3 Juli 2012

Hak Suami Dalam Islam


Agar bahtera pernikahan selamat berlayar ke pulau tujuan, nahkoda bahtera ini harus diberi hak penuh. Boleh jadi hak pertama yang diberikan Allah SWT kepada suami adalah hak kepemimpinan (qaimumah). 

Allah SWT berfirman, artinya :

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (an-Nisa: 34)

Hak kepemimpinan diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat. Tapi, kepemimpinan suami tidak membolehkannya untuk otoriter (tasalluth) dan keluar dari lingkaran tanggung jawab ke lingkaran penguasaan dan interaksi yang bersifat pemaksaan pada istri, karena hal ini bertentangan dengan hak istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik yang ditegaskan oleh al-Quran:

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)

Tidak diragukan bahwa Islam telah menuntut istri untuk tunduk kepada suami dalam segala hal yang dibolehkan oleh akal dan syariat. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, maka tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.

Islam tidak membolehkan kepemimpinan ini digunakan sebagai media untuk merendahkan istri atau mengurangi kehormatannya. Memang benar bahwa manusia yang haknya paling besar atas seorang istri adalah suami, tapi hak ini tidak boleh ditafsirkan atau diterapkan secara salah yang membawa pada perendahan terhadap istri.
Istri adalah bunga yang lembut. Dia tidak memiliki kekuatan, ketegasan, dan kehendak. Karena itu, dia membutuhkan tenda yang melindunginya dari angin yang beracun agar bunga ini tidak kehilangan kesegarannya ketika bunga ini sedang mekar-mekarnya. Tenda itu adalah suami, karena suami memiliki kekuatan, kehendak, dan kesiapan untuk berkorban.

Hak lain bagi suami adalah istri bersiap sedia baginya setiap dia berkehendak kecuali pada kondisi pengecualian alamiah yang dialami oleh kaum perempuan. Rasulullah saw bersabda:

“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang banyak anak dan penyayang, penutup diri, penjaga kesucian diri, yang agung di mata keluarganya, tunduk di hadapan suaminya, terjaga dari orang selain suaminya, mendengar dan patuh kepada suaminya, jika dia berdua-duaan dengan suaminya, dia memberikan apa saja yang diminta kepadanya.”

Rasulullah saw bersabda:

“Wanita yang terbaik di antara kamu adalah yang jika suaminya masuk, maka dia menanggalkan baju rasa malunya.”

Bukan kebalikannya, kalau diluar rumah malah wanita berhias dan tampil seksi agar dilihat kaum laki-lakitapi bukan muhrimnya. Sungguh kemaksiatan yang disengaja.

Banyak hadits lain yang melarang istri menjauh dari peraduan rumah tangga. Dia akan dihukum di kehidupan dunia jika melakukannya dan dikutuk oleh malaikat sampai dia kembali. Dia juga harus menghormati suami dan berperan serta dalam menciptakan cinta kasih sayang bersama sang suami. Rasulullah saw bersabda:

“Sekiranya aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, tentu aku akan memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”

Berdasarkan arahan Nabi saw ini istri harus berperilaku lembut pada suami, berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang memasukkan rasa bahagia ke dalam hati suami, khususnya ketika suami pulang kerja dengan energi yang terkuras, syaraf yang lelah. Dia harus menyambut suami dengan kegembiraan yang meruah pada wajahnya, menawarkan khidmat kepada suami, sehingga dia memperoleh ridha suami.

Rasulullah saw bersabda:

“Sangat beruntung seorang istri yang suaminya ridha padanya.”

Tentang masalah ini, Al-Baqir ra mengatakan:

“Tidak ada pemberi syafaat bagi seorang wanita pada sisi Tuhan yang lebih ampuh daripada ridha suaminya. Ketika Fathimah wafat, Amirul Mukminin berdiri di sisinya dan berkata, ‘Ya Allah, aku ridha pada putri Nabi-Mu. Ya Allah, dia telah dibuat sedih, maka hiburlah dia.’”

Dari penjelasan ini jelaslah bahwa suami memiliki hak kepemimpinan, hak dipenuhi keinginannya atau disenangkan. Lebih dari itu, ketika dia diberikan tampuk kepemimpinan keluarga, maka dia memiliki hak dipatuhi dalam batasan-batasan syariat. Salah satu isi hak ini adalah istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali atas izinnya. Di dalam hadits disebutkan:

“Dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan benci melaknatnya.”

Istri adalah harta karun yang sangat berharga dan wajib dijaga di tempat yang aman. Rumah adalah tempat aman yang melindungi istri. Karena itu, al-Quran memerintahkan kaum perempuan:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Ada hak lain bagi suami, yaitu dijaga kehormatannya dan hartanya ketika dia tidak ada, tidak diungkap kekurangannya, istri tidak puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Secara umum, agar kehidupan rumah tangga langgeng, harus ada ridha dan penghormatan dan khidmat dari kedua belah pihak, sebagaimana bunga butuh cahaya, udara, dan air untuk bisa mekar.

Komitmen suami istri terhadap hak satu sama lain, selain menggugurkan kewajiban, juga mendatangkan pahala yang besar. Sebaliknya juga benar. Jika suami memberi minuman bagi istrinya, dia mendapat pahala, dan Allah SWT akan memanjangkan umurnya dikarenakan kebaikannya kepada istrinya.

Sebaliknya, istri yang berkhidmat kepada suami selama 7 hari, Allah SWT akan menutup 7 pintu neraka baginya dan membuka 8 pintu surga yang dapat dia masuki dari mana saja. Istri yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat lain untuk terlihat lebih baik, maka Allah SWT akan memandangnya, dan siapa saja yang dipandang Allah SWT, maka tidak akan Dia azab.

Jaminan keharusan memenuhi hak dalam syariat ilahiah lebih banyak daripada di dalam hukum positif. Sebab, dalam hukum positif, orang dapat menghindar dan tidak memenuhi kewajibannya dengan tipu muslihat, suap, ancaman, paksaan, dsb. Sedangkan dalam hukum ilahi, selain menggunakan media pemaksaan eksternal, seperti polisi dan pengadilan, ada juga faktor-faktor pemaksaan internal, yaitu rasa takut terhadap siksa dan murka Allah SWT di akhirat.

Seorang muslim akan berusaha meraih ridha Allah SWT dengan cara menunaikan kewajibannya kepada orang lain. Al-Quran memandang kezaliman seseorang kepada orang lain adalah kezaliman pada dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:

“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)

Motif religius adalah alat terbesar untuk membendung dorongan setan yang mendorong orang mangkir dari kewajiban dan komitmennya. Sedangkan orang yang hanya tunduk kepada hukum positif, dia tidak memiliki alat pembendung internal tersebut, kecuali nurani dan etika yang seringkali menyimpang dari jalan lurus karena berbagai sebab, sehingga kriteria-kriteria yang dia miliki terbalik, kemungkaran menjadi kebaikan dan kebaikan menjadi kemungkaran.

Lebih dari itu, di dalam Islam, terdapat ikatan yang erat antara dimensi sosial dan dimensi ibadah. Setiap celah di dimensi pertama, disebabkan tiadanya komitmen terhadap hak orang lain, akan berefek negatif terhadap dimensi ibadah. Inilah yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw:

“Orang yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti itu jika dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa suami istri memiliki hak timbal balik yang jika ditelantarkan maka akan mengancam eksistensi keluarga, dan komitmen padanya akan menciptakan kesatuan sosial yang erat.(alh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar