Agar bahtera
pernikahan selamat berlayar ke pulau tujuan, nahkoda bahtera ini harus diberi
hak penuh. Boleh jadi hak pertama yang diberikan Allah SWT kepada suami adalah
hak kepemimpinan (qaimumah).
Allah SWT berfirman, artinya :
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
(an-Nisa: 34)
Hak kepemimpinan
diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga
karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat. Tapi,
kepemimpinan suami tidak membolehkannya untuk otoriter (tasalluth) dan keluar
dari lingkaran tanggung jawab ke lingkaran penguasaan dan interaksi yang
bersifat pemaksaan pada istri, karena hal ini bertentangan dengan hak istri
untuk mendapatkan perlakuan yang baik yang ditegaskan oleh al-Quran:
“Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
Tidak
diragukan bahwa Islam telah menuntut istri untuk tunduk kepada suami dalam
segala hal yang dibolehkan oleh akal dan syariat. Jika kondisi ini tidak
terpenuhi, maka tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Khaliq.
Islam tidak
membolehkan kepemimpinan ini digunakan sebagai media untuk merendahkan istri
atau mengurangi kehormatannya. Memang benar bahwa manusia yang haknya paling
besar atas seorang istri adalah suami, tapi hak ini tidak boleh ditafsirkan
atau diterapkan secara salah yang membawa pada perendahan terhadap istri.
Istri adalah
bunga yang lembut. Dia tidak memiliki kekuatan, ketegasan, dan kehendak. Karena
itu, dia membutuhkan tenda yang melindunginya dari angin yang beracun agar
bunga ini tidak kehilangan kesegarannya ketika bunga ini sedang mekar-mekarnya.
Tenda itu adalah suami, karena suami memiliki kekuatan, kehendak, dan kesiapan
untuk berkorban.
Hak lain bagi
suami adalah istri bersiap sedia baginya setiap dia berkehendak kecuali pada
kondisi pengecualian alamiah yang dialami oleh kaum perempuan. Rasulullah saw
bersabda:
“Wanita yang
terbaik di antara kamu adalah yang banyak anak dan penyayang, penutup diri,
penjaga kesucian diri, yang agung di mata keluarganya, tunduk di hadapan
suaminya, terjaga dari orang selain suaminya, mendengar dan patuh kepada
suaminya, jika dia berdua-duaan dengan suaminya, dia memberikan apa saja yang
diminta kepadanya.”
Rasulullah
saw bersabda:
“Wanita yang
terbaik di antara kamu adalah yang jika suaminya masuk, maka dia menanggalkan
baju rasa malunya.”
Bukan
kebalikannya, kalau diluar rumah malah wanita berhias dan tampil seksi agar
dilihat kaum laki-lakitapi bukan muhrimnya. Sungguh kemaksiatan yang disengaja.
Banyak hadits
lain yang melarang istri menjauh dari peraduan rumah tangga. Dia akan dihukum
di kehidupan dunia jika melakukannya dan dikutuk oleh malaikat sampai dia
kembali. Dia juga harus menghormati suami dan berperan serta dalam menciptakan
cinta kasih sayang bersama sang suami. Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya
aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, tentu aku akan
memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”
Berdasarkan
arahan Nabi saw ini istri harus berperilaku lembut pada suami, berbicara dengan
ungkapan-ungkapan yang memasukkan rasa bahagia ke dalam hati suami, khususnya
ketika suami pulang kerja dengan energi yang terkuras, syaraf yang lelah. Dia
harus menyambut suami dengan kegembiraan yang meruah pada wajahnya, menawarkan
khidmat kepada suami, sehingga dia memperoleh ridha suami.
Rasulullah
saw bersabda:
“Sangat
beruntung seorang istri yang suaminya ridha padanya.”
Tentang
masalah ini, Al-Baqir ra mengatakan:
“Tidak ada
pemberi syafaat bagi seorang wanita pada sisi Tuhan yang lebih ampuh daripada
ridha suaminya. Ketika Fathimah wafat, Amirul Mukminin berdiri di sisinya dan
berkata, ‘Ya Allah, aku ridha pada putri Nabi-Mu. Ya Allah, dia telah dibuat
sedih, maka hiburlah dia.’”
Dari
penjelasan ini jelaslah bahwa suami memiliki hak kepemimpinan, hak dipenuhi
keinginannya atau disenangkan. Lebih dari itu, ketika dia diberikan tampuk
kepemimpinan keluarga, maka dia memiliki hak dipatuhi dalam batasan-batasan
syariat. Salah satu isi hak ini adalah istri tidak boleh keluar dari rumah
kecuali atas izinnya. Di dalam hadits disebutkan:
“Dia tidak
boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia
melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan benci
melaknatnya.”
Istri adalah
harta karun yang sangat berharga dan wajib dijaga di tempat yang aman. Rumah
adalah tempat aman yang melindungi istri. Karena itu, al-Quran memerintahkan
kaum perempuan:
Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Ada hak lain
bagi suami, yaitu dijaga kehormatannya dan hartanya ketika dia tidak ada, tidak
diungkap kekurangannya, istri tidak puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Secara
umum, agar kehidupan rumah tangga langgeng, harus ada ridha dan penghormatan
dan khidmat dari kedua belah pihak, sebagaimana bunga butuh cahaya, udara, dan
air untuk bisa mekar.
Komitmen
suami istri terhadap hak satu sama lain, selain menggugurkan kewajiban, juga
mendatangkan pahala yang besar. Sebaliknya juga benar. Jika suami memberi
minuman bagi istrinya, dia mendapat pahala, dan Allah SWT akan memanjangkan
umurnya dikarenakan kebaikannya kepada istrinya.
Sebaliknya,
istri yang berkhidmat kepada suami selama 7 hari, Allah SWT akan menutup 7
pintu neraka baginya dan membuka 8 pintu surga yang dapat dia masuki dari mana
saja. Istri yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke
tempat lain untuk terlihat lebih baik, maka Allah SWT akan memandangnya, dan
siapa saja yang dipandang Allah SWT, maka tidak akan Dia azab.
Jaminan
keharusan memenuhi hak dalam syariat ilahiah lebih banyak daripada di dalam
hukum positif. Sebab, dalam hukum positif, orang dapat menghindar dan tidak
memenuhi kewajibannya dengan tipu muslihat, suap, ancaman, paksaan, dsb.
Sedangkan dalam hukum ilahi, selain menggunakan media pemaksaan eksternal,
seperti polisi dan pengadilan, ada juga faktor-faktor pemaksaan internal, yaitu
rasa takut terhadap siksa dan murka Allah SWT di akhirat.
Seorang
muslim akan berusaha meraih ridha Allah SWT dengan cara menunaikan kewajibannya
kepada orang lain. Al-Quran memandang kezaliman seseorang kepada orang lain
adalah kezaliman pada dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:
“Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)
Motif
religius adalah alat terbesar untuk membendung dorongan setan yang mendorong
orang mangkir dari kewajiban dan komitmennya. Sedangkan orang yang hanya tunduk
kepada hukum positif, dia tidak memiliki alat pembendung internal tersebut,
kecuali nurani dan etika yang seringkali menyimpang dari jalan lurus karena
berbagai sebab, sehingga kriteria-kriteria yang dia miliki terbalik,
kemungkaran menjadi kebaikan dan kebaikan menjadi kemungkaran.
Lebih dari
itu, di dalam Islam, terdapat ikatan yang erat antara dimensi sosial dan
dimensi ibadah. Setiap celah di dimensi pertama, disebabkan tiadanya komitmen
terhadap hak orang lain, akan berefek negatif terhadap dimensi ibadah. Inilah
yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw:
“Orang
yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau
kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya
ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti
itu jika dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”
Dengan
demikian jelaslah bahwa suami istri memiliki hak timbal balik yang jika
ditelantarkan maka akan mengancam eksistensi keluarga, dan komitmen padanya
akan menciptakan kesatuan sosial yang erat.(alh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar