Petikan singkat laporan Gubernur
Aceh Goedhart tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 di atas mengingatkan
kita bahwa sejak 1908 T.R Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan
Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial terutama
dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh. Kemunculan T. R. Tampok
sendiri sebagai salah seorang pemimpin perlawanan sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan dengan drama penaklukan wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan
khususnya sejak penghujung abad ke-19 lalu.
Pemimpin perlawanan rakyat Seunagan
dalam menghadapi Belanda pada mulanya berada di tangan T. Keumangan. Ia didampingi
oleh putra pemimpin ulama terkemuka di daerah itu, Habib Nagan, yaitu Tgk.
Padang Si Ali alias Sayid Yasin dan kemenakannya Tgk. Putik alias Said Abdur
Rani. Dalam tahun 1902-1904 berlangsung peperangan yang cukup seru antara
kesatuan-kesatuan Marsose Divisi 2 yang dipimpin Campioni dan Mathes yang
bermarkas di Pulo Ie (kemudian Jeuram) dengan para gerilyawan bersangkutan
(muslimin) yang menimbulkan banyak korban. Kapten Campioni sendiri gugur dalam
suatu pertempuran, namun pasukan Belanda yang ter-organisir rapi dengan
dukungan senjata dan logistik yang baik terlalu kuat untuk dikalahkan oleh
pihak gerilyawan. Menyadari hal demikian pada bulan Januari 1905 T. Keumangan
turun berdamai dengan Belanda (Du Cro, 1943: 62-63). Sebelas tahun kemudian ia diangkat
sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan saudaranya, T. Johan.
Turunnya T.
Keumangan memang berpengaruh terhadap volume perlawanan, tetapi tidak berarti
perlawanan menjadi berhenti. Persoalannya Tgk. Padang Siali dan Tgk. Putik
masih tetap meneruskan perang gerilya. Dalam melakukan perlawanan terhadap
tentara Marsose yang dipimpin Letnan H.J. Schmidt dan Kapten Baretta, mereka
dibantu oleh beberapa orang ksatria terkemuka seperti T. Raja Tampok, T. Kapa,
T. Itam. Para kesatria itu terdiri dari atas orang-orang pemberani, ahli
siasat, dan trampil dalam mempergunakan kelewang.
Aksi perlawanan yang dilakukan oleh
para pejuang itu cukup merepotkan pasukan Marsose yang telah membangun bivak
(asrama) di Jeuram dan Lam Ie di samping dua lainnya di Meulaboh dan Kuala Bhe.
Masalahnya para pejuang itu sangat menguasai alam sekitarnya, tambahan lagi
menurut Belanda sendiri (Du Cro, 1943 dan Goedhart, 1927), mereka adalah
penyerang-penyerang berkelewang yang amat berbahaya yang disokong oleh
keyakinan bahwa gugur dalam peperangan melawan kafir adalah syahid.
Apapun perlawanan yang mereka
lakukan nyatanya pasukan Belanda yang terorganisasi rapi tidaklah mampu mereka
enyahkan dari negeri Seunagan. Malah sejumlah ksatria mereka, termasuk T.
Usman, anak Tgk. Putik, sendiri gugur dalam pertempuran dan sebagian lainnya
luka atau tertawan. Atas prakarsa T. Keumangan, Tgk. Putik dan ± 40 orang
pengikutnya pada bulan Oktober 1910 turun berdamai. Pada bulan Januari 1911
Tgk. Padang Si Ali, ayah Habib Muda, juga meniru langkah yang sama. Para
ksatria yang turun itu ada yang terus berbaur dengan masyarakat kembali,
seperti Tgk. Padang Si Ali dan ada pula yang oleh beberapa pertimbangan
diasingkan ke luar daerah Aceh termasuk Tgk. Putik sendiri yang pada tahun 1918
diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah.
Pendirian Tgk. Putik dan Tgk. Padang
Si Ali untuk berdamai rupanya tidak diikuti oleh T.R. Tampok. Masalahnya ia
mengalami trauma yang cukup berat terhadap perlakuan keji yang dilakukan oleh
serdadu Belanda terhadap orang tuanya T. Datuk Mat Sareh. Ketika tentara
Marsose menggempur basis perlawanan mereka di Alu Bata, Tadu Atas, beberapa
waktu lalu, ayahnya T. Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau
dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada
waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan
terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai titik darah terakhir.
Terikat oleh sumpahnya itulah, maka
T.Raja Tampok beserta istrinya Cut Caya, asal hulu Seunagan terus melajutkan
gerilya dari satu hutan ke hutan yang lain atau dari satu rawa ke rawa yang
lain di Tadu Alas, Seuneunam dan hulu Krueng Tripa. Di samping itu seorang
panglima lain, yaitu Pang Karim -seperti T.R. Tampok- melakukan aksi gerilya di
daerah Tripa. Mereka ini merupakan pemimpin gerilya yang sangat ditakuti dan
dicari-cari oleh Belanda sebagaimana salah satu kutipan yang telah disebut di
atas.
Kurang diketahui secara persis
berapa jumlah pengikut T.R. Tampok selama masa gerilya dari satu hutan ke hutan
tersebut. Menurut sumber intelejen Belanda kawanan T.R. Tampok dalam tahun
1926-1931 sekitar 12 orang. Pengikutnya itu berasal dari orang-orang yang tidak
puas di dalam desanya yang berhasrat untuk menyalurkan perasaan tidak puas itu
melalui perang sabil melawan kafir.
Dalam suasana perang gerilya T.R.
Tampok menerapkan aturan-aturan yang keras kepada pengikutnya agar terhindar
dari marabahaya. Para gerilyawan diharuskan menggunakan pakaian warna hitam.
Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila terjadi
kontak senjata. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di bawah lutut) dan
baju bulat leher, sementara lelaku memakai destar yang juga berwarna hitam.
Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain selimut dan wadah mengangkut
barang keperluan sehari-hari.
Operasi militer dan patroli yang
dilakukan oleh serdadu Marsose yang berpangkalan di Lam Ie dan Jeuram hanya
dapat mengurangi pengikut T.R. Tampok melalui berbagai kontak senjata, tetapi
tidak mampu menangkap atau menewaskan T.R. Tampok sendiri. Akibatnya, T.R.
Tampok luput dari kejaran Belanda hingga akhir masa kolonial Belanda di Aceh.
Ketidakberhasilan Belanda tersebut justru meningkatkan reputasi T.R. Tampok di
mata rakyat umum di negeri Seunagan melalui mitos yang disebarkan dari mulut ke
mulut bahwa ia memiliki ilmu kebal, ilmu ureh (pengetahuan waktu-waktu yang
cocok untuk bertindak agar selamat) dan peurabon (dapat hilang seketika atau
menjelma menjadi makhluk lain).
Di samping penguasaan terhadap alam
sekitar dan kemampuan beradaptasi dengan alam, rahasia kemampuan bertahan T.R.
Tampok juga terletak atas jaringan kekerabatan yang berlangsung antara dirinya
dengan masyarakat setempat. Ketika ia berada di hulu Krueng Tripa, keuchik Uyam
dan Khatib Bismi masing-masing kepala desa dan imam Desa ujung Baroh, Mukim
Blang Tripa, tempat leluhur T.R. Tampok berasal dan dikebumikan, Menurut T.R.
Tadu, telah berhubungan secara rahasia dengan T.R. Tampok di tempat
persembunyiannya. Melalui jaringan hubungan itulah ia dapat memperoleh suplai
garam atau kain yang amat diperlukan. Malah putrinya Cut Keumala yang telah
lama ditingggalkan di desa bersama dengan 4 cucunya T. Usman, T. Banta, T.R.
Tadu, dan T. R. Kuala dapat bergabung kembali dengan T.R. Tampok pada akhir
masa kolonial melalui jaringan di atas (Wawancara dengan T.R. Tadu 1995).
Hulubalang setempat kelihatannya
bersikap acuk tak acuh terhadap T.R. Tampok sepanjang tidak mengganggu
ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat T. Keumangan
hulubalang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh T. Ben adalah bekas
majikan T.R. Tampok. Sedangkan T.R. Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder
Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang
yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
Dalam masa perjuangan gerilya itu
terdapat juga konflik kepentingan antara T.R. Tampok dengan sebagian
masayarakat desa. Konflik kepentingan apabila tidak dapat didamaikan lagi
diselesaikan melalui aksi teror sebagaimana halnya pembunuhan terhadap Tgk. M.
Yatim, imeum Desa Alue Kuyun Tripa, oleh Pang Perlak atas kerjasama dengan 2
orang penduduk setempat pada awal tahun 1926. Beberapa waktu kemudian T.R.
Batak, imeum Tripa Atas, membunuh pula pengikut T.R. Tampok, yang terakhir
segera memberikan reaksi balasan. Pada tanggal 15/16 Juli 1926 Ben Lui dan Pang
Perlak membunuh T.R. Batak. Zelfbestuurder Seunagan T. Keumangan membiarkan
peristiwa yang menimpa bawahannya itu berlalu begitu saja (Mailrapport No.
221x/28 dan 835x/28). Tidak lama kemudian imuem Tripa Atas digantikan oleh T.R.
Gombak.
Dalam masa gerilya itulah T.R.
Tampok memperoleh seorang putra yang diberi nama T. Bentara Keumangan, tetapi
lebih populer T. Raja Ubit (kecil atau bungsu). Tahun persis kelahirannya
kurang diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 1935. T.R. Ubit sendiri bukan
lahir dari rahim Cut Caya. Menurut sebuah sumber ibunya adalah Indah/janda A.
Rahman, pengikut T.R. Tampok yang telah ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh
Belanda. Ketika tempat persembunyian T.R. Tampok di Blang Tadu dikepung
serdaddu Marsose, T.R. Tampok dan Cut Caya beserta T.R. ubit yang masih kecil
dapat menyelamatkan diri ke hulu Blang Tripa. Sedangkan Indah gugur dalam
kepungan itu. Sejak saat itu T.R. Ubit diasuh oleh Cut Caya dalam keadaan berpindah-pindah
tempat (Wawancara Zainal Abidin, 1995).
Berbarengan dengan aksi gerilya yang
dilakukan dengan T.R. Tampok negeri Seunagan pun mengalami perubahan sebagai
akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928
enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang
arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari
luar (Nota Van Toelichting …). Berdirinya bivak dan perkebunan mengakibatkan
munculnya Pasar Jeuram dan Alue Bilie yang didiami oleh minoritas pendatang dan
penduduk setempat. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial membangun pula
fasilitas komunikasi dan fasilitas sosial di kedua tempat.
Kesemua hal di atas mengakibatkan
struktur sosial masyarakat Seunagan bertambah kompleks berkat munculnya
kelompok-kelompok sosial baru di tengah masyarakat. Di kota Jeuram dan Alue
Bili sendiri muncul kelas pedagang, baik yang berasal dari orang Cina maupun
orang Aceh yang sukses di tempat itu seperti Nyak Ana Hamzah. Di samping itu, muncul
pula generasi muda terpelajar baik yang memperoleh pendidikan umum maupun
madrasah, seperti M. J. Efendi dan Tgk. Zakaria Yunus, 1906-1996. Kelompok
pedagang dan intelegensia muda ini, seperti halnya minoritas pendatang, cukup
adaptif terhadap ide pembaharuan yang sedang menggelinding di Kepulauan
Nusantara waktu itu. Kekompleksitasan struktur masyarakat dengan sendirinya
berpengaruh pada pendistribusian kekuasaan karena munculnya simpul-simpul
kekuasaan baru di tengah masyarakat. Masalahnya kekuasaan tradisional di
Seunagan dan Beutong pada waktu sebelumnya berada di tangan hulubalang setempat
beserta jaringan birokrasinya sebagai penguasa adat dan Tgk. Padang Si Ali,
sejak 1929 digantikan oleh Habib Muda 1899-1973 sebagai pemimpin spiritual
Tarekat Syatariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar