7 Juni 2012

Si Kawan Itu Salah Jurusan


Lagi dan lagi temanku pindah kampus. Ya, memang dia dari kalangan yang cukup berada, sehingga pindah ke kampus ini dan itu bukan masalah. Ketika pertama kali dia mau pindah kampus, aku berusaha memahaminya, tapi sekarang, sudah yang ketiga kali, dan hal itu membuat aku berpikir, kenapa dia seperti itu.

Aku masih ingat ketika kami masih sama-sama memasuki tahun kedua kuliah. Aku masih menikmati dunia kampus, dunia baru bagiku. Namun, berbeda dengan dia, yang malah ingin pindah. Waktu itu, dia menjelaskan alasannya pindah karena salah pilih jurusan. Nah, aku pun memberikan saran untuk pindah ke jurusan lain, tetapi kampus sama. Dia menuruti saranku, pindah ke jurusan lain.

Menjelang tahun kedua di jurusan baru tersebut, lagi-lagi dia mengulang hal yang sama. Kali ini, lebih parah, bukan pindah jurusan, tetapi pindah kampus. Dia beralasan kampusnya terlalu jauh dan dia kecapekan pergi-pulang setiap saat. Aku hanya mendengarkan ceritanya, tanpa memberikan saran. Akhirnya, dia pindah ke kampus yang lebih dekat dengan rumahnya.

Tidak lama kemudian, dia mengeluhkan tentang suasana kampusnya yang sangat tidak asyik. Dia membandingkan fasilitas di kampusnya yang dulu dan sekarang. Aku pun lagi-lagi hanya mendengarkan. Sampai pada suatu hari, dia mengeluh lama sekali dan akhirnya bertanya: “apa gw pindah kampus laen aja, ya?”. Entah kenapa, emosiku langsung naik dan aku malah memarahinya, karena tidak memikirkan dampak dan biaya yang dikeluarkan jika selalu pindah kampus.

Bakat dan Minat

Aku mulai mengingat semua ceritanya. Alasan dia pindah jurusan, karena jurusan yang diikuti tak sesuai minat. Memahami minat dan bakat memang penting, karena itu mampu membantu menentukan jurusan yang akan kita ambil. Oleh karena itu, beberapa sekolah menyediakan tes minat dan bakat, untuk memperkecil kemungkinan salah memilih jurusan.
Namun, ketika dia mau pindah kampus, aku mulai bertanya dalam diri sendiri, apakah benar waktu itu dia salah jurusan? Setelah dia sering bercerita, akhirnya aku mengetahui alasan dia pindah kampus, karena pacarnya. Dulu, dia pacaran dengan teman satu kampus. Nah, saat memutuskan pindah kampus, dia memang sedang pacaran dengan salah seorang mahasiswa di universitas yang ditujunya. Kali ini, dia pindah kampus pun tidak lama setelah putus dari pacarnya dan “mantannya” itu telah punya pacar lain.

Aku jadi teringat masa lalu, ketika kami baru lulus SMA. Aku sempat bertanya alasan dia memilih kampus dan jurusan pertamanya dan dengan bangga dia menjelaskan segala fasilitas di kampusnya dan teman-teman di sana. Sekarang, aku baru menyadari bahwa dia memang selalu ‘mengikuti arus’. Teman dan pacar adalah orang yang bisa memengaruhi keputusannya.

Jika dilihat latar belakang keluarga, dia berasal dari keluarga mampu. Dia memiliki kakak laki-laki. Namun, sayang, orangtuanya sibuk mencari uang dan jarang meluangkan waktu untuknya. Orangtuanya memanjakan temanku itu dengan menuruti apa pun yang diminta dan tidak memberikan arahan. Kakaknya tidak punya waktu untuknya, karena juga sibuk pacaran. Tidak heran kalau temanku itu pun menghabiskan waktunya untuk pacaran dan bermain dengan teman-temannya. Sebenarnya, semua itu hanya pelarian dari kesendiriannya dan ketidaktahuan akan tujuan hidupnya.

Ya, orang seusiaku memang masih labil, masih mencari jati diri, dan masih membutuhkan arahan, tetapi tidak terlalu mau diarahkan. Orang seusiaku sedang menikmati hidup bersama teman dan dunia baru , sehingga agak sulit membuka diri kepada orangtua, sekalipun sangat dibutuhkan. Beruntunglah aku memiliki kakak yang mengerti aku. Dia yang selama ini mengarahkanku. Di kampus, aku juga dekat dengan dosen-dosen. Mereka juga yang membantuku mengembangkan minat dan bakat.

Tidak ada salahnya kalau kita suka diskusi dengan seseorang yang lebih berpengalaman dari kita dan itu tidak harus orangtua kita. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari mereka yang lebih berpengalaman dan membantu memperbaiki ‘kompas’ masa depan kita.

Menurut Joseph Cornell dalam bukunya Sharing Nature, ada empat tahapan proses belajar. Pertama, menyadari antusiasme. Misalnya, menyadari hal-hal yang kita sukai, sehingga kita selalu bersemangat melakukannya. Kedua, fokus perhatian. Jika kita sudah menyadari apa yang kita sukai, akan lebih baik jika kita tetap fokus terhadap hal itu. Ketiga, pengalaman langsung. Jangan pernah berhenti mencoba hal-hal baru. Kegagalan merupakan suatu bagian dari belajar, karena pengalaman adalah guru yang terbaik. Keempat, berbagi inspirasi. Terkadang banyak hal yang kita pikirkan, tidak ada salahnya untuk berbagi, karena ketika kita berbagi kita pun mendapatkan hal baru yang belum tentu terpikir oleh kita.

Jadi, dunia kampus, seperti pertemanan dengan komunitas, lingkungan yang kadang tak nyaman, event seru buat anak kampus, hingga konflik dengan teman kampus, tugas-tugas yang menyebalkan sampai dosen-dosen yang membosankan, adalah bagian dari proses pembelajaran yang harus kita lewati. So, don’t give up easily friends!

Akhirnya, aku menyadari, dunia kampus bukanlah sekadar memenuhi sejumlah SKS dan mendapatkan gelar sarjana, tetapi juga untuk mengembangkan dan menemukan tujuan hidup, sesuai minat dan bakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar