7 Maret 2013

Warisan Tengku Muhammad Daud Beureueh Yang Terlantar


Sudah banyak orang bercerita tentang daya magis kepemimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh. Tokoh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu tak hanya dikenal sepak terjangnya memimpin perang gerilya dan berpidato menyihir massa, tetapi juga tak segan-segan mengayun cangkul dan bergelimang lumpur bersama rakyatnya. 

Salah satu kisah yang abadi adalah apa yang terjadi di Desa Paya Raof, Pidie, 14 Juli 1963. Saat itu, Daud Beureueh yang sudah turun gunung, memimpin kerja bakti yang melibatkan 2.000 orang untuk membuat saluran irigasi. Rakyat yang kecewa karena bupati setempat tak kunjung menyelesaikan masalah pengairan sawah, mendatangi Daud Beureueh. Di tangan ulama itu, masalah pun terpecahkan.

Desa Paya Raof terletak 10 kilometer dari tepi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Saat acehkita menelusuri kembali saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu, banyak orang tak lagi mengenalnya. Ditambah lagi letaknya yang memang jauh, yakni di bawah kaki gunung Cot Kuta. Apalagi kondisi keamanan yang tak menentu, cukup sudah alasan bagi orang untuk semakin melupakannya.

Satu-satunya cara mengembalikan ingatan warga Pidie akan Desa Paya Raof, Kecamatan Teupin Raya, adalah saluran irigasi tua yang dibangun Teungku Muhammad Daud Beureueh. Irigasi yang dikelilingi bukit dan hutan itu kini dalam kondisi tak berfungsi dengan baik. Menurut petani setempat, air yang mengalir pun tak lagi sebanyak dulu.

Dulu, saluran irigasi itu bisa mengairi sawah di tujuh desa seperti Tunong, Baroh, Amud, Amud Masjid, Tanah Mirah, Geumuroh, dan Teupin Raya. Tak heran, sebab kondisinya selalu dipelihara dan telah beberapa kali mengalami sentuhan renovasi. Ada empat orang tokoh setempat yang menyokong ayunan cangkul Daud Beureueh. Mereka adalah Teungku Raof, Imuem Leman, Alamsyah, dan Cut Ka Oy.

Saluran irigasi itu bermula dari sepetak dam air yang terbuat dari tanah. Saat Daud Beureueh hendak membedahnya menjadi saluran air, tanpa dipaksa warga masyarakat datang berbondong-bondong membantu. Dari orang tua hingga yang muda, semua tumpah ruah di lokasi tersebut. Bahkan, tak jarang Daud Beureueh terpaksa mengusir pulang anak-anak yang terlalu muda usia untuk bekerja.

”Waktu itu saya tidak dikasih ikut gotong royong oleh Abu karena usia saya masih muda. Saya diusir dengan dipukul pakai tongkatnya,” kenang Syakhwat sambil tersenyum. Kini usianya sudah 58 tahun. Dia adalah warga Desa Cot Tunong, Geulumpang Tiga, Pidie.

Abu Beureueh sendiri bukan sarjana teknik sipil. Karena itu, menurut Syakhwat, saat itu ada seorang insinyur dan para tukang terampil yang didatangkan khusus dari Sigli. “Kontraktor dan tukangnya semua dari Sigli,” kata Syahkwat.

Sementara bahan bangunan seperti semen didatangkan dari Medan dan Banda Aceh dengan truk. Beberapa hari sekali, kenang Syahkwat kecil, dia melihat truk tersebut singgah untuk membongkar muatan. Menurut Nur El Ibrahimy yang juga menantu Daud Beureueh, proyek tersebut sepeserpun tak menggunakan dana pemerintah. Konon dana yang dihabiskan mencapai Rp 100 juta di masa itu.

Di bawah pengawasan langsung Abu Beureueh, masyarakat dan para tukang yang membangun irigasi, bekerja bergantian siang dan malam. Sedangkan untuk tempat tinggal bagi mereka yang bekerja, dibangunlah semacam rumah sementara yang terbuat dari bambu, bak gubuk-gubuk semasa Daud Beureueh masih bergerilya.

Ruhama Daud (65), anak ketujuh Daud Beureueh yang ditemui acehkita di Beureunuen, Pidie, mengakui bahwa semasa pembuatan irigasi tersebut, sang ayah sama sekali tak pernah pulang ke rumah. Abu Beureueh tinggal di lokasi irigasi tersebut bersama warga masyarakat dan para tukang yang dipimpinnya. Ruhama yang saat itu masih remaja harus datang ke sana bila ingin bertemu sang ayah.

“Waktu buat irigasi di gunung sana, Abu memang tidak pulang,” katanya.

Padahal, irigasi itu dibangun dari 14 Juli sampai 18 Agustus 1963. Setelah itu, proses perampungannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Menurut Ruhama hal tersebut disebabkan karena minimnya bahan-bahan bangunan yang tersedia. Hal itu juga yang diyakininya menyebabkan pondasi awal irigasi yang dibuat oleh sang ayah, tak terlalu bertahan lama. Bagian pondasi yang dibuat Abu Beureueh akhirnya memang jebol tak lama setelah digunakan. Namun setelah direnovasi, irigasi pun dapat digunakan kembali.

Kini, sudah enam tahun saluran irigasi selebar 2,5 meter dan dalam 1,5 meter itu tak lagi mampu mengairi sawah masyarakat secara optimal. Selain karena debit air yang sedikit, selurannya pun sudah banyak yang tersumbat. Dan tak ada satu lembaga pun yang mau mengelolanya. Apalagi Pemerintah Aceh.

Saat acehkita menjenguknya, pertengahan Juli lalu, bagian gorong-gorong memang terlihat sedang diperbaiki. Tapi anehnya, tak seorang pun pekerja di sana. Menurut warga, pekerjaan itu sudah berlangsung lama. Namun hingga kini belum mencapai sepuluh persen dari penyelesaian. Sehingga banyak warga yang terpaksa harus main kucing-kucingan dengan warga yang lain supaya bisa lebih cepat mematok air untuk mengairi sawah masing-masing.

“Waktu zaman Abu kami tidak begini. Air banyak, tidak sampai rebutan. Kini orang-orang main patok saja ambil airnya, makanya banyak yang berkelahi karena tidak kebagian air,” tutur Syahkwat menutup cerita.


Ditakuti Hingga Ajal Menjelang 

Setelah 43 tahun Daud Beureueh turun gunung, tak banyak lagi pejuang DI/TII yang bisa ditemui. Dari sedikit itu, tercatat nama seorang mantan Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Baihaqi AK. Ia bukan saja pengikut setia Abu Beureueh, tetapi juga sekretaris pribadinya. Saat Beureueh dijemput dari persembunyiannya pada 9 Mei 1962, Baihaqi ikut dalam rombongan itu.

Semasa pergolakan terjadi, Baihaqi yang saat itu berusia 18 tahun, sebenarnya baru saja menyelesaikan pendidikan guru di Bandung. Pada 1954, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di Banda Aceh. Simpatinya dengan perjuangan DI/TII muncul setelah melihat kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa aksi protes di Banda Aceh, Baihaqi kerap terlibat.

Tak disangka, suatu malam ia ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. “Saya divonis 30 bulan penjara dengan tuduhan subversif,” kenangnya.

Setelah bebas, tadinya Baihaqi ingin hidup tenang. Nyatanya, dia mengaku selalu diintai petugas. Karena kesal, ia memutuskan lari ke hutan, bergabung dengan pasukan Daud Beureueh. Dari semua pengikut DI/TII kala itu, Baihaqi tergolong paling muda.

Sebagai anak desa yang dibesarkan di Keunawat, Aceh Tengah, Baihaqi sangat menguasai seluk beluk hutan di Aceh Tengah, tempat pasukan DI/TII bersembunyi. Dia merasa tentram di lingkungan itu, apalagi dalam jajaran pengikut Daud Beureueh, ada Teungku Ilyas Leube, abang sepupunya.

Bersama Iyas Leube, Baihaqi ditempatkan sebagai anggota pasukan Resimen 5. Semula hanya prajurit biasa, tapi berkat kecerdasannya, ia dipercaya sebagai kepala staf. Sementara Ilyas Leube sebagai panglima.

Selama di hutan, Baihaqi banyak belajar tentang kepemimpinan Daud Beureueh. Ia kerap mengamati gerak-gerik Beureueh, mulai cara dia mandi, berpakaian, hingga shalat. “Jarang saya temukan ada pemimpin seperti Abu Beureueh,” katanya.

Yang paling dikagumi Baihaqi adalah shalat Beureueh yang amat khusuk. Sebagai pemimpin, Daud Beureueh sama sekali tak pernah memegang uang. Meski demikian, ia sangat ketat mengawasi pengeluaran uang.

“Kami pernah tidur sebantal di dalam pondak setelah lelah berdiskusi,” cerita mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu. Saat makan pun, Beureueh hanya menggunakan daun pisang sebagai piring. Lalu ia mengajak pengikutnya makan bersama di daun itu.

Ketika mengetahui banyak pengikutnya berdamai dengan Pemerintah Indonesia, Daud Beureueh hanya mencibir. Ia menyesali sikap anak buahnya yang dianggap berkhianat karena tertarik harta yang dijanjikan Pemerintah Pusat.

Namun sikap keras Beureueh berubah juga. Baihaqi termasuk pengikut Daud Beureueh yang turun gunung paling akhir. Setelah berdamai dengan pemerintah, Baihaqi kembali ditawarkan menjadi guru. Namun ia menolak. “Saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 di IAIN Ar-Raniry,” katanya. Setelah memperoleh sarjana, Baihaqi pun diangkat sebagai dosen di kampus itu. Sampai akhirnya sukses meraih gelar profesor bidang Pendidikan Islam.

Usai pemberontakan DI/TII, Baihaqi sempat diajak Hasan Tiro bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Apalagi abang sepupunya, Ilyas Leube, ikut dalam kelompok itu. Tapi ia menolak. Baihaqi memilih berkarir di bidang politik sebagai politisi PPP dan duduk sebagai anggota DPR pada periode 1999-2004. Kini, memasuki usia 74, ayah empat anak ini menetap di sebuah rumah asri di Pamulang, Banten. Ia memiliki ruangan khusus berisi koleksi buku-buku tua. Di ruang itulah dia menghabiskan waktu.

“Saya juga tengah menulis buku tentang sejarah Aceh,” ujarnya. Dalam sejarah bukunya itu, ia memaparkan banyak hal tentang Daud Beureueh. Baginya, sosok ulama Aceh itu tidak akan mungkin dilupakan. Dalam setiap shalat, Baihaqi selalu mengirim doa untuk Daud Beureueh. Selain sebagai pemimpin, baginya, Daud Beureh juga sebagai guru dan seorang ayah.


Ditakuti Hingga Ajal Menjemput

Beureunuen berjarak 124 kilometer arah timur Kota Banda Aceh. Di tempat ini, tak ada yang tak kenal Daud Beurueueh. Kini sudah puluhan tahun Abu Beureueh meninggal dunia. Atas permintaannya sendiri, jasadnya pun disemayamkan di areal pekarangan masjid A’la Lil Mujahiddin, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh, yang terletak di tepi jalan Banda Aceh-Medan.

Dahulu, ketika mendengar Abu Beureueh meninggal dunia, mereka berduyun-duyun ke masjid itu untuk melihat pemakaman Daud Beureueh dan memberikan penghormatan terakhir.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan kondisi di Aceh, perlahan nama besar Daud Beureueh seakan tenggelam. Bila di awal-awal meninggalnya, warga datang untuk menziarahi makam hampir dari seluruh pelosok Aceh, namun kini, para penziarah hanyalah orang-orang tertentu saja. Itu pun mereka yang singgah karena waktu shalat atau yang sedang dalam perjalanan.

“Sekarang sudah lain. Dari orang, hingga cara shalat semua sudah beda. Apalagi orang muda sudah sibuk sendiri. Mana ingat lagi ke kita yang tua,” sebut Azhari,  ulama asal Desa Tiba.

Kini, makam berukuran 3 x 1 meter yang bernisankan marmer dan berukir nama almarhum itu seakan sepi sendiri.

“Masih ada satu dua yang datang ziarah ke sini. Kemarin juga ada pejabat yang datang, tapi itu sangat jarang sekali,” ucap Zulkifli (36), warga Desa Baroh Barat Yaman.

Menurut Zulkifli yang datang dari generasi baru—belum lahir saat DI/TII—Daud Beureueh adalah tokoh yang disegani dan disayangi masyarakat. Namun yang disesalkannya, perhatian Pemerintah terhadap makam tokoh tersebut sangat kecil.

‘Saya harap pemerintah mau lebih memperhatikan makam ini, sesuai dengan jasa beliau kepada negara,” tandasnya.

Pada usia 89 tahun, Abu Beureueh menghadap sang Khalik. Tepatnya pada 10 Juni 1987 di sebuah bilik sederhana di tanah kelahirannya, Desa Beureueh, Beureuneun, Kecamatan Mutiara (sekarang Mutiara Barat), Pidie. Sebelum meninggal, kondisi kesehatannya terus menurun sejak kembali ke Aceh 1982.

Melihat kondisinya fisik yang sudah renta inilah, pemerintah Orde Baru menganggap Abu Beureueh tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan atau mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebelumnya, kendati sudah menyerah dan turun gunung, ABRI masih menganggap Beureueh sebagai tokoh yang berbahaya. Karena itu, pada 1 Mei 1978, sebuah tim yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin kini Sekjen Departemen Pertahanan, menciduk Abu Beureueh di depan istrinya, Teungku Nyak Alisah, untuk dibawa ke Jakarta.

Proses pengambilan Abu Beureueh ditingkahi dengan upaya menyuntikkan obat bius yang mendapat perlawanan dan melukai badan tuanya. Menurut menantu Abu Beureueh, M Nur El Ibrahimy, tindakan Pemerintah Pusat tersebut dianggap berlebihan.

Selama di Jakarta, Abu Beureueh tinggal di sebuah rumah kontrakan atas biaya pemerintah. Namun menurut El Ibrahimy, hal tersebut membuat Abu Beureueh seperti tahanan rumah. “Seperti di sangkar emas. Mata lepas, badan terkurung,” kata El Ibrahimy.

Sejak 1980, sudah dua kali Abu Beureueh mengirim surat permohonan kepada Presiden Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Aceh. Itu belum termasuk surat kepada Pangkopkamtib, Sudomo. “Setelah keadaan badan yang semakin uzur, sehingga harus dipapah, dan mata yang hampir tidak bisa melihat, Daud Beureueh diizinkan pulang ke Aceh,” sesal El Ibrahimy.

Menurut Panglima Kodam Iskandar Muda saat itu, Brigjen Abdurrahman, sesampainya di Aceh pun, Abu Beureueh masih berada di bawah pengawasan Laksusda Aceh. Para intel itu, misalnya, ditempatkan di Beureunuen dan membaur di antara jamaah shalat Jumat. Abu Beureueh pun tak dapat pergi sekehendak hatinya, kecuali dengan seizin atau sepengetahuan petugas Laksusda.

“Ini semua dilakukan, kabarnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban yang telah mantap di daerah Aceh," tandas El Ibrahimy setengah menyindir.

Terbukti, upaya itu tak manjur. Aceh bukannya tambah tenteram. Justru Abu Beureueh lah yang kini menikmati ketentraman di bawah rindangnya pohon mangga. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar