6 Oktober 2012

Kerkhof, Bukti Dasyatnya Perang Belanda Di Aceh

Salah satu bukti nyata dasyatnya perang Belanda di Aceh adalah Kerkhof. Taman perkuburan Belanda ini berada di Banda Aceh, daerah Blower, tepatnya dibelakang Museum Tsunami, serta menyimpan begitu banyak misteri yang masih tanda tanya. Jumlah jenazah perkuburan Belanda ini diperkirakan sekitar 2.200 jiwa orang dan ini menandakan bahwa kedasyatan perang Belanda di Aceh begitu luar biasa. Dan ironisnya, Kerkhof yang ada di Aceh ini, tidak pernah dijumpai di daerah Indonesia manapun.


Dalam sejumlah artikel yang ditulis oleh para penulis yang bertebaran di internet termasuk juga saya, seringkali kita menemukan sebagian artikel yang menyebut “Perang Aceh dengan Belanda” atau “Perang Aceh”. Sebenarnya apakah gerangan kata-kata tersebut menandakan bahwa Aceh yang berperang dengan Belanda, bukankah Belanda yang menyatakan perang terhadap Aceh? ya walaupun si penulis tersebut tidak bermaksud sedemikian, namun saya rasa itu bukan hal yang wajar dan itu tidak tepat, yang seharusnya layak digunakan adalah perang Belanda di Aceh, bukan Aceh yang berperang dengan Belanda. Justru sebaliknya, Belanda lah yang ingin berperang di Aceh demi hasrat menguasai seluruh Nusantara ini. Tetapi apa boleh buat memang begitu kenyataannya bukan?.

Beberapa alasan mengapa Belanda ingin berperang di Aceh, tentunya pembaca sendiri sudah mengetahui dibalik semua alasan-alasan mengapa Belanda menyatakan perang terhadap Nanggroe (Negara) di ujung pulau Sumatera ini, Aceh. Namun, menurut seorang dosen Fkip Sejarah Unsyiah sekaligus pemegang kunci Kerkhof. Drs. Rusdi Sufi. Beliau berpendapat ada 2 hal sebab-sebab terjadinya perang Belanda di Aceh, antara lain:

1.      Belanda merasa jangkal apabila wilayah Aceh yang merupakan gerbang masuk ke Nusantara tidak mereka kuasai seluruhnya.
2.      Belanda khawatir dan takut terhadap daerah Aceh yang letaknya cukup strategis tidak dapat mereka kuasai dan takut dikuasai oleh daerah lain (penjajah).

Setelah beberapa pergantian penguasa (Raja) di Kerajaan Aceh Darussalam hingga tahun 1871, Aceh masih merupakan kerajaan atau negara berdaulat (merdeka) yang diakui oleh dunia luar. Dalam agresi militer Belanda, salah satu daerah yang dituju Belanda adalah Aceh. Perang Belanda di Aceh sejatinya meletus pada tahun 1873. Belanda menyatakan perang terhadap Aceh melalui surat-menyurat dan setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah Aceh. Maka perang Belanda di Aceh pun meletus.

Perang menundukkan Aceh merupakan perang Belanda yang terlama, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda untuk tidak bisa menundukkan Bumi Serambi Mekkah ini. Sebuah perang dimana dalam catatan sejarah Belanda, merupakan perang yang begitu panjang dan yang paling pahit melebihi pahitnya pengalaman mereka bahkan perang yang nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda serta menewaskan banyak pihak Belanda. Yang bahkan pada kenyataannya perang tersebut tidak mampu menaklukkan Aceh atau dengan kata lain “Aceh sama sekali tidak pernah dijajah oleh Belanda” karena perang Sabil terus berkobar dan berkecambuk hampir di seluruh Tanah Aceh.

Bagi Belanda, Perang Aceh merupakan pengalaman pahit. Itu sebabnya Aceh dijuluki sebagai “Daerah Modal” hanya Aceh lah satu-satunya daerah yang tidak pernah dijajah dan dijamah oleh Belanda ketika kembali ke Indonesia (bekas Hindia Belanda) dalam serangan Agresi Militer Belanda ke II dengan membonceng Sekutu NICA seusai Perang Dunia ke II. Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak, baik Belanda maupun Aceh.

Demikian juga dengan dana perang yang sangat besar yang telah dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah Belanda.

Bagi Belanda segalanya sudah menjadi tidak terkendali lagi. Bangsa Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar dari pada peperangannya di Aceh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan sebagai perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya, lebih seratus ribu orang yang mati, perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda.

Rakyat Aceh tidak pernah dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab Rakyat Aceh memandang perang Belanda di Aceh sebagai perang suci jihad “fisabilillah” yang bermakna orang Aceh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang dirangsang dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya, layaknya seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, dan sebagainya.

Menurut saya, orang Aceh menganggap perang Belanda di Aceh sebagai bentuk  Surga yang telah dikirimkan oleh Allah Swt, sehingga Rakyat Aceh tidak menunggu lama lagi untuk mendapatkan Surga tersebut, yakni dengan Mati Syahid di jalan Allah demi melawan kaphe-kaphe (kafir-kafir) Belanda itu. Seperti halnya sebuah slogan “Udep Sare Matee Syahid” yang berlaku dan hidup dalam sanubari Rakyat Aceh di masa lampau. Di samping itu juga, para Ulama Aceh pun berperan sangat besar yang telah membakarkan roh jihad dalam perang Sabil ini. Dan yang lebih menarik lagi bahwa Rakyat Aceh berperang tidak tergantung pada seorang Raja atau panglima perang, maksudnya jika raja atau panglima lainnya kalah atau pun tewas dalam medan pertempuran, maka pasukan atau rakyatnya juga ikut menyerah. Teori ini sama sekali tidak terbukti dan tidak berlaku di Aceh terkecuali di Jawa ketika Belanda menguasai Batavia (sekarang Jakarta) dengan cara sedemikian.

Ketika perang sudah berakhir. Namun pada dasarnya baik Belanda maupun Aceh, perang tersebut masih ada dalam ingatan mereka serta terus akan dikenang. Tetapi, pada akhirnya sejarah telah membuktikan bahwa: Belanda kapok dan tidak pernah berani lagi menginjak kaki di Aceh. Ketika tahun 1946-1948 Belanda kembali dan telah menduduki seluruh wilayah Indonesia, mereka tidak mau terperangkap kembali di Aceh. Keadaan di Aceh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda.
“Sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.”

Sebuah ekspedisi pertama dengan 3.000 serdadu Belanda bahkan lebih, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler dikirimkan ke Aceh pada tahun 1873, namun dikalahkan oleh gerilyawan Aceh dibawah masa pimpinan Sultan Mahmud Syah yang di komandokan oleh Ulebalang dan para pejuang Aceh yang telah memodernisasikan senjatanya dan dilengkapi dengan meriam. Hasilnya pun tidak mengecewakan, pasukan Belanda yang berada di Mesjid Raya Baiturrahman serta jenderal Kohler sendiri pun berhasil dibunuh dan dilenyapkan di Bumi Serambi Mekkah ini. Namun perang belum berakhir sampai disitu.


Pohon kelumpang atau geulumpang hingga kini masih tumbuh di dekat gerbang kiri Masjid Raya Baiturrahman serta dibangun pula sebuah monumen tepat dibawah pohon itu sebagai penanda tempat Kohler tertembak. Orang Belanda menyebut pohon itu Kohlerboom atau pohon Kohler. Jenderal Kohler adalah Panglima perang tertinggi Belanda serta pemimpin ekspedisi pertama penyerangan Belanda terhadap Aceh., tepatnya 6 April 1873. Pasukan Kohler memasuki wilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat.


Setelah tiba di Aceh, beberapa hari kemudian, ketika pasukan Kohler berada di dalam Mesjid Raya Baiturrahman, seorang sniper Aceh melesakkan pelurunya tepat kearah jenderal Belanda ini.“O God. Ik Ben Getroffen (Oh Tuhan aku telah kena),” seru Mayor Jenderal J.H.R Kohler  ketika peluru seorang penembak jitu (pejuang Aceh) tersebut menembus dadanya. Kohler menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 14 April 1873 tepat di depan (gerbang kiri) Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Ia tak menyangka kematian menjemputnya secepat itu, hanya berselang beberapa hari sejak pendaratannya di Aceh.

Setelah Kohler tewas dalam pertempuran, jasadnya dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta)  melalui pantai Ceureumen, Ulee Lheue. Ia dikebumikan di daerah Tanah Abang. Karena rencana pengembangan kota oleh Pemerintah kota Jakarta membuat makamnya tergusur. Pada tanggal 19 Mei 1978, abu dan nisannya dipindahkan ke Kerkhof atas permintaan gubernur Aceh saat itu, A. Muzakir Walad. Setelah berselang 105 tahun dari waktu kematian nya, Jenderal Kohler “Sang Yahudi” pun kembali lagi ke Aceh tempat dimana kematian menjemputnya begitu cepat.


Kini kuburan Mayor Jenderal J.H.R Kohler berada di bagian depan pintu masuk  Peutjut Kerkhof  atau Permakaman Peutjut atau lebih dikenal dengan sebutan Kerkhof. Empat bintang emas menghiasi setiap sisi nisan Kohler. Pada nisan itu tertara kalimat “Herbegraven Op” (dikuburkan kembali) pada tanggal 19 Mei 1978. Lambang seekor ular menggigit ekornya sendiri terpahat dibawah nisan. Tentunya lambang ular tersebut ada makna tersembunyi, tapi menurut saya itu, jika seekor ular menggigit ekornya sendiri, itu artinya sama saja membunuh diri alias mati konyol secara cuma-cuma.


Bentuk  nisan dan makam di Kerkhof serta ukurannya bervariasi. Ada yang berbentuk ujung pena, salib batu, kubus, pilar patah, atau balok beratap. Besarnya Nisan tidak ditentukan oleh tingginya pangkat seseorang. Terkadang nisan prajurit lebih besar dari kuburan seorang perwira. Itu mungkin karena menurut kemampuan ekonomi masing-masing.

Pasukan gabungan Belanda yang dinamakan Korps Marsose juga sebagian ada di makamkan di dalam Kerkhof. Pasukan ini pada umumnya tidak semuanya berasal dari didikan asli (militer) orang Belanda maupun pasukan kiriman asli dari negeri Kincir Angin, Netherlands. Namun, ada juga yang berasal dari Eropa, Jawa, Batak, Ambon, Maluku, dan sebagainya, dan pasukan ini dilatih khusus untuk menyerang Aceh, mereka yang bersifat gerilyawan telah meniru gaya orang Aceh berperang. Khusus untuk pasukan Belanda yang berasal dari Indonesia, inilah yang saya anggap sebagai “Pengkhianat Anak Bangsa” yang dilakukan oleh Belanda dengan cara mengadu domba satu sama lain.

Terlihat dari bentuk dan tulisan nama nisan-nisan yang ada di dalam Kerkhof, rupanya ada kode-kode tersendiri. Barangkali supaya mudah di ingat berasal dari mana penghuni makam tersebut. Setiap nisan-nisan memiliki identitas tersendiri. E adalah singkatan dari Eurepeesch, yang ditujukan untuk pasukan Eropa atau Belanda, I merujuk pada kata “Inlander” yang ditujukan untuk Anak Negeri (Indonesia). F atau Fuselir adalah tanda kepangkatan. AMB menyatakan bahwa prajurit tersebut dari Ambon. M ch menandakan bahwa si prajurit  bergabung dengan korps Marechausse atau oleh lidah orang Melayu disebut Marsose.

Pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004, gempa yang berkekuatan besar serta setelah itu disusul pula gelombang Tsunami yang amat dasyat menerjang kota Banda Aceh yang memakan ribuan jiwa Rakyat Aceh. Gelombang Tsunami juga mengahantam perkuburan Kerkhof ini, sehingga air Tsunami masuk ke dalam area kompleks ini setinggi lebih kurang 1,5 meter, sebagian lagi sampah, kayu bahkan mayat pun ikut terbawa ke dalamnya. Tsunami telah membuat perkuburan Belanda ini hancur berantakan serta penuh dengan lumpur, banyak juga makan-makam tersebut hilang dibawah arus. Bencana tersebut juga telah merusak pagar yang mengelilingi pemakaman roboh dibuatnya.

Tetapi kemudian, Kerkhof di perbaiki kembali. Pagar tembok yang melingkari  area perkuburan serta pintu gerbang telah di perbaiki lagi. Entah seberapa banyak dana yang diperlukan untuk merehap kembali perkuburun ini, yang jelas tentu menelan biaya yang banyak. Pos jaga telah di persiap, para pekerja dan pengurus kuburan sudah di pekerjakan. Sekarang Kerkhof sudah nampak rapi, bunga-bunga yang tumbuh pun menghiasi area perkuburan ini serasa terlihat indah, serta pohon-pohon yang berbaris rapi terlihat bak prajurit yang sedang bersiap menunggu kehadiran sang Jenderal. Tak jarang, para pengunjung pun tampak terlihat dalam halaman perkuburan.

Bagaimana pun juga, Kerkhof itu harus dirawat dan dijaga sebagai bukti nyata perlawanan hebat Rakyat Aceh. Sekarang permasalahannya bukan mempertahankan kuburan kaphe tapi mempertahankan bukti sejarah hebat bangsa Aceh melawan penjajahan Belanda. Tak ada penjajah yang mengakui kehebatan lawannya seperti Belanda mengakui Aceh. Sejarah telah membuktikan itu “No Ducument, No History” tanpa ada dukument, bukan dikatakan sejarah.


Misteri Meurah Pupok

Masih ingatkah sebuah filosof yang berujung pada kematian Putra Mahkota Kesayangan Sultan Iskandar Muda? Meurah Pupok yang harus mengakhiri hidupnya di Ujung Pedang Ayahandanya sendiri. “...Gadoh Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Hukom Ngon Adat Pat Tamita...”? yang artinya hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang hilang hendak kemana kita mencarinya?


Dari sekian banyaknya makam-makam di Kerkhof, ada satu yang sangat berbeda di antara semuanya. Makam ini tidak sama dengan makam yang lain, terlihat dari bentuk nisannya yang bergaya Aceh kuno, makam ini bernuasa Islam, anehnya makam tersebut kenapa berada di dalam kompleks pemakaman orang kafir (Belanda) serta mempunyai tiga batu nisan? Sebuah pohon besar tumbuh meneduhi nisan-nisan tersebut dan sebuah palang penanda tertera yang tulisan: “Makam Meurah Pupok”. Adalah makam anak penguasa Kerajaan Aceh Darussalam yang pernah membawa Aceh pada masa kegemilangannya serta salah satu Sultan yang di idolakan oleh Rakyat Aceh, yakni Sultan Iskandar Muda.

Tentang Meurah Pupok, dalam sejarah Aceh jarang sekali menyinggung tentang anak putra Raja Aceh yang pernah berkuasa pada abad ke 17, begitu juga tentang bukti sejarahnya. Lantas mengapa Meurah Pupuk Sang Putra Mahkota di makamkan di Kerkhof? Tragedi Meurah Pupok sampai sekarang belum bisa dibuktikan sejarahnya secara pasti hingga terus menjadi misteri yang berkelanjutan.

Menurut sejarah yang saya ketahui, Sang Putra Mahkota Meurah Pupok yang digelari Sultan Muda atau Poteu Cut yang berarti Anak kesayangan telah melakukan tindakan tidak patut atau kesalahan yang fatal (antara dijebak atau disengaja) sehingga membuat sultan Iskandar Muda begitu marah dan menghukum mati anak kesayangannya tersebut.

Kesalahan yang dilakukan oleh Meurah Pupok adalah telah melakukan tindakan asusila dengan menodai seorang istri perwira angkatan Perang Aceh, Syahdan. Adalah orang yang paling dikenal serta orang kepercayaan Sang Sultan. Setelah mengetahui peristiwa itu, Perwira tersebut langsung membunuh istrinya. Namun, untuk Putra Mahkota ia serahkan sepenuhnya kepada Sang Sultan. Ia menuntut keadilan kepada Sultan atas tindakan anaknya. Selepas ia mengadukan hal tersebut kepada Sultan, maka Perwira tersebut langsung mencabut rencongnya dan menikam ke hulu hatinya dan langsung tewas saat itu juga.


Segera Sultan berteriak dengan keras disaksikan orang-orang penting Kerajaan dan para pengawalnya. “Aku adalah Sultan Penguasa Aceh, Sumatera dan Malaka. Aku telah memerintah Aceh dan taklukannya dengan menegakan hukum yang seadil-adilnya. Aku pun akan menegakan hukum terhadap keluargaku sendiri. Aku pun akan menerapkan hukum kepada Putra Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan tanganku sendiri akan kupenggal leher putraku karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini.”

Semua pembesar kerajaan tercenung. Sultan segera memerintahkan penangkapan Putra Mahkota Meurah Pupok yang bergelar Poteu Cut atau Sultan Muda. Pengadilan segera dilakukan dan Sultan Iskandar Muda telah memutuskan bahwa ia sendirilah yang akan memancung putra kesayangannya itu. Mendung menggelayut diatas Kerajaan Aceh, prahara telah menghantam negeri perkasa ini.

Beberapa pembesar kerajaan yang peduli terhadap kejadian yang menimpa atas nama kerajaan bersepakat untuk menghadap Sultan Iskandar Muda agar membatalkan hukuman pancung tersebut. Mereka mengajukan berbagai usul seperti pengampunan atau cukup dengan mengasingkan Putra Mahkota ke negeri lain. Termasuk mencari kambing hitam, mencari seorang pemuda lain untuk menjadi pesakitan menggantikan Putra Mahkota.

Semua usul tersebut ditolak oleh Sultan dan dengan berang Sultan berkata “Akulah yang menegakan hukum di negeri ini dan kepada siapapun yang bersalah tidak terkecuali terhadap keluargaku sendiri harus dihukum. Kerajaan ini kuat karena hukum yang ditegakan dan adanya keadilan.” Semua pembesar kerajaan terdiam tak kuasa membantah titah Raja Perkasa yang adil ini. Mereka mulai membayangkan bagaimana masa depan negeri ini.

Pada hari yang ditentukan dilaksanakanlah hukuman pancung tersebut yang langsung dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap Putra Mahkota kesayangannya. Dibawah linangan air mata masyarakat yang mencintai Sultan dan Putra Mahkotanya disaksikan pembesar kerajaan yang berwajah sedih dan tertunduk tak mampu menatap kejadian tersebut, Sultan Iskandar Muda dengan tegar melaksanakan hukuman pancung terhadap Putra Mahkota kesayangannya itu. Langit kerajaan Aceh menjadi mendung kelabu.


Atas keputusan Sultan Iskandar Muda pula jenazah Meurah Pupok tidak diperbolehkan untuk dimakamkan dikompleks pemakaman kerajaan. Pemakaman kerajaan disebut dengan Kandang Mas yang berada dilingkungan Istana Darul Donya (sekarang pendopo Gubernur Aceh). Jenazahnya hanya dimakamkan disuatu kompleks di luar area Istana yaitu seperti yang kita ketahui sekarang berada di dalam kompleks Peutjut Kerkhof.

Banyak isu-isu yang beredar tentang kematian putra kesayangan Sultan Iskandar Muda tersebut. Ada yang mengatakan saat itu ia dihukum karena mengganggu istri orang lain. Ada juga yang menyebut ia berzina dengan wanita Belanda. Bahkan ada yang mengatakan ia hanya korban fitnah belaka. Kebenaran sejarahnya tidak diketahui hingga saat kini.

Menurut hipotesa saya, penyebab kematian Meurah Pupuk itu karena dia telah di fitnah. Ingat, Setelah tragedi tersebut, Sultan dirundung kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang terus menerus ini membuat Sultan jatuh sakit. Sakitnya berlangsung terus dan semakin parah. Sultan Iskandar Muda meninggal berselang beberapa pekan (minggu) setelah menghukum pancung anaknya. Bisa jadi kematian Sultan karena shock akibat mengetahui penyebab kematian anaknya yang direkayasa. Yang namanya bangku atau tampuk kekuasaan itu pasti banyak yang dipermainkan. Dugaannya adalah bahwa hukuman mati atas Meurah Pupok tak lepas dari intrik dalam istana, yakni salah satu gerakan dari Putroe Phang demi tujuan tertentu.

Ingat juga, setelah Sultan Iskandar Muda mangkat, penggantinya bukan keturunan langsung dari Sultan Iskandar Muda maupun anak-anak yang telah dilahirkan dari istri-istrinya, melainkan pengganti Sultan Iskandar Muda raja Kerajaan Aceh Darusslam adalah Sultan Iskandar Tsani, dari negeri Semenanjung Melayu yang nota bene merupakan menantu Sultan Iskandar Muda sekaligus suami Ratu Safiatuddin, yang juga keponakan dari Putroe Phang. Bisa dibilang Putroe Phang itu gerak-geriknya lebih berbahaya dari pada istri Sultan lainnya. Jadi, singkat kata, Putroe Phang lah dibalik semua penyebab tragedi yang meninpa kematian Putra Mahkota Meurah Pupok anak kesayangan Sultan.

Meurah Pupok bukan anak dari hasil perkawinan Sultan dengan Putroe Phang, melaikan anak dari istri Sultan Iskandar Muda lainnya. Sepengetahuan saya, perkawinan antara Sultan Iskandr Muda dengan Putroe Phang tidak menghasilkan anak atau keturunan. Menurut sebuah riwayat Sultan Iskandar Muda memiliki dua anak, yang pertama adalah Meurah Pupok yang berasal dari istrinya seorang Putri Gayo. Yang kedua adalah wanita yang kelak menjadi Ratu Kerajaan Aceh Darusslam yang bernama Safiatuddin yang berasaal dari istrinya Putri Pedir atau Pidie. Meurah Pupok lah menjadi harapan Sultan Iskandar Muda untuk menggantikan kedudukan sang ayah, namun takdir berbicara lain.


Demi menegakkan hukum, Sultan Iskandar Muda rela menghukum mati anak kesayangannya sendiri yang notabene merupakan satu-satunya anak laki-laki keturunan langsung dari Sultan Iskandar Muda sekaligus penerus tahta Kerajaan Aceh Darussalam. Meskipun kemudian diketahui kesalahan anaknya tersebut akibat suatu konspirasi yang memang sengaja menjebaknya. Namun Sejarah telah memberikan pelajaran yang luar biasa buat kita, hukum memang harus ditegakan, bukan seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, hukum di Indonesia lumpuh alias cacat mati ibarat seperti “tajam dibawah tumpul diatas” rakyat di libas, penguasa di lindungi dengan hukum dan uang,  namun kekuasaan itu pun syarat dengan intrik dan penuh tipu daya. Kisah Meurah Pupok memberikan hikmah yang mendalam dan luar biasa terutama bagi Aceh dan Indonesia khususnya di masa yang akan datang.

Pemakaman di Kerkhof tidak saja bukti nyata kepahlawanan Rakyat Aceh melawan penjajah, bukan saja bukti nyata kedasyatan perang Belanda di Aceh, bukan pula bukti nyata Aceh perangi Yahudi tetapi juga merupakan bukti nyata keadilan Sultan Iskandar Muda dalam menegakkan hukum seadil-adilnya tanpa memandang siapa pun dimasa pemerintahannya.


Banyak hal menarik dapat Anda temui di kompleks pemakaman ini. Seperti kisah para prajurit semasa hidupnya sampai pada saat dikubur. Semuanya diceritakan hanya sekilas pada batu nisan sehingga makam ini seolah-olah sedang bercerita kepada Anda tentang masa hidupnya. Selain makam Meurah Pupok, Kohler, masih terdapat banyak lagi makam-makam Jenderal Belanda dan orang terkenal lainnya di pemakaman Kerkhof ini, seperti Warga setempat yang beragama Kristen juga ada yang dikuburkan di situ. Di sini kita juga akan menemukan makam orang-orang Tionghoa. Jika ada waktu, ada baiknya anda sesekali berlibur ke Kerkhof untuk menikmati ratusan simbol yang ada di dalam sana.


Penulis: Mahasiswa Fkip Sejarah Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Iike this yoo. Aduen 😄😘

    BalasHapus
  3. Iike this yoo. Aduen 😄😘

    BalasHapus