“Panglima
Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini.
Panglima Polem I , II, dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis.
Sedangkan Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan
Belanda...”
“Saya sudah tiga tahun menemani
Panglima,” ungkap lelaki tua itu. “Itu saya lakukan atas kerelaan dan
keikhlasan hati saya. Tidak ada bayaran sedikit pun yang saya terima dan saya
tidak mengharapkan apa-apa,” lanjutnya.
Namanya
Teungku Abdullah. Rambutnya sudah memutih. Dari kaki sampai wajahnya dipenuhi
keriput. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemas pada sebidang kayu yang jadi sekat
tempat penyimpanan padi. Abdullah adalah penjaga arel permakaman Panglima
Polem.
“Meunoe keuh
meunyoe ka tuha, meusapeu hanjeut ta peubeut le (beginilah kalau sudah tua,
tidak bisa kerja apa-apa lagi),”sambung Abdullah dengan suara parau. Ia
mengenakan baju putih tua lengan panjang yang dilipat sebatas siku dan celana
abu-abu.
“Ka lhee
beuluen Abu saket, hana geujak sahoe (sudah tiga bulan Abu sakit, beliau tidak
ke mana-mana),” ujar Yusuf, sang cucu yang mendampinginya.
Usia
Abdullah 90 tahun. Suaranya pelan dan parau, sehingga beberapa kali apa yang
diucapkannya kurang jelas terdengar. Untuk berbicara dengannya pun harus dengan
nada tinggi, karena pendengarannya juga mulai terganggu.
“Hana pah le
londeungoe, beurayek bacut gata peugah hai neuk (pendengaran saya sudah tidak
pas lagi, yang besar sedikit ngomongnya nak),” kata Abdullah.
Abdullah
tinggal di rumah sederhana. Atap rumbia, lantai bambu. Dinding rumah terbuat
dari anyaman pelepah rumbia. Rumah itu hanya terbagi dua bagian. Satu untuk
dapur, satunya lagi untuk kamar tidur. Rumah Abdullah tak jauh dari areal
pemakaman Panglima Polem.
Suara jangkrik hutan terdengar nyaring di areal permakaman.
Letaknya di desa Lam Sie, kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Bukit-bukit kecil,
pegunungan, dan hamparan sawah yang membentang luas dengan padi mulai menguning
mengitari permakaman seluas setengah hektare ini.
Sebuah balai
merah muda terlihat dipenuhi dedaun gugur. Dekat pintu masuk salah satu makam
terdapat sumur dengan kedalaman sekitar 20 meter. Ilalang dan semak tumbuh di
sekeliling makam, mulai dari pintu masuk, sampai ke dalam. Ini membuat tempat
itu terkesan tak terawat. Nisan-nisan tua kebanyakan tak bernama.
Di depan
permakaman terdapat dua pengumuman. Di beton bercat putih yang mulai mengelupas
itu tertulis “Komplek Pemakaman T. Panglima Polem”, sedangkan di lempeng besi
yang dipenuhi karat tertera peringatan: “Dilarang menjarah atau merusak
peninggalan sejarah purba kala.”
Seingat
Abdullah, makam Panglima Polem sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Sekitar
tahun 1800-an. Awalnya makam itu dibangun secara sederhana, layaknya permakaman
lainnya. Beberapa tahun lalu pihak keluarga mulai melakukan pembangunan kembali
makam tersebut. Namun Abdullah tidak mengetahui pasti siapa yang menjaga makam
itu sebelum dia.
Ketika
sedang asyik bercerita, tiba-tiba Abdullah mencoba bangkit dan berdiri,
meskipun kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi.
“Hoe keu
neuk jak Abu? (mau kemana Abu),” tanya Yusuf pada kakeknya.
“Lon grah,
keu neuk cok ie (saya haus, mau ambil air),” ujar Abdullah.
“Neu duek
hinan mantoeng, bah lon nyang cok. (duduk di situ saja, biar saya yang ambil),”
sahut Yusuf.
Baru saja
Yusuf mau bergerak dari tempat duduknya, Sakdiyah keluar dari ruangan sebelah
sambil membawa segelas air putih untuk Abdullah. Rupanya Sakdiyah mendengar
ketika Abdullah, ayahnya, meminta air.
“Kakek saya
memang seperti itu, tidak pernah mau menyusahkan orang. Semuanya mau dikerjakan
sendiri. Terkadang saya iri padanya. Walaupun sudah tua dan sakit seperti ini,
tapi semangat kerjanya luar biasa,” kata Yusuf dengan nada serius.
Menurut
Abdullah, ia tidak pernah menerima bantuan apa pun dari pemerintah selama ia
menjaga makam. Ia hanya memperoleh sedekah ala kadarnya dari para peziarah
makam.
“Dari situ
saya beli beras atau setumpuk ikan,” kata Abdullah.
Biasanya,
hampir tiap minggu ada peziarah yang berkunjung ke makam tersebut. Di antara
mereka ada yang ingin melepas nazar (janji), maupun hanya sekedar berziarah
melihat-lihat tempat bersejarah.
Abdullah
masih berharap akan ada bantuan dari pemerintah agar permakaman itu bisa lebih
terawat. Alasannya, makam-makam tersebut adalah makam para pahlawan yang telah
berjasa terhadap kemerdekaan negara ini.
Dari permakaman itu saya mengunjungi sebuah rumah di tengah
kota Banda Aceh, tepatnya di Lampineung, yang tampak begitu asri. Pepohonan dan
bunga-bunga memenuhi halaman.
Seorang pria
bersetelan sarung kotak-kotak merah hati dan kemeja warna senada tersenyum
ramah di teras rumah itu. Ia adalah Teuku Zainul Arifin Panglima Polem.
Desember nanti ia akan berusia 60 tahun. Ia anak Panglima Polem X, Teuku
Muhammad Ali, sekaligus cucu Panglima Polem IX, Muhammad Daud.
“Kuburan itu
sudah ada sejak tahun 1800-an sejak dimakamkan Panglima Polem I yang bernama
Tengku Dibatee Timoh. Nama itu diberikan setelah beliau meninggal, karena batu
nisannya yang terus tumbuh. Makam beliau berdekatan dengan makam besar Muhammad
Daud,” tutur Arifin kepada saya.
Menurut
Arifin, makam tempat Panglima Polem Muhammad Daud disemayamkan dibangun
pemerintah Indonesia sekitar tahun 1970-an sebagai tanda penghormatan. Di
dekatnya juga ada makam ayah Arifin, Panglima Polem X, Muhammad Ali.
“Panglima
Polem itu bukan satu orang, seperti yang dipikirkan masyarakat selama ini.
Panglima Polem I dan Panglima Polem III berjuang melawan Portugis. Sedangkan
Panglima Polem IV sampai Panglima Polem X berjuang melawan Belanda,” ujar
Arifin.
Arifin
menceritakan silsilah Panglima Polem kepada saya.
“Sultan
Iskandar Muda menikah dengan tiga perempuan. Dari istri pertama beliau
mempunyai dua orang anak. Si sulung bernama Meurah Pupok. Ia dihukum mati
karena dituduh berzinah,” kisah Arifin.
Kisah Meurah
Pupok berzinah telah lama beredar di kalangan warga Aceh, tetapi kebenarannya
masih diragukan. Belum ada bukti sejarah yang otentik tentang peristiwa
tersebut.
Anak kedua
Sultan bernama Sultanah Safiatuddin, yang menikah dengan Sultan Iskandar Tani.
Namun pernikahan Safiatuddin dengan Iskandar Tani tidak menghasilkan keturunan.
Isteri
Sultan yang kedua bernama Puteri Kamaliah atau lebih dikenal Puteri Pahang atau
Putroe Phang. Ia puteri dari Kerajaan Pahang. Dari isteri keduanya ini pun
Sultan tidak dikaruniai keturunan. Isteri ketiga Iskandar Muda bernama Nyak
Meuligoe. Ia asal Lam Sie, Seulimum, Aceh Besar.
Dari isteri
ketiga ini Sultan dikaruniai seorang putera bernama Tueku Imum Itam Maharaja
yang bergelar Teuku Dibatee Timoh. Ia juga dimakamkan di permakaman Panglima
Polem di Lam sie.
“Sebenarnya
Panglima Polem (Teuku Dibatee Timoh) dijagokan menggantikan Sultan. Tapi karena
ia merasa bukan anak dari istri pertama, ia membantu adiknya, Safiatuddin untuk
menjalankan pemerintahan. Karena itulah ada embel-embel Polem di belakang nama
Panglima, yang berarti Abang,” jelas Arifin.
Teuku
Dibatee Timoh mempunyai seorang putera yang diberi nama Teuku Panglima Polem
Cut Sakti Lamcot (1675) atau Panglima Sagi XXII Mukim/Mangkubumi. Kepada Cut
Sakti Lamcot inilah gelar Panglima Polem pertama kali diberikan. Setelah Cut
Sakti Lamcot meninggal dunia, gelar Panglima Polem diwariskan kepada keturunan
selanjutnya, yaitu Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Cut Lahat, Sri Muda Perkasa
Teuku Panglima Polem Cut Kleung, Sri Muda Perkasa Panglima Polem Cut Ahmad
(1845), Sri Muda Perkasa Teuku Panglima Polem Mahmud Cut Banta (1879), Sri Muda
Teuku Panglima Polem Ibrahim Muda Raja Kuala (1896), dan Sri Muda Perkasa Teuku
Panglima Polem Muhammad Daud (1896-1936).
Gelar
Panglima Polem diberikan kepada keturunan Panglima Polem yang cakap dan cerdas.
Tidak harus anak lelaki pertama.
“Seperti
Panglima Polem II, yang bernama Teuku Muda Sakti, ia merupakan anak kedua
Panglima Polem I. Sebenarnya, sang kakak Teuku Muda Suara yang menyandang gelar
Panglima, tapi setelah dua bulan, gelar itu diberikan kepada adiknya yang
dianggap lebih mampu,” lanjut Arifin.
Arifin
kemudian berkisah tentang kakeknya, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pada Januari
1891 ia diangkat sebagai Panglima Polem IX untuk menggantikan ayahnya Panglima
Polem Raja Kuala yang telah berpulang ke rahmatullah. Setelah pengangkatannya,
dia diberi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud.
Dari
kesepuluh Panglima Polem tersebut, yang paling banyak dicatat sejarah adalah
perjuangan dan kehidupan Muhammad Daud. Fotonya banyak dipajang di
sekolah-sekolah dasar. Lelaki itu memakai meukeutop, topi khas Aceh, baju
putih, dan kacamata tebal-bundar seperti milik penyanyi pop Amerika terkenal
yang mati ditembak, John Lennon.
Meski
begitu, kata Arifin, banyak data sejarah yang ditulis sejarawan Indonesia
melenceng dari kenyataan sebenarnya.
“Seperti
adanya isu bahwa Panglima Polem (Muhammad Daud) menyerah kepada Belanda.
Padahal Panglima Polem tidak pernah menyerah melainkan mengatur strategi baru
untuk melawan Belanda.” Arifin menjelaskan tentang perjuangan kakeknya.
Menurut
Arifin, pada tahun 1930-an sang kakek membangun komitmen dengan Belanda di
Lhokseumawe. Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Daud menyatakan tidak akan
berperang gerilya. Hal itu disambut Belanda dengan penuh suka cita. Sebenarnya
itu merupakan taktik sang panglima yang hendak berjuang lewat jalur pendidikan.
Muhammad Daud kemudian mendirikan Ma’had Iskandar Muda atau disingkat MIM.
Pada saat
itu ia melihat kondisi masyarakat Aceh yang dianggapnya sudah tidak
mengindahkan lagi nilai-nilai agama.
“Akhirnya
beliau turun gunung berhenti bergerilya. Pada tahun 1935 ia memanggil kembali
ulama Aceh yang bernama Abu Lam U dan Teuku Indrapuri yang sedang berada di
Malaysia untuk membenahi kembali masyarakat Aceh yang sudah lupa daratan,”
kisah Arifin dengan semangat.
“Gelar
Panglima Polem bukan sembarang diberikan, itu merupakan milik sah keluarga dan
keturunan Panglima Polem. Tapi setelah ayah saya, Panglima Polem Muhammad Ali,
gelar Panglima Polem hanya diletakkan di belakang nama saja, karena kita bukan
pahlawan hanya pewaris,” lanjutnya.
Dari
pernikahan Muhammad Daud dengan Teuku Ratna lahir seorang putra yang dinamai
Teuku Panglima Polem Muhammad Ali atau Panglima Sagi XXII Mukim.
Muhammad Ali
mempunyai dua orang istri, yaitu Teungku Putri dan Cut Nyak Bungsu. Isterinya
yang pertama berasal dari Keudah, Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Dari Teuku
Putri, ia dikaruniai empat anak. Mereka adalah Pocut Asiah, Teuku Hasan
(almarhum), Teuku Abdullah (almarhum), dan Teuku Husni.
Cut Nyak
Bungsu yang berasal dari Padang Tiji, Pidie, memberinya empat anak pula, yaitu
Teuku Bachtiar Panglima Polem (almarhum), Teuku Iskandar Panglima Polem, Teuku
Zainul Arifin Panglima Polem dan Pocut Ernawati.
Dalam buku Sumbangsih Aceh Bagi Republik yang disunting
Teuku Mohammad Isa, disebutkan bahwa Teuku Panglima Polem Muhammad Ali
merupakan seorang pahlawan Aceh yang telah berjuang sejak penjajahan Belanda
sampai Jepang.
Lelaki
kelahiran Lam Sie tahun 1905 ini sempat ditolak pemerintah Belanda untuk
menggantikan ayahandanya Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, selaku Panglima
Sagi (Panglima Sago) XXII Mukim. Namun, ia akhirnya sah diangkat sebagai
panglima sago pada pertengahan tahun 1941.
Pada 24
Februari 1942, Muhammad Ali memimpin serangan terhadap militer Belanda di
Seulimeum sebagai titik awal perlawanan untuk kemerdekaan di Aceh Besar.
Di tahun
1944 ia berhasil mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang. Ia menjabat
Asisten Residen Aceh dan Ketua Kemakmuran Karesidenan Aceh pada Desember 1945.
Di awal Juni
1948 presiden Soekarno berkunjung ke Aceh. Rakyat Aceh menyambut kunjungan
presiden pertama Indonesia itu dengan meriah. Pada tanggal 17 Juni 1948,
Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) mengadakan jamuan khusus untuk
Soekarno di Hotel Aceh, Kuta Raja.
Dengan nada
sungguh-sungguh, Soekarno meminta rakyat Aceh membelikan dua pesawat udara
untuk Republik Indonesia atau RI. Pesawat udara tersebut akan digunakan untuk
menembus blokade udara total Belanda.
Tiba-tiba
Haji Juned, wakil GASIDA, membisiki Muhammad Ali untuk menerima tantangan
Soekarno itu.
Ia
mengajukan dirinya menjadi ketua umum panitia pembelian dua pesawat terbang,
yaitu Seulawah RI 01 dan Seulawah RI 02.
Minggu pagi,
20 Juni 1948, bertempat di pendopo Keresidenan Aceh, diadakan penyerahan secara
simbolis dua pesawat tersebut kepada presiden Soekarno. Penyerahan dilakukan
langsung oleh Muhammad Ali atas nama GASIDA sekaligus Residen Aceh dan Teuku
Chiek Daudsyah, atas nama rakyat Aceh. Masing-masing menyerahkan Seulawah RI 01
dan Seulawah RI 02.
“Untuk
pembelian pesawat udara Seulawah RI 01 dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari
GASIDA. Satu lagi, Seulawah RI 02, dibeli dengan dana yang dikumpulkan dari
masyarakat Aceh. Setelah itu, baru diserahkan dalam bentuk mata uang untuk
pembelian pesawat tersebut,” kisah Arifin.
Menurut
Arifin, setelah penyerahan tersebut rakyat Aceh sedikit kecewa.
“Masyarakat
Aceh menyumbang pada Soekarno untuk membeli dua pesawat. Namun yang terbeli
hanya satu, sedangkan untuk satunya lagi tidak tahu. Raib entah ke mana,” kata
Arifin.
Seulawah RI
01 ini, oleh Wiweko, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia atau
AURI, dengan piawainya dikomersilkannya ke luar negeri, tepatnya di Burma,
selama masa agresi Belanda II. Seluruh keuntungan usaha ini digunakan untuk
membiayai kegiatan diplomat Indonesia di luar negeri. Dengan berbekal Seulawah
RI 01, Wiweko membangun perusahaan penerbangan nasional Garuda Indonesia
Airways.
“Sangkalan
sebagian orang Indonesia bahwa fakta Seulawah RI 01 dan RI 02 dan Aceh sebagai
daerah modal Republik Indonesia hanya mitos, perlu dikaji ulang,” kata Arifin,
tegas.
Pada 1958, Muhammad Ali merasa tak ada lagi yang bisa
dilakukannya di Aceh. Ruang geraknya hanya di dalam kota, sedang kondisi di
luar kota tidak aman. Pasukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
menguasai Aceh.
“Ayah
memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Untuk keamanannya, diurus Wakil Perdana
Menteri II Kabinet AA (sebutan pada waktu itu), Kyai Haji Idham Khalid. Ayah
saya diangkat menjadi penasehatnya dengan Surat Keputusan Nomor
62/WKPM/X/1958,” ujar Arifin.
Sementara
itu Aceh sedang melakukan perdagangan dengan Penang, Malaysia. Dan berkat
bantuan Wakil Perdana Menteri II Idham Khalid, dengan izin Menteri
Perindustrian Ir. Inkiriwang, Muhammad Ali ditunjuk sebagai salah satu
distributor semen Padang untuk Sumatera Utara.
Suatu malam
di awal bulan Desember 1958, sewaktu Muhammad Ali sedang tidur nyenyak bersama
Jusuf Gading di Krekot Bunder, Jakarta, tiba-tiba penginapan mereka digedor
tentara. Setelah pintu dibuka, masuklah dua perwira yang menanyakan Muhammad
Ali. Mereka memintanya menyiapkan pakaian untuk dibawa, karena ia akan ditahan.
Penahanan
itu berdasarkan surat perintah yang ditandatangani Kepala Staf Angkatan Darat
selaku Penguasa Perang Pusat waktu itu, Jenderal Abdul Haris Nasution.
“Penangkapan
tersebut merupakan suatu kekeliruan dan ayah saya sama sekali tidak merasa
takut waktu itu, karena beliau merasa tidak bersalah. Beliau yakin, setelah
diperiksa, akan dibebaskan dan diperlakukan dengan baik dan sopan,” tutur
Arifin.
Muhammad Ali
dibawa ke Mampang I. Ini Markas Team Khusus SUAD I (sebutan untuk tentara waktu
itu). Tak berapa lama, kemenakannya yang bernama Tuanku Husin bergabung
dengannya di tahanan militer itu. Mereka menduga hal ini terjadi atas
permintaan Jenderal Nasution.
Usut punya
usut, rupanya penahanan ini berkaitan dengan pertemuan Muhammad Ali dan
sejumlah rekannya, termasuk Tuanku Husin, dengan menteri dalam negeri.
Pertemuan itu bertujuan agar tercapai perdamaian di Aceh yang tengah dilanda
pemberontakan DI/TII.. Rombongan ini juga berniat menghadap presiden Soekarno.
Setelah
ditahan di Mampang I, Muhammad Ali dibawa ke penjara Cipinang dan digolongkan
sebagai tahanan politik.
“Setelah
ditahan setengah bulan, ayah saya dipanggil ke kantor penjara. Di sana beliau
difoto, diukur tinggi badan dan dibuat sidik jari. Seperti orang yang berurusan
karena perbuatan kriminal. Kemudian disuruh kembali ke tempat dan tidak
dilakukan apa-apa. Padahal dalam dalam perintah yang ditandatangani Jenderal
A.H. Nasution, ayah saya diperiksa dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam,”
kisah Arifin.
Di akhir
Agustus 1959, status Muhammad Ali menjadi tahanan rumah. Ini berdasarkan surat
yang ditandatangani Jenderal Nasution dan Kapten Soedharmono.
“Sebulan
setelah itu, status diubah menjadi tahanan kota. Selama tahanan kota, setiap hari
Kamis, beliau harus melapor ke Mampang I. Akhir tahun 1959, ayah saya baru
bebas dari semua status tahanan. Beliau ditangkap karena dicurigai terlibat
dalam pemberontakan DI/TII. Namun kecurigaan tersebut tidak terbukti, karena
ayah saya orang yang bersih dan ikhlas membela negara,” kata Arifin.
Setelah
keluar dari penjara, saat pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Serikat
Republik Indonesia atau MPRS RI tahun 1962, Muhammad Ali diangkat jadi anggota
selaku utusan daerah bersama-sama dengan anggota lainnya.
“Tahun 1967,
beliau diberhentikan secara hormat karena tidak terpilih lagi,” lanjut Arifin.
Namun
tanggal 1 Agustus 1968, Menteri Negara Urusan Kesejahteraan Rakyat, Kyai Haji
Idham Khalid mengangkatnya sebagai Penasehat Bidang Khusus, dengan keputusan
Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat No.32/Kpts/Kesra/VII/68.
Muhammad Ali jatuh miskin ketika kembali ke Aceh. Tak lama
setelah kembali ke kampung halaman, ia berusaha mengirim surat kepada menteri
dalam negeri dengan perantara gubernur Aceh Sumatera untuk memohon agar dirinya
diberikan tunjangan pensiun.
Ia
melampirkan semua besluit (surat keputusan), kecuali satu, besluit
pemberhentiannya sebagai bupati Pidie yang diperbantukan pada gubernur Sumatera
Utara. Surat itu hilang. Meski salinannya tidak dilampirkan, tanggal dan nomor
surat besluit tetap disebutkan.
“Dengan
perantaraan temannya di Jakarta, ayah saya menyuruh untuk mencari dalam Arsip
Departemen Dalam Negeri RI. Setelah ditemukan, ternyata bundel arsip ayah saya
berisi satu bon dan sebagian isi bundel tersebut telah diambil oleh seorang
pegawai dan pegawai tersebut telah meninggal dunia. Karena kekurangan besluit
pemberhentian itu, keputusan tentang pensiunnya tidak dapat diberikan oleh
menteri dalam negeri,” urai Arifin.
Menurut Arifin,
pada 1962 Muhammad Ali pernah menerima sepucuk surat dari Departemen
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah yang berisi tentang penjelasan
kesediaannya untuk diangkat kembali sebagai bupati Pidie. Surat tersebut
ditandatangani Kepala Seksi Sumatera Nusa Tenggara, Suparko.
“Namun surat
tersebut tidak diterima olah ayah saya, karena pada waktu itu beliau telah
kembali ke Aceh,” ujar Arifin.
Akhirnya
Muhammad Ali membalas surat itu. Setelah mengisi daftar isian yang dilampirkan
dalam surat tersebut, yang masing-masing tiga rangkap. Setelah mendapat
pengesahan Panglima Kodam I, waktu itu Kolonel Nyak Adam Kamil, Muhammad Ali
berangkat kembali ke Jakarta untuk menjumpai Suparko dan menyampaikan sendiri
surat pengangkatannya.
Pada waktu
Suparko membaca daftar isian dalam kolom kedudukan terakhir saat pemberontakan
DI/TII, Suparko mengajukan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Ali.
“Bekerja
Aktif, menerima uang tunggu karena sakit dan turut memberontak. Pertanyaan
terhadap keterlibatan ayah saya sebagai pemberontak, berkali-kali ditanyakan.
Namun beliau menjawab dengan tegas dan bangga, tidak pernah memberontak
terhadap Pemerintah RI,” ujar Arifin.
Tapi entah
mengapa, Suparko tetap memutuskan untuk tidak menyetujui memberikan uang
pensiun kepada Muhammad Ali.
“Itulah
ketidakadilan, orang yang setia pada negara tidak diperhatikan, yang tidak
setia diperhatikan. Hal ini sama seperti Aceh sekarang, bagi mereka yang
dianggap memberontak diberikan bantuan, sedangkan masyarakat yang hidup miskin
dan berjasa pada negara, tidak mendapatkan apa-apa. Sejarah selalu berulang,”
kata Arifin, lagi.
Pada 6
Januari 1974 Muhammad Ali menghembuskan nafas terakhirnya tanpa pernah sepeser
pun menerima uang pensiunnya.
Ironisnya,
pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada Panglima
Polem terakhir ini pada 2003, ketika Megawati Soekarno menjabat presiden.
salam, bangga rasanya melihat anak muda Aceh sekarang yang semakin sadar dengan sejarahnya.tapi kalau boleh saya memberi saran, kalau tulisan ini bukan karya anda, cantumkan sumber dan penulisnya.dan kebetulan saya tahu dan kenal penulisnya.
BalasHapussalam