Salah satu bukti nyata
dasyatnya perang Belanda di Aceh adalah Kerkhof. Taman perkuburan Belanda ini
berada di Banda Aceh, daerah Blower, tepatnya dibelakang Museum Tsunami, serta
menyimpan begitu banyak misteri yang masih tanda tanya. Jumlah jenazah
perkuburan Belanda ini diperkirakan sekitar 2.200 jiwa orang dan ini menandakan
bahwa kedasyatan perang Belanda di Aceh begitu luar biasa. Dan ironisnya,
Kerkhof yang ada di Aceh ini, tidak pernah dijumpai di daerah Indonesia
manapun.
Dalam sejumlah artikel
yang ditulis oleh para penulis yang bertebaran di internet termasuk juga saya,
seringkali kita menemukan sebagian artikel yang menyebut “Perang Aceh dengan Belanda”
atau “Perang Aceh”. Sebenarnya apakah gerangan
kata-kata tersebut menandakan bahwa Aceh yang berperang dengan Belanda,
bukankah Belanda yang menyatakan perang terhadap Aceh? ya walaupun si penulis
tersebut tidak bermaksud sedemikian, namun saya rasa itu bukan hal yang wajar dan
itu tidak tepat, yang seharusnya layak digunakan adalah perang Belanda di Aceh,
bukan Aceh yang berperang dengan Belanda. Justru sebaliknya, Belanda lah yang
ingin berperang di Aceh demi hasrat menguasai seluruh Nusantara ini. Tetapi apa
boleh buat memang begitu kenyataannya bukan?.
Beberapa alasan mengapa
Belanda ingin berperang di Aceh, tentunya pembaca sendiri sudah mengetahui dibalik
semua alasan-alasan mengapa Belanda menyatakan perang terhadap Nanggroe (Negara)
di ujung pulau Sumatera ini, Aceh. Namun, menurut seorang dosen Fkip Sejarah
Unsyiah sekaligus pemegang kunci Kerkhof. Drs. Rusdi Sufi. Beliau berpendapat
ada 2 hal sebab-sebab terjadinya perang Belanda di Aceh, antara lain:
1.
Belanda merasa jangkal apabila wilayah
Aceh yang merupakan gerbang masuk ke Nusantara tidak mereka kuasai seluruhnya.
2.
Belanda khawatir dan takut terhadap
daerah Aceh yang letaknya cukup strategis tidak dapat mereka kuasai dan takut
dikuasai oleh daerah lain (penjajah).
Setelah beberapa pergantian penguasa
(Raja) di Kerajaan Aceh Darussalam hingga tahun 1871, Aceh masih merupakan
kerajaan atau negara berdaulat (merdeka) yang diakui oleh dunia luar. Dalam
agresi militer Belanda, salah satu daerah yang dituju Belanda adalah Aceh.
Perang Belanda di Aceh sejatinya meletus pada tahun 1873. Belanda menyatakan
perang terhadap Aceh melalui surat-menyurat dan setelah melakukan beberapa
ancaman diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah Aceh. Maka perang Belanda
di Aceh pun meletus.
Perang menundukkan Aceh merupakan
perang Belanda yang terlama, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda
untuk tidak bisa menundukkan Bumi Serambi Mekkah ini. Sebuah perang dimana
dalam catatan sejarah Belanda, merupakan perang yang begitu panjang dan yang
paling pahit melebihi pahitnya pengalaman mereka bahkan perang yang nyaris
membuat bangkrut kas Hindia Belanda serta menewaskan banyak pihak Belanda. Yang
bahkan pada kenyataannya perang tersebut tidak mampu menaklukkan Aceh atau
dengan kata lain “Aceh sama sekali tidak pernah dijajah oleh Belanda” karena
perang Sabil terus berkobar dan berkecambuk hampir di seluruh Tanah Aceh.
Bagi Belanda, Perang Aceh merupakan
pengalaman pahit. Itu sebabnya Aceh dijuluki sebagai “Daerah Modal” hanya Aceh lah
satu-satunya daerah yang tidak pernah dijajah dan dijamah oleh Belanda ketika
kembali ke Indonesia (bekas Hindia Belanda) dalam serangan Agresi Militer
Belanda ke II dengan membonceng Sekutu NICA seusai Perang Dunia ke II.
Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu
nyawa manusia dari kedua belah pihak, baik Belanda maupun Aceh.
Demikian
juga dengan dana perang yang sangat besar yang telah dikeluarkan oleh Belanda,
sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda
terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan
paling lama dalam sejarah Belanda.
Bagi Belanda
segalanya sudah menjadi tidak terkendali lagi. Bangsa Belanda tidak pernah
menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangannya di Aceh.
Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan sebagai perang delapan puluh
tahun. Menurut korbannya, lebih seratus ribu orang yang mati, perang ini adalah
suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa
Belanda.
Rakyat Aceh tidak pernah dikalahkan
Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab Rakyat Aceh memandang perang
Belanda di Aceh sebagai perang suci jihad “fisabilillah” yang bermakna orang
Aceh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang dirangsang
dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya
perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum
wanitanya, layaknya seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, dan
sebagainya.
Menurut saya, orang Aceh menganggap
perang Belanda di Aceh sebagai bentuk
Surga yang telah dikirimkan oleh Allah Swt, sehingga Rakyat Aceh tidak
menunggu lama lagi untuk mendapatkan Surga tersebut, yakni dengan Mati Syahid
di jalan Allah demi melawan kaphe-kaphe (kafir-kafir) Belanda itu. Seperti
halnya sebuah slogan “Udep Sare Matee Syahid” yang
berlaku dan hidup dalam sanubari Rakyat Aceh di masa lampau. Di samping
itu juga, para Ulama Aceh pun berperan sangat besar yang telah membakarkan roh
jihad dalam perang Sabil ini. Dan yang lebih menarik lagi bahwa Rakyat Aceh
berperang tidak tergantung pada seorang Raja atau panglima perang, maksudnya
jika raja atau panglima lainnya kalah atau pun tewas dalam medan pertempuran,
maka pasukan atau rakyatnya juga ikut menyerah. Teori ini sama sekali tidak
terbukti dan tidak berlaku di Aceh terkecuali di Jawa ketika Belanda menguasai
Batavia (sekarang Jakarta) dengan cara sedemikian.
Ketika perang
sudah berakhir. Namun pada dasarnya baik Belanda maupun Aceh, perang tersebut
masih ada dalam ingatan mereka serta terus akan dikenang. Tetapi, pada akhirnya
sejarah telah membuktikan bahwa: Belanda kapok dan tidak pernah berani lagi
menginjak kaki di Aceh. Ketika tahun 1946-1948 Belanda kembali dan telah
menduduki seluruh wilayah Indonesia, mereka tidak mau terperangkap kembali di
Aceh. Keadaan di Aceh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda.
“Sesudah tahun 1945 pemerintah
Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun
1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya
untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah
antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.”
Sebuah ekspedisi pertama dengan
3.000 serdadu Belanda bahkan lebih, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Johan
Harmen Rudolf Kohler dikirimkan ke Aceh pada tahun 1873, namun dikalahkan oleh
gerilyawan Aceh dibawah masa pimpinan Sultan Mahmud Syah yang di komandokan oleh
Ulebalang dan para pejuang Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya dan
dilengkapi dengan meriam. Hasilnya pun tidak mengecewakan, pasukan Belanda yang
berada di Mesjid Raya Baiturrahman serta jenderal Kohler sendiri pun berhasil
dibunuh dan dilenyapkan di Bumi Serambi Mekkah ini. Namun perang belum berakhir
sampai disitu.
Pohon kelumpang atau geulumpang
hingga kini masih tumbuh di dekat gerbang kiri Masjid Raya Baiturrahman serta
dibangun pula sebuah monumen tepat dibawah pohon itu sebagai penanda tempat
Kohler tertembak. Orang Belanda menyebut pohon itu Kohlerboom atau pohon
Kohler. Jenderal Kohler adalah Panglima perang tertinggi Belanda serta pemimpin
ekspedisi pertama penyerangan Belanda terhadap Aceh., tepatnya 6 April 1873. Pasukan
Kohler memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat.
Setelah
tiba di Aceh, beberapa hari kemudian, ketika pasukan Kohler berada di dalam
Mesjid Raya Baiturrahman, seorang sniper Aceh melesakkan pelurunya tepat kearah
jenderal Belanda ini.“O God. Ik Ben Getroffen (Oh Tuhan
aku telah kena),” seru Mayor Jenderal J.H.R Kohler ketika peluru seorang
penembak jitu (pejuang Aceh) tersebut menembus dadanya. Kohler menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 14 April 1873 tepat di depan (gerbang kiri)
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ia tak menyangka kematian menjemputnya
secepat itu, hanya berselang beberapa hari sejak pendaratannya di Aceh.
Setelah Kohler tewas dalam
pertempuran, jasadnya dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) melalui pantai
Ceureumen, Ulee Lheue. Ia dikebumikan di daerah Tanah Abang. Karena rencana
pengembangan kota oleh Pemerintah kota Jakarta membuat makamnya tergusur. Pada
tanggal 19 Mei 1978, abu dan nisannya dipindahkan ke Kerkhof atas permintaan
gubernur Aceh saat itu, A. Muzakir Walad. Setelah berselang 105 tahun dari
waktu kematian nya, Jenderal Kohler “Sang Yahudi” pun kembali lagi ke Aceh
tempat dimana kematian menjemputnya begitu cepat.
Kini kuburan Mayor Jenderal J.H.R
Kohler berada di bagian depan pintu masuk Peutjut Kerkhof atau
Permakaman Peutjut atau lebih dikenal dengan sebutan Kerkhof. Empat bintang
emas menghiasi setiap sisi nisan Kohler. Pada nisan itu tertara kalimat “Herbegraven
Op” (dikuburkan kembali) pada tanggal 19 Mei 1978. Lambang seekor ular
menggigit ekornya sendiri terpahat dibawah nisan. Tentunya lambang ular
tersebut ada makna tersembunyi, tapi menurut saya itu, jika seekor ular
menggigit ekornya sendiri, itu artinya sama saja membunuh diri alias mati
konyol secara cuma-cuma.
Bentuk nisan dan makam di
Kerkhof serta ukurannya bervariasi. Ada yang berbentuk ujung pena, salib batu,
kubus, pilar patah, atau balok beratap. Besarnya Nisan tidak ditentukan oleh tingginya
pangkat seseorang. Terkadang nisan prajurit lebih besar dari kuburan seorang
perwira. Itu mungkin karena menurut kemampuan ekonomi masing-masing.
Pasukan gabungan Belanda yang
dinamakan Korps Marsose juga sebagian ada di makamkan di dalam Kerkhof. Pasukan
ini pada umumnya tidak semuanya berasal dari didikan asli (militer) orang
Belanda maupun pasukan kiriman asli dari negeri Kincir Angin, Netherlands.
Namun, ada juga yang berasal dari Eropa, Jawa, Batak, Ambon, Maluku, dan
sebagainya, dan pasukan ini dilatih khusus untuk menyerang Aceh, mereka yang
bersifat gerilyawan telah meniru gaya orang Aceh berperang. Khusus untuk
pasukan Belanda yang berasal dari Indonesia, inilah yang saya anggap sebagai “Pengkhianat
Anak Bangsa” yang dilakukan oleh Belanda dengan cara mengadu domba satu sama
lain.
Terlihat dari bentuk dan tulisan
nama nisan-nisan yang ada di dalam Kerkhof, rupanya ada kode-kode tersendiri.
Barangkali supaya mudah di ingat berasal dari mana penghuni makam tersebut. Setiap
nisan-nisan memiliki identitas tersendiri. E adalah singkatan dari Eurepeesch,
yang ditujukan untuk pasukan Eropa atau Belanda, I merujuk pada kata “Inlander”
yang ditujukan untuk Anak Negeri (Indonesia). F atau Fuselir adalah tanda
kepangkatan. AMB menyatakan bahwa prajurit tersebut dari Ambon. M ch menandakan
bahwa si prajurit bergabung dengan korps Marechausse atau oleh lidah
orang Melayu disebut Marsose.
Pada hari Minggu tanggal 26 Desember
2004, gempa yang berkekuatan besar serta setelah itu disusul pula gelombang
Tsunami yang amat dasyat menerjang kota Banda Aceh yang memakan ribuan jiwa
Rakyat Aceh. Gelombang Tsunami juga mengahantam perkuburan Kerkhof ini,
sehingga air Tsunami masuk ke dalam area kompleks ini setinggi lebih kurang 1,5
meter, sebagian lagi sampah, kayu bahkan mayat pun ikut terbawa ke dalamnya.
Tsunami telah membuat perkuburan Belanda ini hancur berantakan serta penuh dengan
lumpur, banyak juga makan-makam tersebut hilang dibawah arus. Bencana tersebut
juga telah merusak pagar yang mengelilingi pemakaman roboh dibuatnya.
Tetapi kemudian, Kerkhof di perbaiki
kembali. Pagar tembok yang melingkari area perkuburan serta pintu gerbang telah di
perbaiki lagi. Entah seberapa banyak dana yang diperlukan untuk merehap kembali
perkuburun ini, yang jelas tentu menelan biaya yang banyak. Pos jaga telah di
persiap, para pekerja dan pengurus kuburan sudah di pekerjakan. Sekarang Kerkhof
sudah nampak rapi, bunga-bunga yang tumbuh pun menghiasi area perkuburan ini
serasa terlihat indah, serta pohon-pohon yang berbaris rapi terlihat bak
prajurit yang sedang bersiap menunggu kehadiran sang Jenderal. Tak jarang, para
pengunjung pun tampak terlihat dalam halaman perkuburan.
Bagaimana pun juga, Kerkhof itu
harus dirawat dan dijaga sebagai bukti nyata perlawanan hebat Rakyat Aceh.
Sekarang permasalahannya bukan mempertahankan kuburan kaphe tapi mempertahankan
bukti sejarah hebat bangsa Aceh melawan penjajahan Belanda. Tak ada penjajah
yang mengakui kehebatan lawannya seperti Belanda mengakui Aceh. Sejarah telah
membuktikan itu “No Ducument, No History” tanpa ada dukument, bukan dikatakan
sejarah.
Misteri
Meurah Pupok
Masih
ingatkah sebuah filosof yang berujung pada kematian Putra Mahkota Kesayangan
Sultan Iskandar Muda? Meurah Pupok yang harus mengakhiri hidupnya di Ujung
Pedang Ayahandanya sendiri. “...Gadoh
Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Hukom Ngon Adat Pat Tamita...”? yang artinya
hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat
yang hilang hendak kemana kita mencarinya?
Dari sekian banyaknya makam-makam di Kerkhof, ada satu yang sangat berbeda di antara semuanya. Makam ini tidak sama dengan makam yang lain, terlihat dari bentuk nisannya yang bergaya Aceh kuno, makam ini bernuasa Islam, anehnya makam tersebut kenapa berada di dalam kompleks pemakaman orang kafir (Belanda) serta mempunyai tiga batu nisan? Sebuah pohon besar tumbuh meneduhi nisan-nisan tersebut dan sebuah palang penanda tertera yang tulisan: “Makam Meurah Pupok”. Adalah makam anak penguasa Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah membawa Aceh pada masa kegemilangannya serta salah satu Sultan yang di idolakan oleh Rakyat Aceh, yakni Sultan Iskandar Muda.
Tentang Meurah Pupok, dalam sejarah
Aceh jarang sekali menyinggung tentang anak putra Raja Aceh yang pernah
berkuasa pada abad ke 17, begitu juga tentang bukti sejarahnya. Lantas mengapa
Meurah Pupuk Sang Putra Mahkota di makamkan di Kerkhof? Tragedi Meurah Pupok
sampai sekarang belum bisa dibuktikan sejarahnya secara pasti hingga terus menjadi
misteri yang berkelanjutan.
Menurut sejarah yang saya ketahui, Sang
Putra Mahkota Meurah Pupok yang digelari Sultan Muda atau Poteu Cut yang
berarti Anak kesayangan telah melakukan tindakan tidak patut atau kesalahan
yang fatal (antara dijebak atau disengaja) sehingga membuat sultan Iskandar
Muda begitu marah dan menghukum mati anak kesayangannya tersebut.
Kesalahan
yang dilakukan oleh Meurah Pupok adalah telah melakukan tindakan asusila dengan
menodai seorang istri perwira angkatan Perang Aceh, Syahdan. Adalah orang yang
paling dikenal serta orang kepercayaan Sang Sultan. Setelah mengetahui
peristiwa itu, Perwira tersebut langsung membunuh istrinya. Namun, untuk Putra
Mahkota ia serahkan sepenuhnya kepada Sang Sultan. Ia menuntut keadilan kepada
Sultan atas tindakan anaknya. Selepas ia mengadukan hal tersebut kepada Sultan,
maka Perwira tersebut langsung mencabut rencongnya dan menikam ke hulu hatinya
dan langsung tewas saat itu juga.
Segera
Sultan berteriak dengan keras disaksikan orang-orang penting Kerajaan dan para
pengawalnya. “Aku adalah Sultan Penguasa Aceh, Sumatera dan Malaka. Aku telah
memerintah Aceh dan taklukannya dengan menegakan hukum yang seadil-adilnya. Aku
pun akan menegakan hukum terhadap keluargaku sendiri. Aku pun akan menerapkan
hukum kepada Putra Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan tanganku sendiri akan
kupenggal leher putraku karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini.”
Semua pembesar kerajaan tercenung. Sultan segera memerintahkan penangkapan Putra Mahkota Meurah Pupok yang bergelar Poteu Cut atau Sultan Muda. Pengadilan segera dilakukan dan Sultan Iskandar Muda telah memutuskan bahwa ia sendirilah yang akan memancung putra kesayangannya itu. Mendung menggelayut diatas Kerajaan Aceh, prahara telah menghantam negeri perkasa ini.
Beberapa
pembesar kerajaan yang peduli terhadap kejadian yang menimpa atas nama kerajaan
bersepakat untuk menghadap Sultan Iskandar Muda agar membatalkan hukuman
pancung tersebut. Mereka mengajukan berbagai usul seperti pengampunan atau
cukup dengan mengasingkan Putra Mahkota ke negeri lain. Termasuk mencari
kambing hitam, mencari seorang pemuda lain untuk menjadi pesakitan menggantikan
Putra Mahkota.
Semua usul
tersebut ditolak oleh Sultan dan dengan berang Sultan berkata “Akulah yang
menegakan hukum di negeri ini dan kepada siapapun yang bersalah tidak
terkecuali terhadap keluargaku sendiri harus dihukum. Kerajaan ini kuat karena
hukum yang ditegakan dan adanya keadilan.” Semua pembesar kerajaan terdiam tak
kuasa membantah titah Raja Perkasa yang adil ini. Mereka mulai membayangkan
bagaimana masa depan negeri ini.
Pada hari
yang ditentukan dilaksanakanlah hukuman pancung tersebut yang langsung
dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap Putra Mahkota kesayangannya.
Dibawah linangan air mata masyarakat yang mencintai Sultan dan Putra Mahkotanya
disaksikan pembesar kerajaan yang berwajah sedih dan tertunduk tak mampu
menatap kejadian tersebut, Sultan Iskandar Muda dengan tegar melaksanakan
hukuman pancung terhadap Putra Mahkota kesayangannya itu. Langit kerajaan Aceh
menjadi mendung kelabu.
Atas keputusan Sultan Iskandar Muda pula jenazah Meurah Pupok tidak diperbolehkan untuk dimakamkan dikompleks pemakaman kerajaan. Pemakaman kerajaan disebut dengan Kandang Mas yang berada dilingkungan Istana Darul Donya (sekarang pendopo Gubernur Aceh). Jenazahnya hanya dimakamkan disuatu kompleks di luar area Istana yaitu seperti yang kita ketahui sekarang berada di dalam kompleks Peutjut Kerkhof.
Banyak isu-isu yang beredar tentang
kematian putra kesayangan Sultan Iskandar Muda tersebut. Ada yang mengatakan
saat itu ia dihukum karena mengganggu istri orang lain. Ada juga yang menyebut
ia berzina dengan wanita Belanda. Bahkan ada yang mengatakan ia hanya korban
fitnah belaka. Kebenaran sejarahnya tidak diketahui hingga saat kini.
Menurut hipotesa saya, penyebab
kematian Meurah Pupuk itu karena dia telah di fitnah. Ingat, Setelah tragedi
tersebut, Sultan dirundung kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang terus
menerus ini membuat Sultan jatuh sakit. Sakitnya berlangsung terus dan semakin
parah. Sultan Iskandar Muda meninggal berselang beberapa pekan (minggu) setelah
menghukum pancung anaknya. Bisa jadi kematian Sultan karena shock akibat
mengetahui penyebab kematian anaknya yang direkayasa. Yang namanya bangku atau
tampuk kekuasaan itu pasti banyak yang dipermainkan. Dugaannya adalah bahwa
hukuman mati atas Meurah Pupok tak lepas dari intrik dalam istana, yakni salah
satu gerakan dari Putroe Phang demi tujuan tertentu.
Ingat juga, setelah
Sultan Iskandar Muda mangkat, penggantinya bukan keturunan langsung dari Sultan
Iskandar Muda maupun anak-anak yang telah dilahirkan dari istri-istrinya,
melainkan pengganti Sultan Iskandar Muda raja Kerajaan Aceh Darusslam adalah
Sultan Iskandar Tsani, dari negeri Semenanjung Melayu yang nota bene merupakan
menantu Sultan Iskandar Muda sekaligus suami Ratu Safiatuddin, yang juga
keponakan dari Putroe Phang. Bisa dibilang Putroe Phang itu gerak-geriknya
lebih berbahaya dari pada istri Sultan lainnya. Jadi, singkat kata, Putroe
Phang lah dibalik semua penyebab tragedi yang meninpa kematian Putra Mahkota
Meurah Pupok anak kesayangan Sultan.
Meurah Pupok
bukan anak dari hasil perkawinan Sultan dengan Putroe Phang, melaikan anak dari
istri Sultan Iskandar Muda lainnya. Sepengetahuan saya, perkawinan antara
Sultan Iskandr Muda dengan Putroe Phang tidak menghasilkan anak atau keturunan.
Menurut sebuah riwayat Sultan Iskandar Muda memiliki dua anak, yang pertama
adalah Meurah Pupok yang berasal dari istrinya seorang Putri Gayo. Yang kedua
adalah wanita yang kelak menjadi Ratu Kerajaan Aceh Darusslam yang bernama
Safiatuddin yang berasaal dari istrinya Putri Pedir atau Pidie. Meurah Pupok
lah menjadi harapan Sultan Iskandar Muda untuk menggantikan kedudukan sang
ayah, namun takdir berbicara lain.
Demi menegakkan
hukum, Sultan Iskandar Muda rela menghukum mati anak kesayangannya sendiri yang
notabene merupakan satu-satunya anak laki-laki keturunan langsung dari Sultan
Iskandar Muda sekaligus penerus tahta Kerajaan Aceh Darussalam. Meskipun
kemudian diketahui kesalahan anaknya tersebut akibat suatu konspirasi yang
memang sengaja menjebaknya. Namun Sejarah telah memberikan pelajaran yang luar
biasa buat kita, hukum memang harus ditegakan, bukan seperti yang terjadi di
Indonesia saat ini, hukum di Indonesia lumpuh alias cacat mati ibarat seperti
“tajam dibawah tumpul diatas” rakyat di libas, penguasa di lindungi dengan
hukum dan uang, namun kekuasaan itu pun
syarat dengan intrik dan penuh tipu daya. Kisah Meurah Pupok memberikan hikmah
yang mendalam dan luar biasa terutama bagi Aceh dan Indonesia khususnya di masa
yang akan datang.
Pemakaman di
Kerkhof tidak saja bukti nyata kepahlawanan Rakyat Aceh melawan penjajah, bukan
saja bukti nyata kedasyatan perang Belanda di Aceh, bukan pula bukti nyata Aceh
perangi Yahudi tetapi juga merupakan bukti nyata keadilan Sultan Iskandar Muda
dalam menegakkan hukum seadil-adilnya tanpa memandang siapa pun dimasa
pemerintahannya.
Banyak hal
menarik dapat Anda temui di kompleks pemakaman ini. Seperti kisah para prajurit
semasa hidupnya sampai pada saat dikubur. Semuanya diceritakan hanya sekilas
pada batu nisan sehingga makam ini seolah-olah sedang bercerita kepada Anda
tentang masa hidupnya. Selain makam Meurah Pupok, Kohler, masih terdapat banyak
lagi makam-makam Jenderal Belanda dan orang terkenal lainnya di pemakaman
Kerkhof ini, seperti Warga setempat yang beragama Kristen juga ada yang
dikuburkan di situ. Di sini kita juga akan menemukan makam orang-orang
Tionghoa. Jika ada waktu, ada baiknya anda sesekali berlibur ke Kerkhof untuk
menikmati ratusan simbol yang ada di dalam sana.
Penulis:
Mahasiswa Fkip Sejarah Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIike this yoo. Aduen 😄😘
BalasHapusIike this yoo. Aduen 😄😘
BalasHapus