3 Juli 2012

Hak Istri Dalam Islam


Al-Quran membantah konsep-konsep batil yang dianut manusia pada zaman dahulu dan menegaskan bahwa sifat dan asal penciptaan laki-laki sama dengan perempuan. Tidak benar bahwa laki-laki diciptakan dari bahan yang mulia sedangkan perempuan dari bahan yang hina. 

Allah SWT menciptakan keduanya dari unsur yang sama, yaitu tanah, dan dari jiwa yang sama.
Allah SWT berfirman: artinya :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisa: 1)

Jadi, al-Quran telah meningkatkan derajat perempuan dengan menjadikannya persis seperti laki-laki dari segi tabiat penciptaan dan dengan demikian memberikannya hak kemuliaan manusia sepenuhnya. Selain itu, al-Quran menyatukan laki-laki dengan perempuan dalam hal memikul tanggung jawab. Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97)

Tapi kesamaan dalam asal penciptaan, kemuliaan, dan tanggung jawab, sedikit pun tidak berarti pengingkaran perbedaan fitrah dan tabiat yang ada di antara mereka yang mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban. Neraca keadilan adalah menyamakan antara seseorang dengan kewajibannya dan bukan menyamakan hak dan kewajiban antara dua jenis yang berbeda struktur dan tabiatnya.

Dengan dasar ini pengutamaan laki-laki dalam warisan bukanlah pencederaan terhadap keadilan, melainkan keadilan itu sendiri. Laki-laki wajib memberikan mas kawin sejak awal relasi/hubungan suami istri, dan wajib memberi nafkah sampai akhir.

Dari sisi lain, al-Quran tidak ingin membatasi kebebasan dan posisi perempuan dengan kewajiban berjilbab (hijab), melainkan hendak melindunginya dengan jilbab dan bukannya mengekang, disertai penetapan kehormatan perempuan pada dirinya dan orang lain. Al-Quran ingin perempuan keluar ke masyarakat—jika dia keluar—tanpa merangsang naluri yang terpendam di dalam diri laki-laki. Dengan demikian, dia melindungi dirinya dan tidak membahayakan orang lain.

Al-Quran menetapkan hak perempuan untuk berkeyakinan dan bekerja berdasarkan aturan tertentu, dan memberikannya hak sipil secara penuh. Perempuan memiliki hak memiliki, memberi, menggadai, menjual, dsb.

Al-Quran memberi perempuan hak untuk belajar dan mencapai derajat keilmuan yang tinggi, mendorong watak membebaskan dri dari kezaliman dan tiranitas. Al-Quran memberi contoh dengan Asiyah istri Firaun yang tetap menjaga akidah tauhid yang dia anut meskipun dalam kondisi terjepit, sehingga dia menjadi teladan. Allah SWT berfirman:

Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim. (at-Tahrim: 11)

Demikianlah al-Quran mengungkap keteguhan yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan jika dia memiliki iman dan persepsi yang benar. Tapi kebalikannya akan terjadi jika dia menyimpang dari jalur hidayah seperti yang dilakukan oleh Istri Nuh. Dia menjadi tawanan perasaan dan hawa nafsunya, menjadi seperti bulu ditiup angin.


Hak istri menurut Sunnah

Masalah perempuan dan hak-haknya sebagai istri atau ibu adalah objek perhatian Sunnah. Nabi saw bersabda:

“Jibril terus menerus mewasiatkan istri kepadaku, sampai aku menyangka tidak boleh mentalaknya kecuali karena kekejian yang nyata.”

Kemudian, beliau menetapkan tiga hak asasi seorang istri atas suaminya, yaitu memenuhi kebutuhan pangan, memenuhi kebutuhan sandang yang pantas baginya, dan pergaulan yang baik dengannya. Beliau bersabda:

“Hak istri atas suami, diatasi rasa laparnya, ditutupi auratnya, dan tidak diberikan wajah yang masam.”

Hadits ini tidak membatasi hak istri pada masalah-masalah material yang primer seperti makanan dan pakaian saja, tapi menyandingkan hal itu dengan hak mental, yaitu tidak diberikan wajah yang masam, atau dengan ungkapan lain diperlakukan dengan baik. Apalagi istri adalah mitra hidup, partner kerja. Salah jika dia diperlakukan sebagai alat kesenangan dan pembantu dan diperlakukan dengan cara diberikan perintah.

Selain itu ada hadits Nabi saw yang mendorong untuk memperlakukan istri secara manusiawi bahkan meminta pendapatnya meskipun suami tidak bermaksud menerima pendapat itu di dalam masalah tersebut, karena sikap suami meminta pendapat pada istri berarti melakukan dialog secara terus menerus dengannya. Inilah yang diperintahkan oleh akal dan syariat.

Jadi, istri memiliki hak mental yang menyempurnakan hak-hak materialnya, yaitu hak untuk dihormati dan dihargai, dan dipilihkan ungkapan-ungkapan yang pantas ketika berbicara yang melahirkan suasana tenang, menyalakan pelita cinta. Rasulullah saw bersabda:

“Kata-kata seorang suami kepada istrinya, ‘Aku mencintaimu’, tidak akan hilang dari hati istrinya selama-lamanya.”

Jadi, menghormati istri, menyayanginya, memaafkan kesalahannya yang normal, adalah satu-satunya jaminan dan cara terbaik untuk kelanggengan rumah tangga. Tanpa menjaga hal-hal ini, bangunan keluarga akan rapuh. Survey membuktikan bahwa kebanyakan perceraian terjadi disebabkan oleh penyebab yang sepele.

Seorang hakim yang selama 40 tahun bertugas menangani kasus perselisihan suami istri, mengatakan, “Engkau pasti akan selalu menemukan hal-hal yang sepele di dalam setiap perselisihan suami istri. Jika mereka mau bersabar dan menutup mata atas kesalahan yang terjadi tanpa disengaja, maka bahtera rumah tangga pasti dapat diselamatkan dari kehancuran.”

Di dalam Risalah al-Huquq Imam menerangkan hak istri dan memberikan keterangan tambahan terhadap hak mentalnya yang berupa kasih sayang dan keintiman. Beliau berkata:

“Adapun hak istrimu yang engkau miliki dengan nikah, engkau harus mengetahui bahwa Allah SWT telah menjadikannya sebagai penenang, penenteram, pengintim, dan pelindung. Demikianlah masing-masing orang dari kalian berdua harus memuji Allah SWT atas pasangannya, dan mengetahui bahwa pasangannya adalah nikmat yang berikan Allah SWT kepadanya. Dia wajib memperlakukan nikmat Allah SWT dengan baik, menghormatinya, dan bersikap lembut kepadanya, meskipun hakmu atasnya lebih besar, dia lebih wajib taat kepadamu, di dalam hal-hal yang kamu sukai atau tidak kamu sukai selama bukan maksiat, maka dia memiliki hak kasih sayang dan keintiman, dan tiada daya kecuali karena Allah.”

Jika kita mencermati keterangan ini, jelas bagi kita bahwa ikatan suami istri adalah nikmat terbesar yang harus disyukuri secara verbal dengan cara mengucapkan puji kepada Allah, dan syukur secara praktis yakni seseorang harus menghormati istrinya, lembut dan memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang, menjalin pertemanan yang sejati sebagaimana dia menjalin ikatan persahabatan dengan orang lain.

Jika dia bersikap kasar, menghitung setiap kesalahan dan kealpaan, maka urat-urat cinta dan kasih sayang akan putus. Sikap ini akan menjadi pisau yang sangat tajam untuk memutus hubungan suami istri yang suci.

Imam Shadiq ra menjelaskan cara yang harus ditempuh seorang suami untuk menarik hati istrinya dan tidak memutus tali cintanya. Beliau berkata:

“Seorang suami tidak bisa mengabaikan tiga hal dalam relasinya dengan istrinya. Keharmonisan, agar dia memperoleh keharmonisan, cinta, dan gairah istrinya. Akhlak yang baik terhadap istrinya dan mengupayakan menarik hati istrinya dengan penampilan yang baik di mata istri. Dan, berlapang dada pada istri.”

Harus disebutkan di sini bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah sekadar kata-kata yang dilontarkan ke udara oleh para imam sebagai sebuah nasihat, tapi mereka telah mempraktekkannya sampai detail dalam kehidupan nyata. Di dalam perilaku para imam tidak terdapat problematika adanya jurang antara kesadaran dan kenyataan. Salah satu buktinya adalah, al-Hasan bin al-Jaham meriwayatkan: Aku melihat Abu al-Hasan bercelak (ihtidhab). Maka, aku berkata, “Aku rela jadi tebusanmu, engkau bercelak?” Beliau berkata:

“Ya. Berdandannya suami adalah tindakan yang menambah iffah seorang istri. Wanita menanggalkan iffah karena suami mereka tidak berdandan. Apakah engkau senang melihatnya seperti dia melihatmu ketika engkau tidak berdandan?” Aku berkata, “Tidak.” Beliau berkata, “Itu sama.”

Imam mengetahui bahwa menarik hati istri merupakan poin sentral dalam kehidupan rumah tangga. Karena itu, beliau menjaga hak istri dan berusaha menarik hati istrinya dengan cara berdandan. Sebab, tidak harmonis dalam masalah ini merupakan salah satu penyebab utama kegagalan perkawinan.

Memang benar bahwa pernikahan di dalam Islam bukanlah untuk pemuasan hasrat seksual. Seks hanya media untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu mempersembahkan generasi yang baik bagi umat manusia. Akan tetapi hal ini tidak membenarkan tindakan mengabaikan hak istri dalam pemuasan seksual. Karena itu, syariat tidak membolehkan meninggalkan istri lebih dari 4 bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar