Istri Nabi
Ibrahim AS yang bernama sarah tak dapat menyembunyikan rasa cemburunya saat
melihat Hajar, yang menjadi istri kedua Nabi Ibrahim, melahirkan anak lelaki
yang bernama Ismail. Nabi Ibrahim amat memahami perasaan sang istri. Karena
itu, ia yang saat itu bermukim di Syam, berniat hendak menjauhkan putranya
bersama Hajar dari Sarah. Ia pun membawa keduanya pergi hingga tiba di sebuah
tempat yang dikehendaki Allah kelak menjadi tempat tinggal anak-anak cucu
Ismail, yaitu sebuah lembah gersang di tengah Mekah.
Setiba di tempat itu, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar
bersama putranya, Ismail, dengan menunggang untanya berjalan pulang ke Syam.
Sambil menggendong putranya, Hajar berjalan
tergopoh-gopoh mengikuti suaminya dari belakang unta seraya berkata,”Kepada
siapa engkau meninggalkanku bersama anakku ini?”
Ibrahim menjawab singkat,”Kepada Allah Azza Wa Jalla.”
Jawaban itu bukan sama sekali karena ia ingin berlepas
diri dari tanggung jawab seorang kepala keluarga, melainkan karena ia
sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi kelak, atas kehendak Allah Swt.
Sejak saat itu Ismail tinggal di kota Mekah, hingga
menurunkan banyak keturunan. Diantara keturunannya, terdapat kaum yang dikenal
sebagai”Adnaniyyun” atau keturunan Adnan. Karena berbagai kelebihan yang mereka
miliki, kaum ini memiliki posisi istimewa di tengah-tengah penduduk Mekah kala
itu.
Siapa Menanam Keburukan...
Putra-putra Adnan tetunya menjadi generasi pertama
kaum “Adnaniyyun”. Diantara mereka ada yang bernama Ma’ad. Isyarat akan
keberadaan nur agung pada dirinya terlihat dari namanya, Ma’ad, yang berasal
dari a’addahu, maksudnya ia dijadikan sebagai persiapan untuk suatu
masa.
Ma’ad dikenal sebagai salah seorang yang memerangi
Bani Israil. Disebutkan bila ia berperang, tidaklah ia pulang kecuali dengan
kemenangan, dan itu disebabkan keberkahan nur Muhammad yang ada di dahinya.
Saat mengutus Bukhtanashashar kepada bangsa Arab,
Allah perintahkan Nabi Armiya AS untuk membawa Ma’ad di atas kendaraannya, agar
Ma’ad tidak terkena kesengsaraan dan kebinasaan. Dikatakan kepadanya,”Sungguh
akan Ku-keluarkan dari sulbinya, seorang nabi mulia yang Ku-jadikan penutup
para Nabi.”
Nabi Armiya pun mengerjakan apa yang diperintahkan
kepadanya itu.
Saat istri Ma’ad tengah bersalin, Ma’ad melihat nur
Muhammad berkilauan diantara kedua mata si bayi. Betapa bergembiranya ia.
Kemudian ia menyalakan dupa dan memberikan makanan. Ia mengatakan,”Sesungguhnya
semua ini adalah nuzr (sedikit) untuk hak dari kelahiran ini.”
Si bayi, yang nama sebenarnya adalah Khalid, kemudian
dipanggil dengan sebutan Nizar, yang berasal dari kata nazr atau nuzr.
Saat Nizar beranjak dewasa dan mengetahui bahwa di
dalam dirinya bersemayam nur Muhammad, ia pun sangat berbahagia, hingga ia
menyembelih hewan qurban dalam jumlah yang sangat banyak pada masa itu untuk
dibagi-bagikan.
Seperti ayahnya dan kakeknya, kehidupannya dan
putra-putra Ma’ad lainnya ada pada zaman Nabi Musa As. Sebagaimana diceritakan
Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh At Thabrani dari
Abu Umamah Al Bahili. Saat itu, Rasulullah Saw bercerita, tatkala ada
perselisihan antara putra Ma’ad bin Adnan yang berjumlah hingga 40 orang dengan
Nabi Musa As saat bersama pasukannya, Nabi Musa As hendak menyumpahi mereka.
Maka kemudian turunlah wahyu dari Allah Swt,”Jangan kau sumpahi mereka, karena
dari mereka itu kelak akan terlahir seorang nabi yang ummi dan pembawa kabar
gembira, dan diantara mereka akan keluar umat yang dirahmati, yaitu umat
Muhammad Saw…” Saat wafat, ia dimakamkan di suatu daerah bernama Dzat Al-Jaysy,
dekat kota Madinah.
Sebelum wafat, ia mewasiatkan penjagaan kemuliaan nur
Muhammad kepada salah seorang putranya, Umar. Umar digelari “Mudhar” karena ia
menyukai minum al madhir atau susu asam (Yoghurt). Versi lain mengatakan,
ia dinamai Mudhar karena yamdharul qulub maknanya “banyak hati cenderung
kepadanya”. Kecenderungan itu karena kecakapan dan ketampanannya, sebab,
disebutkan tidaklah seseorang melihatnya kecuali hatinya terpikat kepadanya.
Keberadaan nur Muhammad berbekas jelas dalam
kepribadian Mudhar, hingga ia dikenal sebagai seseorang yang memiliki firasat
dan ucapan penuh hikmah. Diantara ucapannya,”Orang yang menanam suatu keburukan
akan menuai penyesalan.”
Sejumlah hadits menyebutkan namanya, seperti yang dikeluarkan
oleh Ibn Sa’ad di dalam At Thabaqatt, bahwasannya Rasulullah Saw
mengatakan,”Janganlah kalian mencela Mudhar, karena ia telah berserah diri (di
jalan Allah).” Sementara dalam sebuah hadits yang dikeluarkan As Suhaili,”
Janganlah kalian mencela Mudhar dan Rabiah (saudara laki-laki Mudhar), karena
kedua-duanya adalah orang-orang yang beriman.”
Jangan Kalian Memusuhinya
Menjelang usia senja, Mudhar masih saja belum
mendapatkan anak, sehingga ia merasa putus asa. Namun, diakhir usianya, Allah
menganugerahinya seorang putra, hingga ia memberikan gelar pada anaknya dengan
sebutan Ilyas, atau Al-Ya’s, yang semakna dengan kata al qunuth, “putus
asa”. Adapun nama sebenarnya adalah Husain atau Habib.
Sebagaimana orang-orang tuanya, postur badannya juga
tinggi besar. Dikenal sebagai seorang ahli hikmah (memiliki kebijaksanaan), ia
dihormati layaknya kedudukan Luqmanul Hakim ditengah-tengah kaumnya. Ia juga
dijuluki Sayyidul ‘Asyirah, atau penghulu dari keluarga besar
masyarakat, gelar tersebut tidak diberikan kaumnya saat itu melainkan
kepadanya.
Keberadaan nur Muhammad dalam dirinya amat terang,
sebagaimana dikabarkan pada hadits mutawatir, bahwa dari sulbinya terdengar
suara dzikir dan ucapan talbiyah Rasulullah Saw sebagaimana talbiyah orang yang
sedang naik haji.
Diriwayatkan, dialah orang yang pertama kali wafat
karena penyakit TBC. Istrinya sangat bersedih atas wafatnya, hingga sang istri
bernadzar tidak mau tinggal di kota tempat Ilyas wafat, tidak mau tinggal di
rumah atau berteduh di bawah atap. Ia menangisinya sepanjang siang dan malam,
sampai air matanya mengalir di tanah, dan kemudian wafat dalam kesedihan.
Mudrikah adalah salah seorang putra yang ditinggalkan
oleh Ilyas. Nama sebenarnya ‘Amr. Ia digelari Mudrikah karena adraka kulla
fakhrin wa izzin fi aba’ihi, mendapatkan semua kemuliaan datuk-datuknya.
Disebutkan pula bahwasannya nurul musthafa Saw zhahiran wa bayyinan fi
jabinihi, nur Nabi Muhammad Saw tampak dan jelas di dahinya.
Kemuliaan sifat-sifat Mudrikah, berikut cahaya yang
berada di sulbinya, menurun kepada putranya yang bernama Khuzaimah. Salah satu
pendapat mengatakan bahwa sebab penamaan “Khuzaimah”, ialah liannahu
khuzaima, adalah karena nur datuk-datuknya dan nur Muhammad berkumpul dalam
dirinya. Seorang penyair mengatakan,”Adapun Khuzaimah memiliki banyak kemuliaan
akhlak yang terdapat padanya dan tidak ada pertentangan tentang hal itu.”
Mengenai seorang putra Khuzaimah, disebutkan
bahwasannya annahu fi kinni bayna qawmihi aw li annah kana yukinnu asrarahum,
Ia berada dalam penjagaan diantara kaumnya atau karena ia menjaga rahasia
kaumnya. Karenanya ia dinamakan “Kinanah”. Kinanah dikenal sebagai seorang
pemimpin yang baik dengan kedudukan yang agung. Orang-orang Arab mendatanginya
karena ilmu dan keutamaannya. Kalau hendak makan, ia selalu mencari kawan untuk
makan bersama, tidak mau makan sendiri.
Isyarat akan kedatangan Nabi Muhammad Saw pernah
dilontarkannya yaitu saat ia mengatakan,”Sungguh akan datang seorang nabi yang
mulia dari kota Mekah yang dipanggil Ahmad. Ia menyeru kepada Allah, kebaikan,
dan akhlak yang mulia. Ikutilah, niscaya akan bertambah kemuliaan kalian.
Jangan kalian memusuhinya, karena sesungguhnya ia membawa kebenaran.”
Aku Dilahirkan Dari...
Diantara istri Khuzaimah (ayah Kinanah), ada yang
bernama Barrah binti Udd bin Thabikhah. Setelah Khuzaimah wafat, sebagaimana
kebiasaan pada zaman jahiliyah, istrinya itu dinikahi oleh putra tertuanya,
yaitu Kinanah. Ada yang mengatakan bahwa An Nadhr terlahir dari pasangan
Kinanah dan Barrah binti Udd, janda ayah Kinanah sendiri. Pendapat tersebut
adalah pendapat yang keliru.
Abu Utsman Al Jahizh mengatakan,”Kinanah menikahi
istri ayahnya itu, tapi kemudian istrinya itu wafat tanpa meninggalkan seorang
anak laki atau perempuan baginya, maka kemudian ia menikahi keponakan istrinya
yang telah wafat itu yang bernama Barrah binti Murr bin Udd bin Tabikhah, maka
kemudian lahirlah An Nadhr. Maka kebanyakan orang rancu dengan hal ini
dikarenakan kesamaan nama kedua istrinya itu dan nasab keduanya yang dekat
membuat susunan namanya pun hampir mirip.”
Ia menambahkan,”Inilah kenyataan yang dipegang oleh
para ahli ilmu dan ahli nasab, dan kita berlindung kepada Allah atas (pandangan
yang menganggap adanya) cacat pada nasab Rasulullah Saw.’Aku dilahirkan dari
orang tuaku senantiasa dari pernikahan seperti halnya pernikahan Islam’.”
Nama sebenarnya adalah Qays, An Nadhr adalah gelarnya,
karena keelokan dan ketampanan wajahnya.
Hingga kemudian silsilah suci itu berlanjut kepada
salah seorang putra An Nadhr yang bernama Malik. Nama itu diberikan karena
suatu saat kelak ia akan menjadi seorang pemimpin. Memang keadaan sebenarnya
membuktikan itu. Setelah dewasa, ia menjadi pemimpin bangsa Arab di Zamannya.
Sedikit Yang Ada Di Tanganmu...
Setelah An Nadhr, tersebutlah nama salah seorang
putranya yang tersohor, yaitu Fihr. Ia juga dinamakan Quraisy, liannahu yaqrusy,
maknanya ‘ia meneliti hajat orang yang memiliki hajat, kemudian ia menutupi
hajat orang tersebut’. Sehingga menjadi kebiasaan bagi keturunannya yang
memiliki kebiasaan seperti itu, hingga seorang Quraisy dikenali orang baik
karena nasabnya maupun karena sifat terpujinya itu.
Berdasarkan pendapat yang paling tepat, Fihr adalah
leluhur suku Quraisy. Karena suku itu sendiri mengambil nama suku dari namanya.
Yang lainnya mengatakan bahwa leluhur Quraisy adalah An Nadhr bin Kinanah, atau
Ilyas bin Mudhar, atau Mudhar bin Nizar.
Kelanjutan penjagaan nur Muhammad dari sulbinya
diteruskan kepada sulbi sang putra yang bernama Ghalib. Diantara ucapan Fihr
kepada anaknya itu,”Sedikit yang ada di tanganmu itu lebih mencukupimu,
daripada banyak tapi mencoreng wajahmu, sekalipun itu menjadi milikmu.” Ia
menamakan putranya dengan Ghalib, bi an yashira ghaliban ‘alaa a’da-ihi,
karena ia akan menjadi orang yang menang terhadap musuh-musuhnya.
Dari Ghalib, nur nan suci itu berpindah kepada
putranya yang bernama Lu’ay. Kata Lu’ay, semakna dengan al anah,
perlahan-lahan. Dinamakan ia dengan itu, li annahu kana ‘indahu ta’annin fil
umur, karena ia perlahan-lahan pada setiap urusannya.
Segera Datang Pagi Yang Terang...
Lu’ay memiliki putra yang ia namakan Ka’ab, lantaran
memandang ketinggian dan kemuliaannya di tengah-tengah kaumnya, karena kullu
syai’in ‘ala fahuwa ka’bun setiap sesuatu yang tinggi itu disebut ka’ab.
Sebagaimana juga Bait Al Haram disebut Al Ka’bah.
Dialah yang pertama kali menyebutkan nama hari Jumat,
hari yang dulunya disebut sebagai hari’Arubah, karena di hari itu kaum
Quraisy berkumpul. Saat itu ia mengingatkan mereka akan kebangkitan Nabi Saw,
memberi tahu mereka bahwa nabi itu dari keturunannya, dan menyerukan kepada
mereka agar mengikutinya. Berdasarkan penuturan
Abdurrahman Bin Auf, seperti dikemukakan Ibnul Jauzi dalam Al Qafa bi
Ahwalil Mushthafa, Disebutkan bahwa Ka’ab bin Lu’ay mengumpulkan kaumnya di
suatu tempat. Diantara yang dikatakannya adalah,”…Malam kelam perlahan-lahan
mulai hilang dan akan segera datang pagi yang terang, dan terang
benderang…Hendaklah kalian menghias rumah suci kalian (Ka’bah) dan muliakanlah
selalu. Kalian pun hendaknya tetap berpegang pada kesucian Ka’bah. Kelak akan
datang berita besar bahwa dari tempat suci itu akan keluar seorang nabi yang
amat mulia….”
Dia mengatakan,”Demi Allah, bila aku ada pada saat itu
(saat keberadaan Nabi Muhammad) dalam keadaan penuh kesadaran, aku akan
putuskan dengan mantap, dan kuikat seperti halnya kuikat sebuah unta.”
Ia menegaskan kembali hal itu seakan ia telah
mengetahui bahwa nanti, disaat kemunculan Nabi, kaum kerabatnya sendiri banyak
yang mengingkarinya. “Duhai, seandainya aku dapat menyaksikan dakwahnya (Nabi),
ketika kaum kerabatnya sendiri pada awalnya mengharapkan datangnya kebenaran
tapi kemudian menjadi hina (karena mereka mengingkarinya).”
Imam Al Mawardi mengatakan,”Inilah yang disebutkan
sebagai dari fitrah-fitrah dari ilham, yang ditampakkan akal lalu terbukti akan
kebenarannya, dan digambarkan oleh jiwa lalu terwujud.” Itu terjadi sekalipun
jarak wafatnya ia dengan hijrahnya Nabi Saw adalah 232 tahun dalam hitungan
tahun masehi. Disebutkan, ia termasuk orang yang paling jelas keberadaan nur
Muhammad pada dirinya.
Orang Yang Memuliakan Orang Hina...
Ka’ab meneruskan kepemimpinannya pada seorang putranya
yang ia namakan “Murrah”. Ia dinamakan itu, liannahu yashiru murran ‘alal
a’da’I, karena putranya ini akan berjalan melewati atau melangkahi
musuh-musuhnya, maksudnya ia selalu dapat mengalahkan dan menundukkan musuhnya.
Begitupun putra Murrah yang dikenal bernama Kilab. Sebabnya adalah limukalabatihil
a’daa’a fil harbi, karena ia selalu mengalahkan musuh dalam peperangan.
Sedangkan nama sebenarnya adalah Hakim atau ’Urwah atau Al Muhadzdzab.
Ia memiliki dua putra, Qushay dan Zuhrah. Qushay
melanjutkan trah silsilah pewarisan bersemayamnya nur Muhammad, hingga kelak
sampai pada ayah Nabi Muhammad Saw, Abdullah. Sedangkan Zuhrah , menurunkan
kabilah yang cukup disegani di masa itu, Bani Zuhrah. Diantara orang yang
terlahir dari keluarga Bani Zuhrah adalah ibunda Nabi Muhammad Saw, Siti
Aminah. Karenanya pada diri Kilab inilah bertemunya nasab kedua orang tua Nabi
Muhammad Saw.
Mengenai Qushay putra Kilab, Abdul Muthalib, kakek
Nabi, pernah memujinya dengan sebuah qasidah,”Datuk kalian Qushay dipanggil
Mujammi’ (orang yang mengumpulkan), dengannya Allah mengumpulkan seluruh
kabilah dari Fihr (kaum Quraisy).” Ia dijuluki Al Mujammi, karena mengumpulkan
seluruh kabilah Quraisy setelah mereka mulai terpecah belah menjadi 12 kabilah.
Sebagaimana datuknya dulu, Ka’ab bin Lu’ay, ia juga mengumpulkan mereka untuk
mengingatkan akan dibangkitkannya seorang nabi yang mulia di tanah haram.
Sejarah mencatat, Qushay memainkan peranan besar dalam
sejarah Mekah saat ia menciptakan berbagai ketentuan penting mengenai
peziarahan ke Ka’bah tiap tahun. Dalam syariat Islam, ritus ziarah itu kemudian
dikenal sebagai ibadah haji, setelah diadakan berbagai perubahan sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Diantara yang pernah diucapkannya,”Orang yang memuliakan
orang yang hina, maka ia akan berserikat dengan kehinaanya.”
Para sejarawan mencatat nama Abdu Manaf sebagai putra
Qushay yang termulia, termashur, dan terkuat. Nama sebenarnya adalah Al
Mughirah, biannahu yughiru ‘alal a’da, karena ia membuat segan
musuh-musuhnya. Ia ditaati oleh suku Quraisy. Karena keelokkannya, ia juga
dijuluki Qamarul Bathha, bulan yang indah. Diriwayatkan, nur Muhammad
memancar jelas dari wajahnya. Ia dikenal juga sebagai pemegang panji bendera
Nizar dan tombak Ismail As.
Ia digelari “Abdu Manaf” pada awalnya karena sewaktu
kecilnya ibunya menjadikan ia sebagai pelayan berhala bernama Manat, hingga ia
dikatakan “Abdu Manat”. Ayahnya melihat tanda-tanda kemuliaan memancar pada
dirinya, dan kemudian menggantinya dengan “Abdu Manaf”. Adapun apa yang
diperbuat ibunya terhadap dirinya tidak mengurangi kemuliaan dirinya, karena
disebutkan bahwa hal itu dikarenakan ia menjaga berhala itu karena mahalnya
harga berhala itu, dan tidak terjadi peribadatan atau I’tiqad ketuhanan
terhadap berhala itu. Dan saat itu adalah masa fatrah, masa kekosongan,
para rasul sebelumnya sudah wafat, sedang rasul berikutnya belum ada.
Mengenai keyakinan yang ada pada dirinya, diantaranya
tergambarkan dari beberapa batu di zaman dahulu yang menuliskan perkataannya,”Aku
Al Mughirah putra Qushay, kuwasiatkan kaum Quraisy untuk bertakwa kepada Allah
dan menyambung silaturahim.”
Dikatakan tentang dirinya,”Sesungguhnya kaum Quraisy
itu memiliki keturunan, maka meneteslah inti kemuliannya kepada Abdu Manaf.” Ia
wafat di kota Mekah, ada pula yang mengatakannya di kota Ghazzah.
Tidaklah Aku Menikah Kecuali...
Seorang putra Abdu Manaf, Hasyim, telah menampakkan
jiwa kepemimpinannya sejak kecil. Bahkan dikatakan, ia telah memimpin kaumnya
sejak masih kecil. Ia bernama Amr Al ‘Ula, li’uluwwi martabatihi, karena
ketinggian martabatnya. Disebutkan, setiap orang yang melihatnya akan mencium
tangannya. Masyarakat Arab saat itu menyodorkan anak-anak perempuan mereka
kepadanya, agar ia berkenan menikahinya.
Ia seorang yang sangat mulia dan diagungkan di
tengah-tengah kaumnya. Dinamakan “Hasyim” karena ia yahsyimu ats tsarid li
adh dhaif, memotong-motong (menghidangkan) roti kering untuk tamu-tamunya.
Hingga dikatakan perihal Hasyim itu,”Hidangannya selalu tersedia, tidak
terangkat, baik pada saat kesusahan maupun saat kekenyangan.” Sampai saat ini
ada ungkapan yang sering dikatakan orang, Al Karam inda Bani Hasyim,
Kemuliaan dimiliki oleh Bani Hasyim. Ungkapan itu terutama saat menggambarkan
bagaimana keluarga Bani Hasyim hingga saat ini memiliki kemurahan tangan dan
kebiasaan dalam memuliakan tamu-tamu mereka.
Ketika nur Muhammad sampai pada sulbi Hasyim,
tersebarlah berita di seluruh penjuru dunia bahwa sudah dekat saat datangnya
nabi akhir zaman, yang diutus untuk seluruh umat manusia.
Para pendeta Yahudi dan Nasrani di zamannya
berlomba-lomba mendapatkan silsilah mata rantai nur tersebut. Untuk tujuan itu,
mereka menyodorkan putri-putri mereka untuk dinikahinya. Namun ia
mengatakan,”Demi Allah, Dzat yang telah melimpahkan kemuliaan kepadaku melebihi
seluruh penghuni alam ini, tidaklah aku akan menikah kecuali dengan wanita
tersuci di seluruh alam.”
Putra Hasyim yang bernama Abdul Muthalib dilahirkan di
Yatsrib, atau Madinah. Kulitnya sawo matang, ia dibesarkan di Mekah di sisi
pamannya, Al Muthalib bin Abdu Manaf. Al Muthalib pamannya ini adalah leluhur
Imam Syafi’i. Sebelum Hasyim wafat, ia meminta kepada saudaranya, Al Muthalib, Adrik
‘abdak bi yatsrib, Ambillah hambamu (keponakanmu) di Yatsrib (Madinah).
Maka setelah Hasyim wafat, ia mengambil keponakannya
itu dari ibunya di kota Madinah, untuk menyenangkannya. Maka kemudian ia
disebut “Abdul Muthalib”.
Saat dilahirkan, fi ra’sihi syaibah, ada uban
di kepalanya, kelahirannya seakan, udhifa lil hamd, dipersiapkan untuk
dipuji. Itu karena banyak orang yang memujinya. Karenanya, nama sebenarnya
Abdul Muthalib adalah Syaibatul Hamd.
Ia adalah tempat mengeluh Bani Quraisy di kala mereka
susah. Ia seorang yang cerdas, lisannya fasih, hatinya hadir, dan sangat
dicintai kaumnya. Berkat nur Muhammad yang bersemayam dalam dirinya, kaumnya
mengenali Abdul Muthalib akan doa-doanya yang selalu dikabulkan Allah Swt.
Sekalipun belum masuk pada masa kenabian cucunya, ia
tidak digolongkan sebagai orang kafir. Ia termasuk dalam ahlul fatrah.
Dalam perang Hunain, Rasulullah Saw mengatakan dengan penuh kebanggaan,”Aku
seorang nabi, tidak berdusta, aku adalah putra Abdul Muthalib.”
H.M.H. Al Hamid Al Husaini (alm), seorang ulama dan
sejarawan Islam yang produktif menulis buku, mengatakan,”Tidak mungkin beliau
membanggakan Abdul Muthalib jika ia seorang kafir, sebab hal itu tidak
diperkenankan.”
Sebagai sesepuh Quraisy, yang merupakan mayoritas
penduduk Mekah, ia berseru dan menganjurkan penduduk agar segera meninggalkan
Mekah, mengungsi ke daerah pegunungan yang aman. Sementara ia sendiri tidak
pergi meninggalkan Mekah dan hendak bertahan dengan cara apapun yang mungkin
dapat ditempuh. Setiba bala tentara Abrahah di perbatasan Mekah, Abdul Muthalib
berserah diri kepada Tuhan, Penguasa Ka’bah. Seraya berpegang pada daun pintu
Baitullah itu, ia menegadahkan tangan,” Ya Tuhan, hanya Engkaulah yang Maha
Kuasa dan hanya Engkaulah yang dapat mengalahkan Abrahah beserta bala
tentaranya. Engkau sajalah yang akan melindungi Rumah Suci ini dari kejahatan
manusia durhaka dan congkak.”
Kemudian terjadilah apa yang dikehendaki Allah Swt.
Belum sempat pasukan Abrahah menyerbu Mekah, Allah Swt menghancurkan bala
tentara itu dengan menurunkan burung-burung Ababil, yang melontari mereka
dengan batu sijjil. Itulah kenyataan sejarah yang disaksikan sendiri oleh
penduduk Mekah dari tempat-tempat pengungsian, dan yang lansung diderita oleh
bala tentara Abrahah.
Abdul Muthalib wafat pada usia 82 tahun, versi sejarah
lainnya mengatakan 110 atau 120 tahun, kala Nabi Muhammad Saw berusia 8 tahun.
Ummu Aiman, pengasuh Nabi, menceritakan,”Ketika itu saya melihat ia (Muhammad Saw)
duduk di tempat tidur Abdul Muthalib sampai menangis.” Dan ia terus menangis
saat turut mengantar jenazah ke pekuburan Hajun, Mekah.
Abdul Muthalib mempunyai banyak putra, diantaranya
adalah yang bernama Abdullah. Dan Abdullah ini ayah Nabi Muhammad Saw, sang
Nabi akhir zaman yang sejak lama telah dinanti kedatangannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar