Lagi dan
lagi temanku pindah kampus. Ya, memang dia dari kalangan yang cukup berada,
sehingga pindah ke kampus ini dan itu bukan masalah. Ketika pertama kali dia
mau pindah kampus, aku berusaha memahaminya, tapi sekarang, sudah yang ketiga
kali, dan hal itu membuat aku berpikir, kenapa dia seperti itu.
Aku masih
ingat ketika kami masih sama-sama memasuki tahun kedua kuliah. Aku masih
menikmati dunia kampus, dunia baru bagiku. Namun, berbeda dengan dia, yang
malah ingin pindah. Waktu itu, dia menjelaskan alasannya pindah karena salah
pilih jurusan. Nah, aku pun memberikan saran untuk pindah ke jurusan lain,
tetapi kampus sama. Dia menuruti saranku, pindah ke jurusan lain.
Menjelang
tahun kedua di jurusan baru tersebut, lagi-lagi dia mengulang hal yang sama.
Kali ini, lebih parah, bukan pindah jurusan, tetapi pindah kampus. Dia
beralasan kampusnya terlalu jauh dan dia kecapekan pergi-pulang setiap saat.
Aku hanya mendengarkan ceritanya, tanpa memberikan saran. Akhirnya, dia pindah
ke kampus yang lebih dekat dengan rumahnya.
Tidak lama
kemudian, dia mengeluhkan tentang suasana kampusnya yang sangat tidak asyik.
Dia membandingkan fasilitas di kampusnya yang dulu dan sekarang. Aku pun
lagi-lagi hanya mendengarkan. Sampai pada suatu hari, dia mengeluh lama sekali
dan akhirnya bertanya: “apa gw pindah kampus laen aja, ya?”.
Entah kenapa, emosiku langsung naik dan aku malah memarahinya, karena tidak
memikirkan dampak dan biaya yang dikeluarkan jika selalu pindah kampus.
Bakat dan
Minat
Aku mulai
mengingat semua ceritanya. Alasan dia pindah jurusan, karena jurusan yang
diikuti tak sesuai minat. Memahami minat dan bakat memang penting, karena itu
mampu membantu menentukan jurusan yang akan kita ambil. Oleh karena itu,
beberapa sekolah menyediakan tes minat dan bakat, untuk memperkecil kemungkinan
salah memilih jurusan.
Namun,
ketika dia mau pindah kampus, aku mulai bertanya dalam diri sendiri, apakah
benar waktu itu dia salah jurusan? Setelah dia sering bercerita, akhirnya aku
mengetahui alasan dia pindah kampus, karena pacarnya. Dulu, dia pacaran dengan
teman satu kampus. Nah, saat memutuskan pindah kampus, dia memang sedang
pacaran dengan salah seorang mahasiswa di universitas yang ditujunya. Kali ini,
dia pindah kampus pun tidak lama setelah putus dari pacarnya dan “mantannya”
itu telah punya pacar lain.
Aku jadi
teringat masa lalu, ketika kami baru lulus SMA. Aku sempat bertanya alasan dia
memilih kampus dan jurusan pertamanya dan dengan bangga dia menjelaskan segala
fasilitas di kampusnya dan teman-teman di sana. Sekarang, aku baru menyadari
bahwa dia memang selalu ‘mengikuti arus’. Teman dan pacar adalah orang yang
bisa memengaruhi keputusannya.
Jika dilihat
latar belakang keluarga, dia berasal dari keluarga mampu. Dia memiliki kakak
laki-laki. Namun, sayang, orangtuanya sibuk mencari uang dan jarang meluangkan
waktu untuknya. Orangtuanya memanjakan temanku itu dengan menuruti apa pun yang
diminta dan tidak memberikan arahan. Kakaknya tidak punya waktu untuknya,
karena juga sibuk pacaran. Tidak heran kalau temanku itu pun menghabiskan
waktunya untuk pacaran dan bermain dengan teman-temannya. Sebenarnya, semua itu
hanya pelarian dari kesendiriannya dan ketidaktahuan akan tujuan hidupnya.
Ya, orang
seusiaku memang masih labil, masih mencari jati diri, dan masih membutuhkan
arahan, tetapi tidak terlalu mau diarahkan. Orang seusiaku sedang menikmati
hidup bersama teman dan dunia baru , sehingga agak sulit membuka diri kepada
orangtua, sekalipun sangat dibutuhkan. Beruntunglah aku memiliki kakak yang
mengerti aku. Dia yang selama ini mengarahkanku. Di kampus, aku juga dekat
dengan dosen-dosen. Mereka juga yang membantuku mengembangkan minat dan bakat.
Tidak ada
salahnya kalau kita suka diskusi dengan seseorang yang lebih berpengalaman dari
kita dan itu tidak harus orangtua kita. Banyak pelajaran yang dapat kita petik
dari mereka yang lebih berpengalaman dan membantu memperbaiki ‘kompas’ masa
depan kita.
Menurut
Joseph Cornell dalam bukunya Sharing Nature, ada empat tahapan proses
belajar. Pertama, menyadari antusiasme. Misalnya, menyadari hal-hal yang
kita sukai, sehingga kita selalu bersemangat melakukannya. Kedua, fokus
perhatian. Jika kita sudah menyadari apa yang kita sukai, akan lebih baik jika
kita tetap fokus terhadap hal itu. Ketiga, pengalaman langsung. Jangan
pernah berhenti mencoba hal-hal baru. Kegagalan merupakan suatu bagian dari
belajar, karena pengalaman adalah guru yang terbaik. Keempat, berbagi
inspirasi. Terkadang banyak hal yang kita pikirkan, tidak ada salahnya untuk
berbagi, karena ketika kita berbagi kita pun mendapatkan hal baru yang belum
tentu terpikir oleh kita.
Jadi, dunia
kampus, seperti pertemanan dengan komunitas, lingkungan yang kadang tak nyaman,
event seru buat anak kampus, hingga konflik dengan teman kampus, tugas-tugas
yang menyebalkan sampai dosen-dosen yang membosankan, adalah bagian dari proses
pembelajaran yang harus kita lewati. So, don’t give up easily friends!
Akhirnya, aku menyadari, dunia
kampus bukanlah sekadar memenuhi sejumlah SKS dan mendapatkan gelar sarjana,
tetapi juga untuk mengembangkan dan menemukan tujuan hidup, sesuai minat dan
bakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar