Adakah di
Nusantara ini selain Aceh yang mendapat julukan Serambi Mekkah? Atau apakah ada
daerah lain yang tidak pernah dijajahdan dijamah oleh Bangsa Asing selain Aceh? Ketika
seluruh wilayah Nusantara hampir dikuasai kembali oleh Belanda, namun Aceh
tidak pernah takluk atau dijajah oleh bangsa Asing, bahkan ketika perang
Belanda di Aceh telah berakhir, sesudah
tahun 1945 pemerintah Belanda tidak pernah kembali lagi ke Aceh, pada ketika
aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki
tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya
dari Indonesia (Aceh) inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi
kenyataan. Dan dalam hal ini, Aceh kemudian berhasil keluar dan berperan
sebagai “Daerah Modal” bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan dan memperjuangan
kemerdekaan.
Namun pada kenyataannya, apa yang telah diberikan oleh Aceh terhadap Indonesia baik berupa sumbang kasih Aceh dimasa lampau, bagaikan tak ada artinya bagi Indonesia ini yang baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Jangankan mengakui kedaulatan Aceh, memberikan hak menyusun rumah tangga sendiri pun sesuai syariat Islam tak kunjung diberikan untuk Aceh. Janji-janji yang pernah diucapkan oleh Indonesia terhadap Aceh, hanyalah buah bibir manis dari presiden-presiden RI yang sangat peka terhadap Aceh dan bahkan semua janji tersebut hingga sat ini belum juga terwujud. Perjalanan waktu juga yang menenggelamkan kesatuan ini dalam palung yang terdalam.
Satu hal
yang membuat Tanah Rencong berguncang terhadap kelakuan Jakarta atas Aceh
adalah ketika Jakarta dengan kontan mengatakan bahwa Aceh sebagai “Daerah Pemberontakan”.
Bagi mereka yang menyebut Aceh sebagai Pemberontak adalah mereka yang tidak
melihat dari sisi History bangsa ini.
Teringat ada sebuah pertanyaan “Kenapa harus Indonesia dan mengapa Aceh tidak
boleh?” Pertanyaan itu sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa
dan menikmati kekuasaannya di ibukota Jakarta. Dalam benak mereka NKRI itu
dijadikan harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka.
“Udep
Sare Matee Syahid.” Itulah slogan yang pernah hidup dalam sanubari pada tubuh Rakyat
Aceh. Sejarah perlawanan terhadap berbagai bentuk penjajahan di daerah yang
mendapat julukan “Serambi Makkah” itu adalah sekeping dari cerita perjalanan
anak bangsa muslim yang bernama Aceh. Islam yang menggelora di dada tercermin
dari sikap patriotik yang mereka tampilkan. Dalam sejarahnya, Aceh dan Islam
bagaikan Dwitunggal yang tidak bisa dipisahkan. Sejarah Aceh adalah Islam, dan
Islam pun selalu mewarnai sejarah Aceh. Maka dari itu bukan hal yang aneh, jika
Aceh inilah daerah yang pertama kali disinari cahaya Islam di Nusantara yang
dibawah oleh para pedagang, sebut saja Arab Saudi, Persia, Kaum Gujarat, China,
India dan sebagainya.
Perlawanan
demi perlawanan senantiasa ditampakkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu
hidup mulia atau mati syahid. Dalam sejarah perjalanan bangsa, Aceh menjadi
kawasan dalam lingkungan besar Nusantara yang mampu memelihara identitas. Aceh
juga memiliki sejarah kepribadian kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi,
lebih kuat, serta paling sedikit “ter-Belanda-kan” daripada daerah-daerah lain
di Nusantara. Dan itulah sebabnya, mengapa orang Belanda sekelas Van de Vier
menyebutkan bahwa “orang Aceh dapat dibunuh, tetapi tak dapat ditaklukkan”.
Kilas balik perlawanan
Rakyat Aceh dapat ditelusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, Belanda, Inggris maupun Perancis. Sejarah mencatat bahwa
perang Belanda di Aceh yang meletus pada tahun1873-1942 telah memaksa Aceh
melakukan perlawanan sengit. Bahkan mendongkrak semangat kaum wanitanya untuk
tampil ke garda terdepan. Dengan perkasa membela kehormatan sekaligus
menggencarkan penyerangan terhadap musuh yang datang pada saat bersamaan.
Semangat juang tersebut lahir dari sebuah keyakinan bahwa semua itu pilihan Perang
Fisabilillah. Berperang demi kehormatan bangsa dan agama Islam. Menampik setiap
tawaran kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika
berhadapan dengan para penjajah.
Babak baru sejarah Aceh
dimulai sejak Islam singgah di bumi ujung Barat Sumatera. Saat itu dikenal
adanya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Islam Peureulak (840 M/225 H),
Kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166 M), Kerajaan Tamiang, Pedir dan
Meureuhom Daya. Kemudian, oleh Sultan Alauddin Johansyah Berdaulat (601 H/1205
M) Aceh disatukan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh
Darussalam yang bergelar Kutaraja.
Kerajaan Aceh
Darussalam inilah yang memperluas penaklukannya ke negeri-negeri Melayu sampai
ke Semenanjung Malaka yang pada abad kelima, Aceh menjadi Kerajaan Islam
terbesar di Nusantara dan kelima terbesar di dunia. Sang penakluk itu bernama
Sultan Alauddin al Kahhar dan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta
Alam yang pernah membawa Aceh Darussalam pada masa kegemelingannya dan menjadi
kerajaan yang disegani. Penaklukan yang dilakukan oleh Aceh
bukan untuk menjajah bangsa lain, tetapi untuk melindungi mereka dari
penjajahan Portugis, Inggris, Belanda dan beberapa Negara Eropa lainnya
yang sedang mengincar penguasaan di Selat Malaka.
Pada masa jayanya, Aceh
sudah menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan negara-negara tetangga,
Timur Tengah dan Eropa. Antara lain dengan Kerajaan Demak, Kerajaan Pattani,
Kerajaan Brunei Darussalam, Turki Utsmani, Inggris, Belanda dan Amerika Serikat.
Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hukum sendiri, yakni “Kanun Meukuta Alam”
yang berdasarkan Syariah Islam. Dengan hukum tersebut rakyat yang bernaung
dalam Kerajaan Aceh Darussalam mendapat keadilan hukum. Karena itulah, banyak
wilayah penaklukan yang merasa senang bergabung dengan Aceh. Seandainya tidak
ada hasutan dari pihak kolonial, boleh jadi daerah taklukan tidak melepaskan
diri dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sudah ditaklukkan kolonial Barat, Aceh
masih berdaulat sampai akhir abad ke-18. Bangsa kolonial, baik Portugis,
Inggris, maupun Belanda bukannya tidak berambisi menaklukkan Aceh, akan tetapi
mereka gentar terhadap keunggulan Angkatan Laut Aceh yang menguasai perairan
Selat Malaka dan Lautan Hindia. Saat itu Angkatan Laut Aceh yang terbesar dimilikinya
yaitu Armada Cakra Donya yang tangguh berkat bantuan senjata dan kapal perang
dari Turki Utsmani. Salah satu yang terkenal itu adalah Laksamana Malahayati.
Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, Pocut Baren dan sebagianya merupakan deretan nama yang menjadi simbol perjuangan kaum perempuan di Aceh. Mereka bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai pendidik, ulama, berjihat, berperang, dan berjuang di medan pertempuran. Mereka tak rela harus menjadi budak Bangsa Asing. Semangat pantang mundur mereka sungguh luar biasa, berkobar dan bergerilya diantara peluru menentang setiap penjajahan diatas Tanah Rencong. Mereka terdiri dari kalangan muda, tua maupun janda juga terlibat dalam kancah perjuangan. Begitupun mereka berusaha sekuat mungkin agar perjuangan tidak menghilangkan kodrat kewanitaan. Sebagai wanita yang harus mengandung dan melahirkan tetap dijalani dalam sebuah peperangan. Terkadang harus melaluinya dalam kondisi antara dua peperangan. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya. Dengan tangan yang kecil mungil lincah memainkan pedang, kelewang dan rencong menjadi senjata dahsyat di hadapan lawan, di samping terus menimang bayinya seraya bersenandung semangat perjuangan. Memompakan semangat jihad dengan syair yang indah dan masih dinyanyikan hingga saat ini:
Allah hai do
do daidi
Boh gadông
bi boh kayee uteun
Rayeuk si
nyak hana pue ma bri
Ayèeb ngon
keuji ureung dônya kheun
Allah hai do
do daida
Seulayang
blang kaputoh talo
Beurinjang
rayeuk muda seudang
Tajak bantu
prang tabela nanggroe
Wahèe aneuk bek taduek lee
Beudoh saree
tabela bangsa
Bek ta takot
keudarah ilèe
Adak pih
matee poma ka rela
Jak lon tak
teh
Meujak lôn
tak teh
Beudoh hai aneuk
tajak u Aceh
Meubèe bak
ôn
Ka meubee
timphan
Meubee badan
Bak sinyak
Aceh
Alla hai po
ilahonha
Gampông
jarak hantrok lon wo
Adakna bulèe
ulôn tereubang
Mangat
rijang troh u nanggroe
Allah hai jak lôn timang preuk
Sayang
riyeuk disipreuk pante
Ôh rayeuk
sinyak yang puteh meupreuk
Toh sinaleuk
gata boh hatèe
mantaap...
BalasHapus