Al-Quran
membantah konsep-konsep batil yang dianut manusia pada zaman dahulu dan
menegaskan bahwa sifat dan asal penciptaan laki-laki sama dengan perempuan.
Tidak benar bahwa laki-laki diciptakan dari bahan yang mulia sedangkan
perempuan dari bahan yang hina.
Allah SWT menciptakan keduanya
dari unsur yang sama, yaitu tanah, dan dari jiwa yang sama.
Allah SWT
berfirman: artinya :
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
(an-Nisa: 1)
Jadi,
al-Quran telah meningkatkan derajat perempuan dengan menjadikannya persis
seperti laki-laki dari segi tabiat penciptaan dan dengan demikian memberikannya
hak kemuliaan manusia sepenuhnya. Selain itu, al-Quran menyatukan laki-laki
dengan perempuan dalam hal memikul tanggung jawab. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
(An-Nahl: 97)
Tapi kesamaan
dalam asal penciptaan, kemuliaan, dan tanggung jawab, sedikit pun tidak berarti
pengingkaran perbedaan fitrah dan tabiat yang ada di antara mereka yang
mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban. Neraca keadilan adalah menyamakan
antara seseorang dengan kewajibannya dan bukan menyamakan hak dan kewajiban
antara dua jenis yang berbeda struktur dan tabiatnya.
Dengan dasar
ini pengutamaan laki-laki dalam warisan bukanlah pencederaan terhadap keadilan,
melainkan keadilan itu sendiri. Laki-laki wajib memberikan mas kawin sejak awal
relasi/hubungan suami istri, dan wajib memberi nafkah sampai akhir.
Dari sisi
lain, al-Quran tidak ingin membatasi kebebasan dan posisi perempuan dengan
kewajiban berjilbab (hijab), melainkan hendak melindunginya dengan jilbab dan
bukannya mengekang, disertai penetapan kehormatan perempuan pada dirinya dan
orang lain. Al-Quran ingin perempuan keluar ke masyarakat—jika dia keluar—tanpa
merangsang naluri yang terpendam di dalam diri laki-laki. Dengan demikian, dia
melindungi dirinya dan tidak membahayakan orang lain.
Al-Quran
menetapkan hak perempuan untuk berkeyakinan dan bekerja berdasarkan aturan
tertentu, dan memberikannya hak sipil secara penuh. Perempuan memiliki hak
memiliki, memberi, menggadai, menjual, dsb.
Al-Quran
memberi perempuan hak untuk belajar dan mencapai derajat keilmuan yang tinggi,
mendorong watak membebaskan dri dari kezaliman dan tiranitas. Al-Quran memberi
contoh dengan Asiyah istri Firaun yang tetap menjaga akidah tauhid yang dia
anut meskipun dalam kondisi terjepit, sehingga dia menjadi teladan. Allah SWT
berfirman:
Dan Allah
membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam
firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
Aku dari kaum yang zhalim. (at-Tahrim: 11)
Demikianlah
al-Quran mengungkap keteguhan yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan jika
dia memiliki iman dan persepsi yang benar. Tapi kebalikannya akan terjadi jika
dia menyimpang dari jalur hidayah seperti yang dilakukan oleh Istri Nuh. Dia
menjadi tawanan perasaan dan hawa nafsunya, menjadi seperti bulu ditiup angin.
Hak istri menurut Sunnah
Masalah
perempuan dan hak-haknya sebagai istri atau ibu adalah objek perhatian Sunnah.
Nabi saw bersabda:
“Jibril
terus menerus mewasiatkan istri kepadaku, sampai aku menyangka tidak boleh
mentalaknya kecuali karena kekejian yang nyata.”
Kemudian,
beliau menetapkan tiga hak asasi seorang istri atas suaminya, yaitu memenuhi
kebutuhan pangan, memenuhi kebutuhan sandang yang pantas baginya, dan pergaulan
yang baik dengannya. Beliau bersabda:
“Hak istri
atas suami, diatasi rasa laparnya, ditutupi auratnya, dan tidak diberikan wajah
yang masam.”
Hadits ini
tidak membatasi hak istri pada masalah-masalah material yang primer seperti
makanan dan pakaian saja, tapi menyandingkan hal itu dengan hak mental, yaitu
tidak diberikan wajah yang masam, atau dengan ungkapan lain diperlakukan dengan
baik. Apalagi istri adalah mitra hidup, partner kerja. Salah jika dia
diperlakukan sebagai alat kesenangan dan pembantu dan diperlakukan dengan cara
diberikan perintah.
Selain itu
ada hadits Nabi saw yang mendorong untuk memperlakukan istri secara manusiawi
bahkan meminta pendapatnya meskipun suami tidak bermaksud menerima pendapat itu
di dalam masalah tersebut, karena sikap suami meminta pendapat pada istri
berarti melakukan dialog secara terus menerus dengannya. Inilah yang
diperintahkan oleh akal dan syariat.
Jadi, istri
memiliki hak mental yang menyempurnakan hak-hak materialnya, yaitu hak untuk
dihormati dan dihargai, dan dipilihkan ungkapan-ungkapan yang pantas ketika
berbicara yang melahirkan suasana tenang, menyalakan pelita cinta. Rasulullah
saw bersabda:
“Kata-kata
seorang suami kepada istrinya, ‘Aku mencintaimu’, tidak akan hilang dari hati
istrinya selama-lamanya.”
Jadi,
menghormati istri, menyayanginya, memaafkan kesalahannya yang normal, adalah satu-satunya
jaminan dan cara terbaik untuk kelanggengan rumah tangga. Tanpa menjaga hal-hal
ini, bangunan keluarga akan rapuh. Survey membuktikan bahwa kebanyakan
perceraian terjadi disebabkan oleh penyebab yang sepele.
Seorang hakim
yang selama 40 tahun bertugas menangani kasus perselisihan suami istri,
mengatakan, “Engkau pasti akan selalu menemukan hal-hal yang sepele di dalam
setiap perselisihan suami istri. Jika mereka mau bersabar dan menutup mata atas
kesalahan yang terjadi tanpa disengaja, maka bahtera rumah tangga pasti dapat
diselamatkan dari kehancuran.”
Di dalam
Risalah al-Huquq Imam menerangkan hak istri dan memberikan keterangan tambahan
terhadap hak mentalnya yang berupa kasih sayang dan keintiman. Beliau berkata:
“Adapun hak
istrimu yang engkau miliki dengan nikah, engkau harus mengetahui bahwa Allah
SWT telah menjadikannya sebagai penenang, penenteram, pengintim, dan pelindung.
Demikianlah masing-masing orang dari kalian berdua harus memuji Allah SWT atas
pasangannya, dan mengetahui bahwa pasangannya adalah nikmat yang berikan Allah
SWT kepadanya. Dia wajib memperlakukan nikmat Allah SWT dengan baik,
menghormatinya, dan bersikap lembut kepadanya, meskipun hakmu atasnya lebih
besar, dia lebih wajib taat kepadamu, di dalam hal-hal yang kamu sukai atau
tidak kamu sukai selama bukan maksiat, maka dia memiliki hak kasih sayang dan
keintiman, dan tiada daya kecuali karena Allah.”
Jika kita
mencermati keterangan ini, jelas bagi kita bahwa ikatan suami istri adalah
nikmat terbesar yang harus disyukuri secara verbal dengan cara mengucapkan puji
kepada Allah, dan syukur secara praktis yakni seseorang harus menghormati
istrinya, lembut dan memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang,
menjalin pertemanan yang sejati sebagaimana dia menjalin ikatan persahabatan
dengan orang lain.
Jika dia
bersikap kasar, menghitung setiap kesalahan dan kealpaan, maka urat-urat cinta
dan kasih sayang akan putus. Sikap ini akan menjadi pisau yang sangat tajam
untuk memutus hubungan suami istri yang suci.
Imam Shadiq ra
menjelaskan cara yang harus ditempuh seorang suami untuk menarik hati istrinya
dan tidak memutus tali cintanya. Beliau berkata:
“Seorang
suami tidak bisa mengabaikan tiga hal dalam relasinya dengan istrinya.
Keharmonisan, agar dia memperoleh keharmonisan, cinta, dan gairah istrinya.
Akhlak yang baik terhadap istrinya dan mengupayakan menarik hati istrinya
dengan penampilan yang baik di mata istri. Dan, berlapang dada pada istri.”
Harus
disebutkan di sini bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah sekadar kata-kata
yang dilontarkan ke udara oleh para imam sebagai sebuah nasihat, tapi mereka
telah mempraktekkannya sampai detail dalam kehidupan nyata. Di dalam perilaku
para imam tidak terdapat problematika adanya jurang antara kesadaran dan
kenyataan. Salah satu buktinya adalah, al-Hasan bin al-Jaham meriwayatkan: Aku
melihat Abu al-Hasan bercelak (ihtidhab). Maka, aku berkata, “Aku rela jadi
tebusanmu, engkau bercelak?” Beliau berkata:
“Ya.
Berdandannya suami adalah tindakan yang menambah iffah seorang istri. Wanita
menanggalkan iffah karena suami mereka tidak berdandan. Apakah engkau senang
melihatnya seperti dia melihatmu ketika engkau tidak berdandan?” Aku berkata,
“Tidak.” Beliau berkata, “Itu sama.”
Imam
mengetahui bahwa menarik hati istri merupakan poin sentral dalam kehidupan
rumah tangga. Karena itu, beliau menjaga hak istri dan berusaha menarik hati
istrinya dengan cara berdandan. Sebab, tidak harmonis dalam masalah ini
merupakan salah satu penyebab utama kegagalan perkawinan.
Memang benar
bahwa pernikahan di dalam Islam bukanlah untuk pemuasan hasrat seksual. Seks
hanya media untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu mempersembahkan generasi
yang baik bagi umat manusia. Akan tetapi hal ini tidak membenarkan tindakan
mengabaikan hak istri dalam pemuasan seksual. Karena itu, syariat tidak
membolehkan meninggalkan istri lebih dari 4 bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar