5 Juni 2012

Perjuangan Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Din dilahirkan kurang lebih dalam tahun 1850. Ayahnya Ulebalang VI Mukim yang bernama Nanta Setia, putera Aceh keturunan perantau Minangkabau yang datang ke Aceh Besar di akhir abad ke 17. Cut Nyak Din mendapat pendidikan di lingkungan bangsawan Aceh. Ia mempunyai saudara laki-laki bernama Cut Rayut yang konon menderita penyakit syaraf. Nanta Setia, ayah Cut Nyak Din mempunyai saudara laki-laki bernama Teuku Mahmud yang kawin dengan adik raja Meulaboh. Dari perkawinan Teuku Mahmud itu lahirlah Teuku Umar. Jadi Teuku Umar adalah kemanakan Nanta Setia dan sepupu Cut Nyak Din.

Dalam sejarah hidup Cut Nyak Din setelah menjadi janda dari Ibrahim Lamnga, kemudian kawin dengan Teuku Umar yang umurnya 4 tahun lebih muda. Cut Nyak Din dibesarkan dalam masa pergolakan, yaitu masa perang Aceh melawan Belanda. Suasana buruk melanda Aceh disebabkan oleh kehadiran bangsa-bangsa asing, terutama Inggeris dan Belanda. Kedua bangsa ini pada tahun 1824 mengadakan perjanjian di London bahwa kedua bangsa itu akan menghormati integritas dan kedaulatan raja Aceh, namun dari tahun ke tahun keadaan senantiasa berubah dalam arti memburuk karena tindakan-tindakan bangsa asing itu. Pada tahun 1857 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Belanda dan Aceh, tetapi pada tahun 1858 Belanda menduduki daerah Siak yang telah menjadi daerah takluk Aceh.

Belanda dan Inggeris pada tahun 1871 tanpa sepengetahuan Aceh mengadakan perjanjian yang disebut traktat Sumatera. Dalam traktat itu Belanda diberi kekuasaan untuk mengadakan perluasan di seluruh Sumatera, juga ke daerah Aceh. Dengan adanya traktat itu Aceh merasa terancam kedaulatannya. Maka Sultan Aceh lalu mengadakan hubungan dengan negara-negara lain untuk minta bantuannya, antara lain mengirim utusan ke Turki pada tahun 1873.

Usaha lainnya ialah mengadakan persekutuan dengan konsul Italia dan Amerika Serikat di Singapura. Usaha Aceh itu cukup membuat Belanda khawatir, terutama kalau-kalau Amerika Serikat benar-benar membantu Aceh. Akhirnya usaha Aceh itu tidak membuahkan sesuatu yang nyata. Negara Islam hanya memberikan bantuan batin belaka.

Waktu perang Aceh meletus pada tahun 1873, Cut Nyak Din telah menikah dengan Ibrahim Lamnga. Pernikahan itu bahkan sudah dilaksanakan secara kawin gantung pada tahun 1862 sewaktu Cut Nyak Din masih berumur 12 tahun. Suami isteri baru berkumpul kemudian setelah sang isteri cukup umurnya. Waktu perang meletus, mereka sudah dikaruniai seorang anak.

Pada akhir Desember 1875 daerah kekuasaan Nanta Setia, yaitu VI Mukim dilanda serangan Belanda. Nanta Setia dan Ibrahim Lamnga berjuang mempertahankan daerah IV Mukim, namun terpaksa mundur. Kaum wanita termasuk Cut Nyak Din mengungsi ke daerah Biang Kala. Di sinilah Cut Nyak Din bertemu suaminya untuk penghabisan kali. Sesudah itu, dua setengah tahun kemudian ia menyaksikan jenazah suaminya di Leupon. Ibrahim Lamnga telah tewas pada tanggal 29 Juni 1878 waktu menjalankan gerilya di daerah bersama mertuanya, ayah Cut Nyak Din.

Sejak itu Cut Nyak Din menjadi janda dengan seorang anak. Ia tetap ikut berperang melawan Belanda. Baginya tidak ada damai dengan musuh. Kecuali musuh itu kaphe (kafir) mereka telah menyebabkan suaminya tewas. Sementara itu telah datang berkunjung saudara sepupunya, anak pamannya yaitu Teuku Umar yang juga pejuang gigih melawan Belanda. Teuku Umar pun hadir dalam upacara pemakaman suami Cut Nyak Din, Ibrahim Lamnga, di Montesik.

Dengan pamannya Nanta Setia, ia mengharapkan kerjasama dalam memerangi Belanda, bahkan merencanakan agar VI Mukim dapat dikuasai kembali oleh Nanta Setia. Teuku Umar memang seorang pejuang yang gagah berani. Sejak kanak-kanak ia berpendirian bebas dan suka berkelahi. Ia mendambakan menjadi pahlawan yang tangguh dan impiannya dapat dikatakan tercapai. Ia menjadi pemimpin pasukan rakyat Aceh yang kuat. Akhirnya janji kepada pamannya dapat dilaksanakan VI Mukim direbut kembali dari tangan Belanda. Pada kesempatan bekerjasama dengan pamannya itu Teuku Umar mempersunting janda muda Cut Nyak Din. Pada waktu perkawinannya Teuku Umar masih mempunyai isteri yang lain.

Nanta Setia bertempat tinggal di Lampisang yang banyak dikunjungi pejuang-pejuang Aceh. Sesuatu yang ganjil terjadi. Teuku Umar yang tinggal di sana pula tidak menyetujui rumah Cut Nyak Din banyak mendapat kunjungan pejuang-pejuang Aceh. Oleh karena itu, terjadilah pertentangan batin antara isteri dan suami.

Dalam kalangan pimpinan perjuangan Aceh pun mengalami perubahan. Teuku Cik di Tiro yang nama aslinya Mohammad Saman meninggal dunia pada tahun 1891. Pimpinan perjuangan lalu dipegang oleh puteranya yang bernama Ma' Amin di Tiro. Pasukan Ma' Amin itu tidak ketentuan tujuannya karena sering membikin gaduh di kalangan rakyat Aceh. Di VI Mukim pun demikian, maka bertindaklah Teuku Umar mengusir pasukan Ma' Amin dari sana.

Kemudian ternyata, bahwa Teuku Umar dapat mengusir pasukan Ma' Amin itu dengan mendapat bantuan Belanda. Rakyat telah cepat mencium bau busuk perbuatan Teuku Umar. Hal yang demikian itu telah membuat isterinya, Cut Nyak Din amat sedih sekali. Mulut rakyat mengatakan, sejelek-jelek Ma' Amin masih melawan Belanda, sedang Teuku Umar bersahabat dengan si kaphe, si kafir.

Ejekan demikian menyebabkan Cut Nyak Din amat menderita batin, apa lagi setelah ternyata, bahwa pada bulan Agustus 1893 Teuku Umar dengan terang-terangan memihak kepada Belanda. Dengan upacara di Banda Aceh Teuku Umar diangkat menjadi Johan Pahlawan oleh Belanda. Ia diizinkan membentuk legiun sendiri yang terdiri dari 2S0 orang dan diberi tugas mengamankan daerah Aceh Barat.

Rumahnya yang sebenarnya rumah isterinya atau rumah mertuanya disesuaikan dengan rumah pejabat militer Belanda. Tiap hari banyak tamu yang datang, tetapi bukan pejuang rakyat Aceh melainkan tamu-tamu yang memusuhi perjuangan rakyat. Teuku Umar hidup dengan kemewahan, sedang di sampingnya Cut Nyak Din amat menderita batinnya. Wanita pejuang ini dihadapkan kepada pilihan antara dua hal, yaitu setia kepada suaminya dengan meninggalkan perjuangan bangsanya, ataukah, tetap berjuang dengan melepaskan suaminya. Sedang ia mempertimbangkan dua hal yang berat itu, tiba-tiba datanglah pembesar Belanda berkunjung ke rumahnya untuk berurusan dengan Teuku Umar. Cut Nyak Din tetap pada pendiriannya, tidak sekali-kali mau menyambut kedatangan pembesar Belanda itu. Haramlah hukumnya bagi pejuang Aceh berhubungan dengan Belanda.

Dari Lamkrak yang pernah menjadi markas pusat perjuangan Teuku Cik di Tiro, datanglah sindirian dari rekan prajurit wanita kepada Cut Nyak Din, "Sampaikanlah kepada Umar, supaya ia datang ke Lamkrak untuk memerangi pasukan wanita, agar namanya bertambah harum di lingkungan Belanda." Cut Nyak Din merasa amat tersinggung dan lalu mendesak suaminya agar segera berbalik memihak pejuang rakyatnya. Sementara itu Belanda mendapat banyak keuntungan karena      jasa Teuku Umar. Banyak pos-pos pejuang di XXV Mukim dan XXVI Mukim yang dapat direbut dari tangan pejuang Aceh.

Meskipun demikian Belanda tetap curiga, terutama kalau-kalau isterinya mempengaruhi dan menghasut Teuku Johan Pahlawan agar berbalik memusuhi Belanda. Sedang Cut Nyak Din bersitegang dengan Umar, datanglah perintah agar Teuku Johan Pahlawan menundukkan Lamkrak. Untuk menjalankan perintah itu Teuku Umar mengadakan pembicaraan dengan para pembantunya. Cut Nyak Din mendengarkan pembicaraan mereka dari balik pintu. Putusan rapat itu diluar dugaan dan sekaligus menggembirakan hati Cut Nyak Din yaitu, bahwa Umar segera berbalik memusuhi Belanda dan memihak perjuangan rakyatnya. Hal ini tidak saja disebabkan oleh desakan isterinya, tetapi karena Teuku Umar tidak tahan mengalami kecurigaan dan penghinaan oleh pembesar-pembesar Belanda, baik kepada pribadinya maupun terhadap isterinya.

Pada tanggal 30 Maret 1896 Teuku Umar menyatakan terang- terangan kepada Belanda, bahwa ia keluar dari dinas militer Belanda. Ia kembali ke pihak pejuang Aceh dengan membawa lari 800 pucuk senapan dengan 25.000 butir peluru, peralatan lainnya serta uang.

Akibat dari berbaliknya Teuku Umar itu pimpinan militer di Jakarta segera mengirimkan kolonel van Heutsz untuk bertindak keras terhadap Aceh. Tindakan kejam dilakukan. Lampisang diserang habis-habisan. Rumah Cut Nyak Din dihancurkan, Cut Nyak Din mengungsi ke Leupong, tempat Teuku Umar bertahan setelah mundur dari VI Mukim. Kemudian mereka berangkat ke Pidie dengan melintasi Bukit Barisan. Di sana Umar berunding dengan para pejuang Aceh. Bersama-sama temannya ia mengatur perlawanan dengan segala kekuatannya, namun terpaksa mengakui keunggulan lawannya.

Pasukan Teuku Umar mundur dari Pidie ke Meulaboh tempat kelahirannya. Pasukan van Heutsz terus mengejarnya hingga terjadi pertempuran yang amat sengit sekali. Belanda dengan kekuatan pertempuran yang besar dan peralatan yang lengkap menyerang pasukan Teuku Umar, sedang Teuku Umar bertahan dengan segenap keberanian dan kekuatannya, pantang mundur. Korban yang jatuh dari dua belah pihak banyak, akhirnya dalam pertempuran yang memuncak Teuku Umar tewas tertembak dalam pertempuran tanggal 11 Pebruari 1899.

Pada tahun terakhir abad ke-19 itulah Teuku Umar gugur. Jenazahnya dimakamkan jauh ke padalaman Meulaboh. Cut Nyak Din yang sudah berusia hampir 50 tahun ikut dalam perjalanan pemakaman itu. Di pedalaman Meulaboh itulah Cut Nyak Din mengungsi, menghindarkan diri dari penangkapan Belanda. Keadaannya menyedihkan. Makanan tidak mencukupi, bahkan tidak memenuhi persyaratan gizi minimal.

Oleh karena itu matanya terserang rabun, sedang panyakit encok menyerang pula. Dalam keadaan yang menderita itulah salah seorang tangan kanan Teuku Umar yang bernama Pang Leot mengikuti dan menjaganya dengan setia. Selama enam tahun mengikuti Cut Nyak Din dalam pengungsian, Pang Leot berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga kesehatan Cut Nyak Din, namun tidak berdaya.

Makin lama tampak kesehatan Cut Nyak Din makin mundur. Pang Leot memahami pendirian Cut Nyak Din, lebih baik mati dari pada menyerah kepada Belanda. Oleh karena itu Pang Leot tidak pernah menganjurkan agar ia menyerah kepada Belanda, tetapi hatinya makin tak tahan melihat penderitaan wanita pejuang yang sudah meningkat berusia lanjut itu.

Setelah Pang Leot mempertimbangkan masak-masak, ia sampai kepada tekad untuk mengakhiri penderitaan Cut Nyak Din. Rasa perikemanusiaannya tidak menginginkan ia melihat Cut Nyak Din menderita lebih lama. Oleh karena itu ia menempuh jalan yang sebenarnya ia sendiri tidak menghendakinya. Tekadnya bulat, bersedia di kemudian hari menjadi cemoohan dan di persalahkan orang. Pada bulan Oktober 1905 ia menemui seorang letnan Belanda bernama van Vuuren dan mengungkapkan tempat kediaman Cut Nyak Din.

Dalam minggu pertama bulan Nopember 1905 van Vuuren dengan anak buahnya menyerbu persembunyiannya Cut Nyak Din. Wanita pejuang itu amat terkejut waktu mengetahui pasukan Belanda menghampirinya. Seketika ia mencabut rencongnya untuk melawan dan kemudian untuk membunuh diri, tetapi secepat kilat tangan seorang serdadu berhasil menangkapnya. Van Vuuren membawa Cut Nyak Din ke Banda Aceh dengan janji akan memperlakukannya dengan baik. Di Banda Aceh Cut Nyak Din mendapat pengobatan rabun matanya dan encoknya.

Tertangkapnya Cut Nyak Din yang telah dapat dibawa ke Banda Aceh merupakan berita yang mengejutkan orang banyak. Dan datanglah banyak tamu yang mengunjunginya. Oleh karena itu timbullah kekhawatiran Belanda bahwa tertangkapnya dan kehadiran Cut Nyak Din di Banda Aceh mungkin menyebabkan kemarahan rakyat Aceh yang akan menuntut balas, maka wanita pejuang Aceh itu lalu diasingkan ke Sumedang, tanah pasundan di Jawa Barat.

Sebagai layaknya orang dalam pengasingan semua keperluan hidup Cut Nyak Din dicukupi, namun wanita pejuang Aceh yang sudah lanjut usianya itu tidak pernah merasakan senang. Permintaannya kembali ke Aceh tidak pernah mendapat persetujuan hingga ia wafat pada tanggal 6 Nopember 1908 di Sumedang.

Jenazahnya dimakamkan di sana. Rakyat menghormati almarhumah sebagai wanita pejuang bangsa. Cut Nyak Din meninggalkan dua orang anak, seorang didapat dari perkawinan dengan Ibrahim Lamnga dan seorang dari Teuku Umar, yang terakhir adalah seorang wanita yang diberi nama Cut Nyak Gombong yang kelak kawin dengan Teuku Mayet di Tiro.

Pemerintah RI dengan SK Presiden No. 106/Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 menganugerahi Cut Nyak Din gelar Pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar