7 Juni 2012

Kisahnya Lelaki Yang Ingin Menangis


Alangkah ganjil cerita yang hendak aku uraikan padamu ini, Kawan. Kisah tentang seorang lelaki yang begitu ingin menangis. Sampai-sampai, ia rela mengembara dari tanah ke tanah, dari air ke air, dari rimba ke rimba, hanya untuk mencari cara agar ia bisa menangis. Oi, tidakkah itu terdengar ganjil di kupingmu? Ada seorang lelaki yang ingin menangis. Ya zaman, betapa ajaib dunia ini. Dimana-mana lelaki tak ingin menangis. Lelaki ingin terlihat kuat, gagah, dan tentu saja jantan. Lalu, mengapa lelaki yang hendak aku ceritakan padamu ini ingin sekali menangis? Ai, simaklah dengan seksama ceritaku ini. Tentu bila telah tuntas, kau akan dapat jawabannya.
Pada mulanya, aku bertemu lelaki ini di suatu senja yang demikian kerontang. Petang yang terasa begitu meranggas dan udara terasa sangat panas. Ia tegak di sana, di tepi jembatan yang senyap. Tak ada siapa-siapa yang lewat. Pun kesiur angin yang menyapa. Pada wajahnya yang tergurat demikian keras, kutemukan balada tak berujung pangkal. Ah, wajah keruh itulah yang membuatku tertarik untuk bersuara.
“Bila kau hendak bunuh diri dan terjun dari jembatan ini, saya jamin kau tidak akan mati. Air di bawah sana tak cukup dalam, tak banyak bebatuan, dan jembatan ini pun tingginya hanya beberapa hasta. Bocah-bocah malah saban menjelang Asar, mandi dan meloncat dari jembatan ini.”
Ia mengerling, hanya sekilas pintas, kemudian melarikan kembali matanya jauh ke ujung sungai yang hilang dalam rimbun pepohonan di hilir sana. Aku senyap. Alangkah menyebalkannya, ia tak menanggapi apa yang kuucapkan. Oi, mungkinkah lelaki yang kusapa ini adalah orang gila? Seketika itu jua, kuamati lekat-lekat badannya. Kaos oblong warna coklat yang memudar, celana biru yang sudah dekil dan hilang warna, rambut panjang awut-awutan, kumis, jenggot, dan cabang demkian liar bersarang di wajah. Ai, mungkin benarlah dugaanku barusan. Lelaki ini adalah orang gila yang tersasar di kampung kami nan damai.
Ketika kusepakati pikiranku, lamat-lamat aku melangkah, berusaha melewatinya dan tentu saja akan gegas meninggalkannya. Namun, sebatang kalimat yang ia lontarkan telah menjenggal langkah yang baru saja kubuat.
“Aku ingin mencari seseorang yang bisa mengajariku menangis. Apa kau tahu? Mungkin ia ada di kampung ini.”
Allahurobbi, alangkah ajaib pernyataan lelaki itu. Beberapa detik aku senyap, walau sejatinya tawaku hendak menyembur demikian lepas. Benar saja. Mungkin, ia seorang lelaki gila. Mencari seseorang untuk mengajarinya menangis. Edan. Dari bayi saja manusia sudah bisa menangis, tak perlu diajari.
“Kau bukanlah orang pertama yang hendak tertawa mendengarnya. Mungkin kau adalah orang yang kesekian ratus, bahkan ribu, yang merasa demikian lucu perkataanku. Tapi, aku benar-benar mencari orang yang bisa mengajariku menangis.”
Dan, mata lelaki itu begitu lekat, begitu tajam menghujam ke kedalaman retinaku. Aku tercekat. Di matanya yang hitam, kutemukan kesungguhan dan kewarasan yang demikian terjaga. Ia tak bergurau atau pun tengah berkelakar. Seketika, aku dibaluri senyap yang demikian pekat. Entah, mendadak saja lidahku berubah bebal, kelu, dan terasa begitu kesat. Aku tak tahu harus bercakap apa.
“Me.., mengapa kau ingin belajar menangis? Bukankah setiap orang bisa menangis?” pertanyaan itu terluncur dengan terbata-bata dari lidahku. Entahlah, bagiku masih sangat ajaib apa yang lelaki itu katakan. Ia ingin mencari seseorang yang bisa mengajarinya menangis? Ahai, alangkah ganjilnya. Begitu geli terdengar di lidahku, hingga lidahku pun menggelinjang. Mati-matian kutahan tawa yang meronta.
“Akan panjang bila kukisahkan,” seketika mata lelaki itu redup, serupa bola lampu yang akan mati. Aku kian terbungkam sekaligus bertambah penasaran.
“Ceritakanlah, mungkin saja aku akan paham dan bisa menolongmu,” tak tahulah darimana kata-kata bijak itu berasal, ia terluncur begitu saja dari lidahku yang tadi mendadak bebal. Lelaki itu mengerlingkan matanya, menatapku beberapa lama, kemudian kembali melarikan retinanya ke arah liukan air sungai yang menari dengan gemulai ke hilir sana.
Dan cerita itu terurai dengan deras dari mulutnya. Kisah yang seketika membuat kudukku meremang, tengkukku dingin, dan lutut gemetar. Alahai, betapa mataku membulat dan liur berkali-kali kudorong masuk ke dalam tenggorokkan. Aku.., aku tak kuasa mendengar ceritanya yang demikian menakutkan. Tapi, aku pun harus ingat dengan janjiku kepada lelaki itu: Menolongnya mencari seseorang yang bisa mengajarinya menangis setelah ia berkisah padaku. Dan susah payah kujinakkan lidah agar kisah ini terurai padamu, Kawan. Inilah cerita lelaki itu padaku.
Ia tak hendak disebut namanya, lantaran tak ingin mengorek luka di dadanya yang demikian dalam. Luka yang katanya telah berulat dan bernanah. Baiklah, kita tak usah risaukan masalah namanya itu. Biarkanlah saja, mungkin ia perlu sedikit privacy dan kita hargai itu. Nah, simaklah cerita tentang hidupnya yang kelam, hingga membuatnya tak bisa menangis.
Pada kisah pertamanya, lelaki itu mengaku telah membunuh ibu kandungnya. Oi, dapatlah kau tebak, Kawan, seketika aku tersurut saat ia mengungkap itu. Alangkah gila yang ia ceritakan? Ia membunuh ibu kandungnya lantaran berebut harta pusaka warisan bapaknya. Tersebab, lelaki itu merasa ibunya tak adil membagi semua harta. Mengapa adik-adik perempuanku harus dapat bagian? Bukankah semua itu hakku sebagai anak laki-laki bapak. Itulah yang membuat ia tega membunuh ibunya. Semua itu membuatnya terlempar ke dalam penjara yang pengap. Dan bahkan terbuang dari kampung halaman, dijauhi oleh teman-temanya, bahkan tak diakui oleh seluruh keluarga dan saudaranya.
Dalam penjara itulah, lelaki itu berkawan dengan penjahat. Segala rupa ada. Pembunuh. Perampok. Pemerkosa. Pengedar obat haram. Bahkan orang-orang sekelas pemaling ayam. Semua ada. Dan ia seolah menemukan dunia yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Usai terkurung dalam penjara pengap bertahun-tahun lamanya, lelaki itu bebas, tersebab hakim hanya menjatuhinya hukuman dengan kurun waktu tertentu saja, lantaran ia terbukti tak membunuh dengan rencana.
Selepas itu, dicarinyalah kawan-kawan penjahatnya. Dan dimulailah kisah keduanya. Ia menjadi begundal di dunia hitam. Merampok. Memperkosa. Bergelut dengan pelacur. Mabuk. Judi. Dan segala hal yang terasa begitu bersahabat dengan dirinya. Hingga ia keluar masuk penjara, sampai-sampai lelaki itu pun lupa telah berapa kali ia terdampar di sel-sel pengap itu.
Oi, Kawan. Seketika aku tak dapat berkata-kata. Alangkah mengerikan jalan hidup lelaki yang ingin menangis ini. Membunuh ibu kandungnya. Ah, tak dapat itu kunalar dengan akal. Dalam benakku yang terdalam, tak pernah terlintas cerita demikian rupa. Kupikir, sebuas apapun binatang di rimba dunia ini, tak akan mampu ia membunuh ibunya. Nyatanya, itu salah. Lelaki yang ingin menangis itu telah melakukannya. Bahkan kisah hidupnya yang bergelut dengan dosa; merampok, memperkosa, mabuk, berzina, berjudi, dan hingar bingarnya saja telah membuat kepalaku pusing alang.
Lalu, mengapa lelaki itu tiba-tiba ingin menangis? Itu pulalah yang terus menggelitik isi kepalaku sepanjang lelaki itu berkisah di atas jembatan petang itu. Seolah paham dengan apa yang bersarang dalam batok kepalaku, lelaki itu menguraikan cerita tentang keinginannya menangis.
Ketika aku masuk penjara yang kesekian kalinya, aku satu sel dengan seorang lelaki yang rajin sembahyang. Dari raut mukanya, kuterka ia terlempar dalam bilik jeruji itu karena sebuah kesalahan. Tak dapat kubayangkan, lelaki serupa itu seorang begundal macam diriku. Nyatanya, aku sedikit benar. Lelaki itu seorang alim di kampungnya. Entahlah, ia tak hendak berkisah tentang musabab dirinya ada di penjara. Dan aku bukanlah seseorang yang suka mendengarkan orang berkisah.
Dari kawan penjaranya yang rajin sembahyang itulah, lelaki yang ingin menangis menemukan sesuatu yang beda dalam hidupnya. Mulanya, ia sangat muak ketika lelaki itu selalu saja mengoceh tentang hakikat manusia ada di dunia fana. Tentang Tuhan. Neraka. Surga. Dan segala tetek bengek yang membuat kepala lelaki itu pening bukan buatan. Bahkan, ia pernah meninju muka lelaki itu lantaran tak tahan mendengar ceritanya yang membosankan.
Namun, lamat-lamat lelaki itu mulai terbiasa dengan ocehan kawannya itu. Ia menyerah untuk membungkam mulut kawannya itu, tersebab lelaki yang jadi karib satu selnya itu terus saja berkicau walau telah berkali ia pukul wajahnya. Entahlah, mendadak saja ketika kawan satu selnya itu berkisah tentang kiamat, lelaki itu teringat dengan guru mengajinya di langgar dulu. Surau kampung yang kecil, tempat bocah-bocah ingusan mengeja alif ba ta. Seketika, sebuah kerinduan tumbuh di ladang hatinya yang gersang. Rindu kampung halaman. Rindu dengan masa kanak-kanannya. Bahkan mendadak ia rindu kepada ibunya. Seseorang yang telah lama ia lupakan. Saat itu jugalah, sebuah rasa menggeliat demikian buas. Rasa menyesal. Rasa takut akan bayangan hitam di belakangnya. Rasa yang ia sendiri pun tak paham.
Lalu, pada malam yang demikian pekat. Lelaki yang ingin menangis itu berkisah pada kawannya. Tentang betapa kelam hidupnya. Betapa mengerikan tapak-tapak di belakang punggungnya.
Tentulah dapat ditebak. Kawan lelaki yang ingin menangis itu terkesiap. Bahkan tak dapat berkata barang sepatah ketika mendengar kisahnya. Siapapun pasti akan bersepakat, cerita kelam lelaki yang ingin menangis sangatlah hitam dan menakutkan.
Adakah jalan untuk menebus semuanya? Itulah tanya yang lelaki itu lontarkan pada kawannya. Dan tentu saja kawannya itu kebingungan. Berhari-hari kawannya itu berpikir, tetap saja ia tak menemukan cara untuknya. Hingga pada senja yang demikian indah bagi lelaki yang ingin menangis itu. Mendadak kawannya berujar, kata-kata itu terluncur usai kawannya dibezuk oleh serombongan orang berwajah teduh. Lelaki iu sempat melihat mereka sekilas pintas.
Menangislah dihadapan ALLAH, mohon ampun dalam sembahyangmu. Kata guruku, itulah yang dapat menolongmu.
Dan lelaki itu meminta kawannya mengajarinya menangis, karena ia sudah lupa cara menangis. Bahkan ia pun tak ingat kapan terakhir kali ia menangis. Sayangnya, sampai kawannya itu terbebas dari penjara, lelaki itu belum jua bisa menangis. Dan ketika ia pun bebas dari penjara, ia tetap belum bisa menangis. Bahkan ketika ia diam-diam menyelinap ke kampungnya, lalu mengedap-endap ke area pekuburan, mencari makam ibunya, dan memohon ampun pada sebuah kubur yang bertuliskan nama ibunya itu. Ia tetap saja tak bisa menangis.
Dosa-dosa itu yang membuat hatiku membatu. Dan aku tak bisa menangis. Aku harus mencari orang yang bisa membuat hatiku tak lagi membatu.
Kata-kata itu, ia dapatkan dari kawan penjaranya itu. Mulailah lelaki itu mengembara dari tanah ke tanah, dari air ke air, dari rimba ke rimba, hanya untuk mencari seseorang yang dapat mengajarinya menangis. Seseorang yang bisa membuat hatinya yang keras mencair.
Nah, begitulah kisah tentang lelaki yang ingin sekali dapat menangis itu, Kawan. Sampai detik ini, lelaki itu belum jua menemukan seseorang yang bisa mengajarinya menangis. Beberapa kali ia datang menyambangiku dan bertanya; apakah telah kau temukan orang yang dapat mengajariku menangis? Tolong, carikanlah. Aku takut masaku akan segera usai. Oi, aku dapat merasakan kecemasannya. Maka kuceritakan saja kisahnya ini kepadamu, kalau kau seandainya tahu seseorang yang dapat mengajari lelaki itu menangis. Beritahukanlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar