Pernahkah,
mampukah atau beranikah Indonesia layaknya seperti Negara tentangga Malaysia
yang menyatakan didepan Parlemen Internasional bahwa agama resminya adalah
Agama Islam?. Perjuangan bangsa Indonesia sejak dulu kala mulai dari merebut,
mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan tidak terlepas dari peran ulama. Maka
sudah pantasalah negara Republik Indonesia ini dijadikan sebagai Negara Islam
yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist serta mempraktikkan Syariat Islam di
seluruh Nusantara ini.
Sebagai
panutan umat, ulama mempunyai peran strategis dalam membimbing dan mengarahkan
umat agar senantiasa menjalani hidup dalam koridor nilai-nilai ke-Illahi-an
atau penjaga moral. Ulama juga menjadi pemimpin dalam segala aspek kehidupan
atau informal leadher, termasuk dalam kehidupan politik dan kebangsaan.
Meksi
kepemimpinan ulama bersifat informal, namun pengaruhnya di masyarakat justru
kadang lebih kuat daripada pemimpin formal seperti bupati, walikota, gubernur
dan bahkan presiden sekalipun. Ketulusan dan keikhlasan ulama dalam membimbing
dan melindungi umat menjadikannya pemimpin yang mengakar dan diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Abu Habib
Muda Seunagan yang mempunyai nama asli Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad
Yasin adalah sosok ulama kharismatik. Beliau seorang guru atau mursyid Thariqat
Syattariah. Selain seorang ulama yang disegani, Habib yang dianugerahi Tanda
Kehormatan Bintang Jasa Utama oleh Presiden B.J. Habibie ini juga seorang
pejuang kemerdekaan yang mempunyai komitmen kuat dan setia demi tetap tegaknya
NKRI.
Demikian
sekilas tentang profil diri Habib Muda Saunagan dalam buku yang diterbitkan
oleh PT. Karya Sukses Sentosa dengan penanggung jawabnya Dra. Hj. Y. Wage SK.
Dalam buku tersebut, oleh penulisnya diceritakan secara apa adanya kiprah Abu
Habib Muda Seunagan dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan dan masa-masa
mempertahankan kemerdekaan. Baik pada masa pendudukan tentara Jepang, maupun
pada masa agresi militer I dan II oleh Belanda. Habib pernah mengirim 160
personil Lasykar Jihad dalam peperangan yang disebut Sidikalang di Tapanuli
Utara yaitu pada masa agresi militer II. Lasykar Jihad merupakan pasukan yang
ia bentuk yang terdiri dari murid-muridnya yang terlatih dan terpilih. Habib
sendiri yang membentuk pasukan tersebut untuk menghadapi tentara Belanda.
Suasana
heroisme dan patriotisme para murid-murid Abu Habib Muda Seunagan yang
tergabung dalam pasukan Lasykar Jihad saat melawan Belanda oleh penulis juga
diceritakan berdasarkan sumber-sumber utamanya. Inilah yang menjadi nilai lebih
dari buku ini, karena tidak hanya melulu berbicara tentang biografi seorang
tokoh melainkan hampir seperti buku sejarah. Sejarah tentang pergerakan melawan
bangsa kolonial yang dilakukan oleh rakyat Aceh. Didalamnya, ada berbagai macam
kisah yang berlatar belakang dengan perjuangan dan pengalaman-pengalaman
spiritual dan religius yang dialami oleh Abu Habib Muda Seunagan.
Salah satu
contohnya adalah cerita tentang “Hikayat Perang Sabil”. Abu menggunakan cerita
“Hikayat Perang Sabil” karya seorang ulama penyair Tengku Syekh Muhammad lahir
tahun 1836 M di Desa Pante Kulu Kumukiman Titeu Kecamatan Keumala Pidie?. Oleh
Abu, Hikayat Perang Sabil dijadikan media dakwah untuk membangkitkan semangat
perang dan Jihad Fi Sabilillah melawan Belanda. Sebelum para pasukannya
berangkat ke medan perang, terlebih dahulu dikisahkan tentang Hikayat Perang
Sabil. Karena kewalahan melawan militansi dan perlawanan dari rakyat Aceh,
Pemerintah Hindia Belanda akhirnya melarang membaca, menyampaikan dan
mendengarkan tentang Hikayat Perang Sabil.
Dalam buku
ini dikisahkan pula keterlibatan dan kepeloporan beliau dalam mempertahankan
tetap utuhnya NKRI di Aceh. Pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana
Menteri Mr. Ali Sastromidjojo, tepatnya tanggal 21 September 1953, terjadi
perlawanan (kecewa) terhadap Pemerintah Pusat “Soekarno” yang dipimpin oleh
Tengku Muhammad Daud Beureueh yang pernah menjabat sebagai Gubernur Militer
Aceh Langkat dan Tanag Karo dan juga sebagai Gubernur Aceh.
Tengku
Muhammad Daud Beureueh memproklamirkan bahwa Aceh adalah Negara Islam dan
mengangkat senjata melawan pemerintah pusat. Sikap Daud Beureueh ini banyak
mendapat tentangan dari ulama Aceh sendiri, termasuk diantaranya Abu Habib Muda
Seunagan yang pada akhirnya terjadilah perang sesama atau peristiwa berdarah.
Abu Habib
Muda Seunagan dalam rapat umum di desa Peulekung pada tanggal 17 November 1953
yang dihadiri oleh ribuan pengunjung secara tegas menyatakan menentang tindakan
tersebut. Tidak hanya itu, Abu Habib Muda Seunagan juga mempelopori
terbentuknya “Pagar Desa” di daerah-daerah yang menjadi basis para
pendukungnya. Bersama dengan para pengikutnya, Abu Habib Muda Seunagan akan tetap
setia berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bentuk komitmen
terhadap NKRI, Habib juga membentuk pasukan tempur yang terdiri dari para
pendekar pedang yang selalu siap siaga menjalankan perintah. Sehingga, suatu
ketika terjadi perlawanan antara pasukan pro NKRI pimpinnan Abu Habib Muda
Seunagan dengan kelompok yang menentang NKRI.
Itulah
sepenggal hikmah tentang komitmen dan perjuanggan beliau terhadap tegaknya NKRI
dari rongrongan manapun. Atas jerih payah dan ketulusan beliau pula akhirnya
Abu Habib Muda Seunagan dipanggil ke Istana Negara oleh Bung Karno. Pertemuan
yang akrab dan hangat tersebut laksana antara bapak dan anak yang sudah lama
tidak berjumpa. Bung Karno sebagai sosok yang lebh muda dan sebagai
representasi figur umara’ meminta nasehat dan masukan kepada Habib Muda
Seunagan dalam merumuskan dan mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan
dengan konflik di Aceh. Abu Habib Muda Seunagan menyarankan agar dalam
menyelesaikan masalah Aceh pemerintah pusat lebih menggunakan pendekatan
kemanusiawan dan bukan menggunakan cara-cara kekerasan.
Wisata Religi
Tidak
sebagaimana umumnya buku-buku biografi, buku yang ditulis oleh Tengku Sammina
Daud ini kalau anda baca dan selami secara runtut dari bab per bab akan membawa
anda pada suasana berwisata religi/spriritual. Batin anda akan diajak
beranjangsana menapaki lika-liku kehidupan dengan berbagai nasehat dan
petuah-petuah religius. Terutama sekali, saat kita ikuti perjalanan Abu Habib
Muda seunagan dari Aceh menuju Jakarta dan diteruskan dengan perjalanan
berziarah ke makam Wali Songo mulai dari Jawa Barat sampai Jawa Timur.
Perjalanan
ziarah yang dimulai dari makam Sunan Gunung Jati yang berlokasi di Cirebon Jawa
Barat. Sunan Gunung Jati dari silsilahnya masih kakek dari Abu Habib Muda
Seunagan. Setelah itu menuju ke Jawa Tengah untuk mengunjungi Masjid Agung
Demak dan berziarah ke makam Raden Patah dan berziarah ke makam Sunan Kalijago
di Kadilangu Demak. Baru dilanjutkan ke Kudus (Sunan Muria dan Sunan Kudus) dan
Jawa Timur yakni Tuban, Gresik dan Surabaya. Dalam setiap kunjungan ziarah, Abu
Habib Muda Seunagan terlebih dahulu menemui Juru Kunci makam.
Tidak hanya
tentang biografi tokoh atau figur, buku ini juga mengupas tentang dunia tasawuf
dan tharikat mulai dari ajaran-ajarannya sampai pada jullak dan juknis dalam
menjalankan tharikat atau suluk. Namun sebagai ukuran buku biografi,
sumber-sumber yang digali masih terlalu sederhana baik dari sisi narasumbernya
dan strategi penggalian datanya. Penulis yakin, sisi kehidupan dari seorang
Habib Muda Saunagan jauh lebih kaya lagi akan hikmah untuk pelajaran bagi
generasi kedepan. Namun sebagai langkah awal, buku ini cukup layak untuk
diapresiasi dan dibaca bagi semua pecinta sejarah Aceh dan juga semua kalangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar