Sintuwu
Maroso adalah semboyan tanah Poso yang bermakna persatuan yang kokoh.
Tapi makna itu beberapa tahun belakangan ini tak wujud. Di Poso terjadi konflik
berkepanjangan selama beberapa tahun. Sejak Desember 1998 hingga kuartal pertama
tahun 2007, persoalan Poso pasang surut menghiasi media massa.
Setelah tiga tahun konflik berlangsung, barulah pada Desember 2001, ditandatangani sebuah kesepakatan damai yang dinamai Deklarasi Malino. Jusuf Kalla yang saat itu menjabat sebagai Menkokesra bertindak sebagai mediator di antara dua kelompok yang diangap mewakili kelompok bertikai. Dinamakan Dekalarasi [i]Malino, karena kesepakatan yang dirancang dilaksanakan di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan.
Isi Deklarasi Malino
tertuang di dalam 10 butir kesepakatan, intinya menghentikan konflik dan
menegakkan hukum. Tanpa pandang bulu, kedua kelompok diposisikan sebagai pihak
yang bersalah. Sama sekali tidak ada upaya mendudukkan persoalan secara
proporsional, mencari akar masalah, dan menyelesaikan konflik.
Pemerintahan Megawati
yang kala itu diwakili Menko Kesra Jusuf Kalla, sama sekali tidak berminat
mencari tahu siapa pemicu konflik, dan pihak mana yang menderita korban jiwa
paling banyak. Pokoknya, dalam rangka mencapai damai di Poso, kedua kelompok
harus mau menerima rumusan pemerintah. Bahwa keduanya bersalah dan harus mau
berhenti bertikai.
Pemerintah sama sekali
tidak menyadari, bahwa tokoh-tokoh Islam yang hadir dan tak hadir pada forum
itu sama sekali tidak puas dengan rumusan tidak adil itu. Karena, umat Islam
bukanlah pemicu konflik Poso, namun korban jiwa terbanyak justru dari kalangan
Islam. Cobalah lihat kasus Poso III yang terjadi pada bulan MEI 2000, sekitar 1000 jiwa melayang,
sebagian besar umat Islam. Beberapa ratus di antaranya adalah komunitas
Pesantren Walisongo yang dibantai Tibo dkk.
Faktanya, beberapa
bulan sejak Deklarasi Malino dikumandangkan, persisnya sejak April 2002,
hampir setiap bulan terjadi konflik dan kerusuhan di Poso. Bahkan adakalanya
dalam satu bulan terjadi beberapa kali konflik dan kerusuhan. Artinya, Deklarasi
Malino tidak ada manfaatnya.
Apalagi pemerintah juga sama sekali tidak menyadari, bahwa harga diri umat Islam seperti diinjak-injak setiap ada upaya penyelesaian konflik horizontal. Padahal, umat Islam tidak pernah mencari gara-gara. Umat Islam berkuah darah melawan penjajah, ketika merdeka, justru dijadikan kambing hitam atas setiap konflik horizontal yang terjadi. Maka, sudah menjadi hukum alam bila dari ketidak adilan itu lahir sejumlah orang yang bergabung dalam sebuah komunitas ‘radikal’ atau ‘fundamentalis’ atau ‘teroris’ yang melakukan upaya ‘balas dendam’ sekaligus untuk menunjukkan bahwa umat Islam punya harga diri.
Apalagi pemerintah juga sama sekali tidak menyadari, bahwa harga diri umat Islam seperti diinjak-injak setiap ada upaya penyelesaian konflik horizontal. Padahal, umat Islam tidak pernah mencari gara-gara. Umat Islam berkuah darah melawan penjajah, ketika merdeka, justru dijadikan kambing hitam atas setiap konflik horizontal yang terjadi. Maka, sudah menjadi hukum alam bila dari ketidak adilan itu lahir sejumlah orang yang bergabung dalam sebuah komunitas ‘radikal’ atau ‘fundamentalis’ atau ‘teroris’ yang melakukan upaya ‘balas dendam’ sekaligus untuk menunjukkan bahwa umat Islam punya harga diri.
Kalau pemerintah mau
dengan serius menyelesaikan konflik horizontal seperti di Poso, pertama-tama
yang harus ditegakkan adalah keadilan. Tentu tidak adil bila pemicu konflik
diperlakukan sama bahkan lebih lunak dari umat Islam yang justru menderita
korban jiwa paling banyak.
Dalam banyak hal
ditemukan ketidak adilan yang dilakukan aparat. Misalnya, dalam rangka
memulihkan keamanan di Poso, digelar sejumlah operasi. Bila operasi pemulihan
keamanan itu targetnya adalah pelaku teror dan pembantaian dari pihak Kristen,
aparat menggunakan sandi Operasi Cinta
Damai. Satgas yang diterjunkan juga bernama Satgas Cinta Damai. Sedangkan bila hal yang sama ditujukan kepada
komunitas Islam, digunakan sebutan Operasi
RAID yang bermakna SERBU
atau BASMI. Apalagi, selama ini
masyarakat awam lebih mengenal Raid sebagai salah satu merek pembasmi nyamuk. Jangan
heran bila timbul persepsi, umat Islam disamakan dengan nyamuk sehingga perlu
dibasmi. Apalagi pada kenyataannya, bila ditanya mengapa ‘teroris’ Kristen yang diduga kuat
terlibat namun tidak juga menjalani proses hukum, maka aparat berdalih “penanganan
hukum harus didukung oleh saksi dan alat bukti”. Tapi bila menyangkut
‘teroris’ Islam, langsung dibasmi, sebagaimana terjadi pada kasus penangkapan
DPO pada 11 Januari 2007.
Berkenaan dengan
keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, aparat dan pemerintah juga
jelas terlihat diskriminatif. Adnan Arsal dituding terlibat menyembunyikan DPO,
sehingga ia pontang-panting mencari dukungan umat Islam yang lebih luas lagi.
Tapi, aparat tidak pernah mempermasalahkan keterlibatan tokoh gereja, padahal, antara
lain melalui pengakuan Tibo sudah bisa dijadikan landasan hukum menyeret
mereka. Lebih mengecewakan, justru Brigjen Oegroseno yang saat itu menjabat
Kapolda Sulawesi Tengah, dicopot dari jabatannya saat ia serius menelusuri
keterlibatan tokoh-tokoh gereja seperti disebutkan Tibo.
Sebagaimana diberitakan
TEMPO Interaktif edisi Kamis, 31 Agustus 2006, Oegroseno pernah mengatakan,
konflik di Poso masih menjadi misteri. Ia meminta agar misteri dibalik konflik
Poso dibuka. “Kalau dianggap sudah selesai tidak bisa, karena suatu saat akan
meledak lagi.” Demikian pernyataan Oegroseno usai menyerahkan jabatan Kepala
Polda Sulawesi Tengah kepada Badrudin Haiti di Mabes Polri. Oegroseno juga
menilai, eksekusi terhadap Fabianus Tibo dan dua kawannya, tidak akan menyelesaikan
konflik yang terjadi di Poso. Menurutnya, “pendekatan hukum itu pendekatan yang
terakhir.” Oegroseno juga pernah mengatakan, “Sejarah jangan diputarbalikkan,
mereka harus ceritakan apa adanya.”
Sebagian dari misteri
Poso itu nampaknya berada di tangan para tokoh gereja yang kini ‘tiarap’ dan
bebas dari jeratan hukum, juga berada di tangan para tokoh nasrani lainnya,
termasuk Melly istri kedua konglomerat Eka Tjipta Wijaya.
Bila aparat begitu
bersemangat dan serius mengaitkan kasus Poso dengan JI (Jamaah Islamiyah),
namun aparat sama sekali tidak menyentuh Legiun Christum, salah satu milisi
Kristen yang ikut memerangi umat Islam di Poso.
Pada saat Abdurrahman
Wahid menjadi presiden (26 Oktober 1999 – 24 Juli 2001) puncak kebiadaban
terhadap umat Islam mencapai tingkatan tertinggi. Kasus Poso yang bermula
Desember 1998, mencapai puncaknya Mei 2000. Kasus Ambon (Maluku) yang bermula
Januari 1999 mencapai puncaknya pada kasus Halmahera sekitar Desember 1999.
Menurut sejumlah media massa yang mengutip berbagai sumber, termasuk menurut
laporan yang diterima Republika, sedikitnya 3.000 orang Islam tewas dalam
pertikaian SARA yang terjadi sejak 26 Desember 1999 di Maluku Utara. Namun,
menurut Gus Dur korbannya cuma lima. Begitu juga dengan kasus Sampit (pembantaian
dan pengusiran suku Madura), terjadi pada pertengahan Februari 2001.
Nampaknya kaum nasrani
kian berani membantai umat Islam karena sosok yang menjadi presiden RI saat itu
adalah sahabat mereka. Lha, bagaimana nasib umat Islam bila yang menjadi
presidennya adalah orang nasrani beneran.
Entah ada kaitan atau
tidak, yang jelas, menurut Koran Tempo edisi 29 Januari 2006, pada tahun 2002
Abdurahman Wahid mantan presiden RI ke-4 diangkat sebagai anggota kehormatan
Legiun Christum.
Aparat dan pemerintah
selain menuding JI juga mencurigai para alumni Afghan. Faktanya, memang ada
banyak alumni Afghan asal Indonesia yang memiliki keterampilan menggunakan
berbagai jenis senjata dan merakit bom. Keterampilan itu mereka peroleh dari
CIA. Namun, meski mereka memiliki keterampilan merakit bom, keterampilan itu
tidak bisa begitu saja dipraktekkan karena bahan baku membuat bom tidak
sembarangan bisa diperoleh. Kalau toh bisa diperoleh, harganya tidak murah.
Pada umumnya para alumni Afghan bukan tergolong orang yang punya uang berlebih.
Para alumni Afghan
adalah anak bangsa yang mempunyai jiwa pengorbanan tinggi terhahadap
saudaranya, apalagi saudara sesama muslim meski berada jauh di Afghan. Mereka
membebaskan saudara muslimnya dari cengkeraman pemerintahan komunis, dan
berhasil. Bila untuk muslim Afghan yang nun jauh di sana, mereka mau berkorban
nyawa, apalagi untuk muslim Indonesia.
Yang juga perlu
diketahui, tidak semua alumni Afghan tergabung ke dalam JI. Dan perlu juga
diketahui, tidak seluruh faksi JI yang ada terlibat di dalam aksi radikal
seperti Bom Malam Natal (24 Des 2000), Bom Bali I (12 Okt 2002), Bom JW
Marriott (05 Agustus 2003), Bom Kuningan (09 Sep 2004), dan Bom Bali II (01 Okt
2005), dan sebagainya.
Untuk mengenang tragedi
pembantaian umat Islam di Poso, yang mencapai puncaknya Mei 2000, kronologi
berikut ini yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga saja dapat bermanfaat
bagi berbagai pihak. Termasuk, generasi muda Islam yang bermaksud menjadikannya
sebagai salah satu data (primer maupun sekunder) bagi kegiatan penelitian yang
ditekuninya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar