah ini akan membantu banyak pencarian solusi terhadap konflik di Aceh yang belum diketahui tuntasnya hingga entah kapan.

Menariknya, buku yang berisi 160 halaman ini mengupas habis konflik di Aceh, mulai dari sejarah dan dinamika yang terjadi masa Islam pertama sekali masuk ke Aceh, yakni masa bermulanya Kerajaan Samudera Pasai, hingga situasi Aceh masa sekarang (masa Abu Panton menulis buku) ini. Jika Reid dalam disertasinya untuk Cambridge University menghasilkan sebuah buku yang mampu menarik segenap penjuru dunia mendalami asal mula konflik di Aceh, maka buku Abu Panton ini dapat menjadi pelengkap penelitian Reid tersebut. Pasalnya, Reid hanya memantau asal mula konflik di Aceh, tanpa solusi. Akan tetapi, Abu Panton mencoba memberikan resolusi terhadap konflik yang terjadi. Karena itu, hemat saya, “Resolusi Konflik” Abu Panton dapat menjadi pelengkap “Asal Mula Konflik Aceh” Anthony Reid.


Hal yang sangat mencuat dalam “Resolusi Konflik” adalah mengenai suloh yang diadopsi dari bahasa Arab, al-shul,artinya perdamaian; penghentian perselisihan; penghentian peperangan. Hal ini menggambarkan betapa Abu Panton memang hendak mengupayakan sebuah resolusi terhadap konflik di Aceh. Sejarah al-shul pun dikupas secara ekspositoris sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga zaman kontemporer sekarang ini (1999-2006) demi mempermudah pembaca memahami makna al-shultersebut (BAB DUA – BAB LIMA).

Pola-pola penerapan suloh ditulis dengan bahasa bertutur dengan menghadirkan tokoh dalam rentang waktu tertentu sehingga membacanya seolah kita seperti membaca kisah tauladan para sahabat, ambiya, ulama, dan orang-orang terpilih untuk diteladani. Gaya berkisah seperti ini, dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, akan meringankan pembaca dalam memahami setiap makna yang hendak disampaikan. Hal tersebut menjadikan buku yang diberikan pengantar oleh Muhammad Nazar, S.Ag., Gubernur Aceh, ini menjadi semakin menarik untuk ditelisip.


Struktur dan Tens

Sekilas sudah dijelaskan beberapa hal menyangkut isi (tens) buku ini. Struktur yang dibangun mulai zaman sejarah hingga zaman pasca-MoU pun sudah diulas di atas. Adapun secara garis besar, buku ini terbagi dalam tujuh bab. BAB SATU mengulas tentang konsep perdamaian dan Islam yang di dalamnya dideskripsikan tentang pengertianal-shul dan ajaran islam tentang perdamaian. BAB DUA berisi refleksi sirah nabawi sebagai ragam praktik al-shuldi zaman Rasulullah saw. BAB TIGA tentang refleksi sirah para sahabat nabi. BAB EMPAT menelaah sekilas sejarah Aceh dan dinamikanya. BAB LIMA tentang peran ulama dalam dinamika penyelesaian konflik pada rentang waktu 1999-2006. BAB ENAM berisi tentang ishlah, akhir dri DI/TII. Terakhir, BAB TUJUH memberikan gambaran tentang suloh Aceh sebagai kemaslahatan untuk kebersamaan. Bab terakhir inilah yang menjadi pelengkap telaah tentang solusi konflik Aceh, sebab adat dan Islam dalam masyarakat Aceh serupa tulang dan kulit, bunga dan kelopaknya, keduanya berkait erat dan tak bisa dilepaskan. Hal ini tercermin dalam hadih maja “Hukôm ngon adat lagè zat ngon sifeut”.


Kendati demikian, bukan berarti buku ini tak ada cacat. Sebagai manusia biasa, kesalahan atau paling kecil kesilapan pasti ada. Kesalahan yang sangat menggangu adalah pengulangan isi dan halaman. Hal ini terjadi pada halaman 129-146. Halaman yang berisi sembilan lembar dengan ulasan yang sama itu terdapat dua kali (double). Mungkin kesalahan ini ada pada tata letak atau semoga saja karena kesilapan cetak (print out). Namun, kesalahan yang murni oleh si penulis adalah pada penggunaansubhanahuwata’ala dan salallahu’alaihiwassalam saat menyingkat penulisannya. Seperti diketahui, singkatan yang ditulis semua dengan huruf kapital adalah singkatan yang huruf-huruf tersebut berupa huruf awal dari setiap kata yang hendak disampaikan. Misalnya, AGAM: A=Angkatan; G=Gerakan; A=Aceh; M=Merdeka. Akan tetapi,subhanahuwata’ala tidak dapat disingkat dengan SWT (kapital semua), sebab S,W, dan T, tidak dapat berdiri sebagai *Subhanu, *Wa, dan *Ta’ala. Namun, ia berupa satu kata sehingga jika disingkat dapat ditulis dengan swt. (lihat pedoman penulisan singkatan dan akronim). Demikian halnya dengan salallahu’alaihiwassalam, disingkat saw.

Kesalahan penulisan singkatan pada nama Allah dan Rasul-Nya ini memang lazim kita dapati. Karena itu, memperbaikinya pada buku-buku yang diterbitkan baru adalah sangat baik guna memberikan pendidikan kepada publik, seperti tujuan buku ini yang memberikan pendidikan resolusi konflik kepada publik.

Saya juga mendapati ketidakkonsistenan dalam buku ini, yakni seperti penulisan suloh. Ada yang ditulis suloh ada pula shulôh (halaman 152). Hal serupa juga terjadi pada kata hukôm kejröh, yang di halaman lain ditulis hukom keujroh (tanpa tanda diakritik). Seharusnya, jika memang memakai diakritik, pakailah pada setiap kosa kata Aceh yang menghendaki tanda tersebut. Sebalinya, jika memang tidak mau menggunakan diakritik, jangan gunakan satu pun. Hal ini demi menjaga kekonsistenan dalam menulis.

Selain itu, juga terdapat kekeliruan pembubuhan tanda diakritik. Hal ini seperti pada halaman 153: Uleu beumatë rantëng bék patah, tatarëk panyang, talingkang paneuk.Perlu diketahui bahwa untuk vokal [e] dalam bahasa Aceh ada tanda grave [è] untuk kata seperti panè (mana/dari mana), lhèe (tiga), bèk (jangan), dan tanda aigu [é] untuk kata seperti  (oleh), maté (mati), ranténg (ranting), dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan ilmu linguistik tentang kajian fonologi bahasa Aceh. Dengan demikian, tulisah hadih maja di atas yang benar adalah Uleue beumaté ranténg bèk patah, tatarék panyang, talingkang paneuk (Ular harus mati ranting jangan patah, diurai akan panjang, disimpul akan pendek).

Memang belum kita temui kesepakatan apakah bahasa Aceh harus memakai tanda diakritik atau tidak. Namun, jika memang pada tulisan kita menggunakan tanda diakritik, semua kata yang menghendaki tanda dimaksud harus pula digunakan.

Masih pada tulisan dalam bahasa Aceh pada buku ini, tulisan uleue bukan uleu, sebab yang dipakai di sini adalah vokal rangkap [eue]. Begitu pula pada kata peudeung, meulinteung, dan ureung (halaman 150), seharusnyapeudeueng, meulinteueng, dan ureueng.


Terlepas dari semua itu, “Resolusi Konflik dalam Islam, Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah” ini tetap dapat dijadikan panduan, yakni panduan dalam mencari solusi terhadap konflik. Apalagi, buku yang di dalamnya juga memuat firman dan hadis ini turut didampingi pendiri dan pekerja Aceh Institute, menjadikan kita semakin yakin bahwa buku ini sudah mengalami telaah mendalam.

Yang sangat patut kita banggakan adalah si penulis, Abu Panton, merupakan seorang alumni dayah. Artinya, kegemilangan Aceh atas keberhasilan pena ulama-ulama terdahulu seperti Syekh Abduraruf as-Singkili, Ali Hasyimi, Nuruddin Ar-Raniry, akan kembali bersinar di zaman sekarang ini, zaman serba konflik. Insya Allah jika ulama sudah mulai menggenggam pena, Aceh akan kembali jaya. Amin!!! Itu makanya, saya menilai buku ini ibarat secercah air di tanah tandus. Sudah kita dapatkkan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar