Cut Nyak Din
dilahirkan kurang lebih dalam tahun 1850. Ayahnya Ulebalang VI Mukim yang
bernama Nanta Setia, putera Aceh keturunan perantau Minangkabau yang datang ke
Aceh Besar di akhir abad ke 17. Cut Nyak Din mendapat pendidikan di lingkungan
bangsawan Aceh. Ia mempunyai saudara laki-laki bernama Cut Rayut yang konon
menderita penyakit syaraf. Nanta Setia, ayah Cut Nyak Din mempunyai saudara
laki-laki bernama Teuku Mahmud yang kawin dengan adik raja Meulaboh. Dari
perkawinan Teuku Mahmud itu lahirlah Teuku Umar. Jadi Teuku Umar adalah
kemanakan Nanta Setia dan sepupu Cut Nyak Din.
Dalam
sejarah hidup Cut Nyak Din setelah menjadi janda dari Ibrahim Lamnga, kemudian
kawin dengan Teuku Umar yang umurnya 4 tahun lebih muda. Cut Nyak Din
dibesarkan dalam masa pergolakan, yaitu masa perang Aceh melawan Belanda.
Suasana buruk melanda Aceh disebabkan oleh kehadiran bangsa-bangsa asing,
terutama Inggeris dan Belanda. Kedua bangsa ini pada tahun 1824 mengadakan
perjanjian di London bahwa kedua bangsa itu akan menghormati integritas dan
kedaulatan raja Aceh, namun dari tahun ke tahun keadaan senantiasa berubah
dalam arti memburuk karena tindakan-tindakan bangsa asing itu. Pada tahun 1857
ditandatangani perjanjian persahabatan antara Belanda dan Aceh, tetapi pada tahun
1858 Belanda menduduki daerah Siak yang telah menjadi daerah takluk Aceh.
Belanda dan
Inggeris pada tahun 1871 tanpa sepengetahuan Aceh mengadakan perjanjian yang
disebut traktat Sumatera. Dalam traktat itu Belanda diberi
kekuasaan untuk mengadakan perluasan di seluruh Sumatera, juga ke daerah Aceh.
Dengan adanya traktat itu Aceh merasa terancam kedaulatannya. Maka Sultan Aceh
lalu mengadakan hubungan dengan negara-negara lain untuk minta bantuannya,
antara lain mengirim utusan ke Turki pada tahun 1873.
Usaha
lainnya ialah mengadakan persekutuan dengan konsul Italia dan Amerika Serikat
di Singapura. Usaha Aceh itu cukup membuat Belanda khawatir, terutama
kalau-kalau Amerika Serikat benar-benar membantu Aceh. Akhirnya usaha Aceh itu
tidak membuahkan sesuatu yang nyata. Negara Islam hanya memberikan bantuan
batin belaka.
Waktu perang
Aceh meletus pada tahun 1873, Cut Nyak Din telah menikah dengan Ibrahim Lamnga.
Pernikahan itu bahkan sudah dilaksanakan secara kawin gantung pada tahun 1862
sewaktu Cut Nyak Din masih berumur 12 tahun. Suami isteri baru berkumpul
kemudian setelah sang isteri cukup umurnya. Waktu perang meletus, mereka sudah
dikaruniai seorang anak.
Pada akhir
Desember 1875 daerah kekuasaan Nanta Setia, yaitu VI Mukim dilanda serangan
Belanda. Nanta Setia dan Ibrahim Lamnga berjuang mempertahankan daerah IV
Mukim, namun terpaksa mundur. Kaum wanita termasuk Cut Nyak Din mengungsi ke
daerah Biang Kala. Di sinilah Cut Nyak Din bertemu suaminya untuk penghabisan
kali. Sesudah itu, dua setengah tahun kemudian ia menyaksikan jenazah suaminya
di Leupon. Ibrahim Lamnga telah tewas pada tanggal 29 Juni 1878 waktu
menjalankan gerilya di daerah bersama mertuanya, ayah Cut Nyak Din.
Sejak itu
Cut Nyak Din menjadi janda dengan seorang anak. Ia tetap ikut berperang melawan
Belanda. Baginya tidak ada damai dengan musuh. Kecuali musuh itu kaphe (kafir)
mereka telah menyebabkan suaminya tewas. Sementara itu telah datang berkunjung
saudara sepupunya, anak pamannya yaitu Teuku Umar yang juga pejuang gigih melawan
Belanda. Teuku Umar pun hadir dalam upacara pemakaman suami Cut Nyak Din,
Ibrahim Lamnga, di Montesik.
Dengan
pamannya Nanta Setia, ia mengharapkan kerjasama dalam memerangi Belanda, bahkan
merencanakan agar VI Mukim dapat dikuasai kembali oleh Nanta Setia. Teuku Umar
memang seorang pejuang yang gagah berani. Sejak kanak-kanak ia berpendirian
bebas dan suka berkelahi. Ia mendambakan menjadi pahlawan yang tangguh dan
impiannya dapat dikatakan tercapai. Ia menjadi pemimpin pasukan rakyat Aceh
yang kuat. Akhirnya janji kepada pamannya dapat dilaksanakan VI Mukim direbut
kembali dari tangan Belanda. Pada kesempatan bekerjasama dengan pamannya itu
Teuku Umar mempersunting janda muda Cut Nyak Din. Pada waktu perkawinannya
Teuku Umar masih mempunyai isteri yang lain.
Nanta Setia
bertempat tinggal di Lampisang yang banyak dikunjungi pejuang-pejuang Aceh.
Sesuatu yang ganjil terjadi. Teuku Umar yang tinggal di sana pula tidak
menyetujui rumah Cut Nyak Din banyak mendapat kunjungan pejuang-pejuang Aceh.
Oleh karena itu, terjadilah pertentangan batin antara isteri dan suami.
Dalam
kalangan pimpinan perjuangan Aceh pun mengalami perubahan. Teuku Cik di Tiro
yang nama aslinya Mohammad Saman meninggal dunia pada tahun 1891. Pimpinan
perjuangan lalu dipegang oleh puteranya yang bernama Ma' Amin di Tiro. Pasukan
Ma' Amin itu tidak ketentuan tujuannya karena sering membikin gaduh di kalangan
rakyat Aceh. Di VI Mukim pun demikian, maka bertindaklah Teuku Umar mengusir
pasukan Ma' Amin dari sana.
Kemudian
ternyata, bahwa Teuku Umar dapat mengusir pasukan Ma' Amin itu dengan mendapat
bantuan Belanda. Rakyat telah cepat mencium bau busuk perbuatan Teuku Umar. Hal
yang demikian itu telah membuat isterinya, Cut Nyak Din amat sedih sekali.
Mulut rakyat mengatakan, sejelek-jelek Ma' Amin masih melawan Belanda, sedang
Teuku Umar bersahabat dengan si kaphe, si kafir.
Ejekan
demikian menyebabkan Cut Nyak Din amat menderita batin, apa lagi setelah
ternyata, bahwa pada bulan Agustus 1893 Teuku Umar dengan terang-terangan
memihak kepada Belanda. Dengan upacara di Banda Aceh Teuku Umar diangkat
menjadi Johan Pahlawan oleh Belanda. Ia diizinkan membentuk legiun sendiri yang
terdiri dari 2S0 orang dan diberi tugas mengamankan daerah Aceh Barat.
Rumahnya
yang sebenarnya rumah isterinya atau rumah mertuanya disesuaikan dengan rumah
pejabat militer Belanda. Tiap hari banyak tamu yang datang, tetapi bukan
pejuang rakyat Aceh melainkan tamu-tamu yang memusuhi perjuangan rakyat. Teuku
Umar hidup dengan kemewahan, sedang di sampingnya Cut Nyak Din amat menderita
batinnya. Wanita pejuang ini dihadapkan kepada pilihan antara dua hal, yaitu
setia kepada suaminya dengan meninggalkan perjuangan bangsanya, ataukah, tetap
berjuang dengan melepaskan suaminya. Sedang ia mempertimbangkan dua hal yang
berat itu, tiba-tiba datanglah pembesar Belanda berkunjung ke rumahnya untuk
berurusan dengan Teuku Umar. Cut Nyak Din tetap pada pendiriannya, tidak
sekali-kali mau menyambut kedatangan pembesar Belanda itu. Haramlah hukumnya
bagi pejuang Aceh berhubungan dengan Belanda.
Dari Lamkrak
yang pernah menjadi markas pusat perjuangan Teuku Cik di Tiro, datanglah
sindirian dari rekan prajurit wanita kepada Cut Nyak Din, "Sampaikanlah
kepada Umar, supaya ia datang ke Lamkrak untuk memerangi pasukan wanita, agar
namanya bertambah harum di lingkungan Belanda." Cut Nyak Din merasa amat
tersinggung dan lalu mendesak suaminya agar segera berbalik memihak pejuang
rakyatnya. Sementara itu Belanda mendapat banyak keuntungan karena
jasa Teuku Umar. Banyak pos-pos pejuang di XXV Mukim dan XXVI Mukim yang dapat
direbut dari tangan pejuang Aceh.
Meskipun
demikian Belanda tetap curiga, terutama kalau-kalau isterinya mempengaruhi dan
menghasut Teuku Johan Pahlawan agar berbalik memusuhi Belanda. Sedang Cut Nyak
Din bersitegang dengan Umar, datanglah perintah agar Teuku Johan Pahlawan
menundukkan Lamkrak. Untuk menjalankan perintah itu Teuku Umar mengadakan
pembicaraan dengan para pembantunya. Cut Nyak Din mendengarkan pembicaraan
mereka dari balik pintu. Putusan rapat itu diluar dugaan dan sekaligus
menggembirakan hati Cut Nyak Din yaitu, bahwa Umar segera berbalik memusuhi
Belanda dan memihak perjuangan rakyatnya. Hal ini tidak saja disebabkan oleh
desakan isterinya, tetapi karena Teuku Umar tidak tahan mengalami kecurigaan
dan penghinaan oleh pembesar-pembesar Belanda, baik kepada pribadinya maupun
terhadap isterinya.
Pada tanggal
30 Maret 1896 Teuku Umar menyatakan terang- terangan kepada Belanda, bahwa ia
keluar dari dinas militer Belanda. Ia kembali ke pihak pejuang Aceh dengan
membawa lari 800 pucuk senapan dengan 25.000 butir peluru, peralatan lainnya
serta uang.
Akibat dari
berbaliknya Teuku Umar itu pimpinan militer di Jakarta segera mengirimkan
kolonel van Heutsz untuk bertindak keras terhadap Aceh. Tindakan kejam
dilakukan. Lampisang diserang habis-habisan. Rumah Cut Nyak Din dihancurkan,
Cut Nyak Din mengungsi ke Leupong, tempat Teuku Umar bertahan setelah mundur
dari VI Mukim. Kemudian mereka berangkat ke Pidie dengan melintasi Bukit Barisan.
Di sana Umar berunding dengan para pejuang Aceh. Bersama-sama temannya ia
mengatur perlawanan dengan segala kekuatannya, namun terpaksa mengakui
keunggulan lawannya.
Pasukan
Teuku Umar mundur dari Pidie ke Meulaboh tempat kelahirannya. Pasukan van Heutsz
terus mengejarnya hingga terjadi pertempuran yang amat sengit sekali. Belanda
dengan kekuatan pertempuran yang besar dan peralatan yang lengkap menyerang
pasukan Teuku Umar, sedang Teuku Umar bertahan dengan segenap keberanian dan
kekuatannya, pantang mundur. Korban yang jatuh dari dua belah pihak banyak,
akhirnya dalam pertempuran yang memuncak Teuku Umar tewas tertembak dalam
pertempuran tanggal 11 Pebruari 1899.
Pada tahun
terakhir abad ke-19 itulah Teuku Umar gugur. Jenazahnya dimakamkan jauh ke padalaman
Meulaboh. Cut Nyak Din yang sudah berusia hampir 50 tahun ikut dalam perjalanan
pemakaman itu. Di pedalaman Meulaboh itulah Cut Nyak Din mengungsi,
menghindarkan diri dari penangkapan Belanda. Keadaannya menyedihkan. Makanan
tidak mencukupi, bahkan tidak memenuhi persyaratan gizi minimal.
Oleh karena
itu matanya terserang rabun, sedang panyakit encok menyerang pula. Dalam keadaan
yang menderita itulah salah seorang tangan kanan Teuku Umar yang bernama Pang
Leot mengikuti dan menjaganya dengan setia. Selama enam tahun mengikuti Cut
Nyak Din dalam pengungsian, Pang Leot berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga
kesehatan Cut Nyak Din, namun tidak berdaya.
Makin lama
tampak kesehatan Cut Nyak Din makin mundur. Pang Leot memahami pendirian Cut
Nyak Din, lebih baik mati dari pada menyerah kepada Belanda. Oleh karena itu
Pang Leot tidak pernah menganjurkan agar ia menyerah kepada Belanda, tetapi
hatinya makin tak tahan melihat penderitaan wanita pejuang yang sudah meningkat
berusia lanjut itu.
Setelah Pang
Leot mempertimbangkan masak-masak, ia sampai kepada tekad untuk mengakhiri
penderitaan Cut Nyak Din. Rasa perikemanusiaannya tidak menginginkan ia melihat
Cut Nyak Din menderita lebih lama. Oleh karena itu ia menempuh jalan yang
sebenarnya ia sendiri tidak menghendakinya. Tekadnya bulat, bersedia di
kemudian hari menjadi cemoohan dan di persalahkan orang. Pada bulan Oktober
1905 ia menemui seorang letnan Belanda bernama van Vuuren dan mengungkapkan
tempat kediaman Cut Nyak Din.
Dalam minggu
pertama bulan Nopember 1905 van Vuuren dengan anak buahnya menyerbu
persembunyiannya Cut Nyak Din. Wanita pejuang itu amat terkejut waktu
mengetahui pasukan Belanda menghampirinya. Seketika ia mencabut rencongnya
untuk melawan dan kemudian untuk membunuh diri, tetapi secepat kilat tangan
seorang serdadu berhasil menangkapnya. Van Vuuren membawa Cut Nyak Din ke Banda
Aceh dengan janji akan memperlakukannya dengan baik. Di Banda Aceh Cut Nyak Din
mendapat pengobatan rabun matanya dan encoknya.
Tertangkapnya
Cut Nyak Din yang telah dapat dibawa ke Banda Aceh merupakan berita yang
mengejutkan orang banyak. Dan datanglah banyak tamu yang mengunjunginya. Oleh
karena itu timbullah kekhawatiran Belanda bahwa tertangkapnya dan kehadiran Cut
Nyak Din di Banda Aceh mungkin menyebabkan kemarahan rakyat Aceh yang akan
menuntut balas, maka wanita pejuang Aceh itu lalu diasingkan ke Sumedang, tanah
pasundan di Jawa Barat.
Sebagai
layaknya orang dalam pengasingan semua keperluan hidup Cut Nyak Din dicukupi,
namun wanita pejuang Aceh yang sudah lanjut usianya itu tidak pernah merasakan
senang. Permintaannya kembali ke Aceh tidak pernah mendapat persetujuan hingga
ia wafat pada tanggal 6 Nopember 1908 di Sumedang.
Jenazahnya
dimakamkan di sana. Rakyat menghormati almarhumah sebagai wanita pejuang
bangsa. Cut Nyak Din meninggalkan dua orang anak, seorang didapat dari
perkawinan dengan Ibrahim Lamnga dan seorang dari Teuku Umar, yang terakhir
adalah seorang wanita yang diberi nama Cut Nyak Gombong yang kelak kawin dengan
Teuku Mayet di Tiro.
Pemerintah
RI dengan SK Presiden No. 106/Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 menganugerahi
Cut Nyak Din gelar Pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar