Kontroversi
ini sebenarnya masih mengalir sampai sekarang. Ada yang menganggap, setelah
Daud Beureueh turun gunung, ia tidak pernah lagi terlibat dalam gerakan
politik. Perlawanan yang diusung GAM, sama sekali tidak terkait dengan DI/TII.
“Kalau
Hasan Tiro kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan karena kecewa,”
kata M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap berhasil mengajak Daud
Beureueh turun gunung.
Tak hanya
Jasin, tokoh-tokoh senior di Aceh juga banyak yang mendukung argumen itu. Dalam
sebuah tulisannya di Republika, almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh,
memutus kaitan GAM dan Abu Beureueh. Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro adalah
gerakan kriminal, sedangkan DI/TII adalah gerakan politik murni.
Tak heran
jika awal-awal perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia menuding mereka sebagai
gerombolan pengacau keamanan (GPK). Stigma kriminal dimunculkan untuk memutus
dukungan pengikut Daud Beureueh yang dikenal sebagai legenda bagi warga Aceh.
Nyatanya,
upaya membumikan GAM sebagai kelompok kriminal tetap gagal. Hasan Tiro kadung
jadi ikon perlawanan rakyat yang baru, terutama di masa Orde Baru. Lihat saja
daftar tokoh pertama yang bergabung dalam GAM. Banyak di antara mereka adalah
bekas pendukung DI/TII. Sebut saja Teungku Ilyas Leube dan Daud Husin alias
Daud Paneuek (paneuek artinya pendek). Ilyas adalah ulama yang disegani di Aceh
Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh. Dalam susunan kabinet GAM
pertama, Ilyas duduk sebagai Menteri Kehakiman, sedangkan Daud Paneuek sebagai
Panglima Angkatan Bersenjata.
Menurut
Baihaqi, mantan pasukan DI/TII, keputusan Ilyas mendukung GAM semata-amata
karena kecewa dengan sikap pemerintah yang ternyata hanya memberi janji omong
kosong kepada Aceh. “Ilyas orangnya sangat peka terhadap agama. Ketika
Syariat Islam tidak berjalan di Aceh, ia orang yang paling marah” kata
Baihaqi yang juga sepupu Ilyas.
Padahal,
saat Daud Beureueh turun gunung, pemerintah berjanji memberikan tiga
keistimewaan untuk Aceh: syariat Islam, pendidikan, dan budaya. Nyatanya, semua
janji itu tak dipenuhi. Tak heran, begitu Hasan Tiro mengumandangkan perlawanan
di paruh akhir tahun 1970-an, Ilyas pun menjadi orang pertama yang mendukung.
Ketika GAM
masih dalam bentuk rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya Daud Beureueh sudah
diberi tahu masalah itu. Hanya saja, Beureueh tak mungkin lagi angkat senjata
karena di tahun 1976, saat Hasan Tiro datang ke Aceh untuk kedua kalinya, Abu
Beureueh sudah berusia 77 tahun.
“Ayahanda tidak perlu berperang. Biar kami
saja yang melakukan perlawanan. Kami hanya perlu dukungan dari Ayahanda,”
demikian bujuk Hasan Tiro kepada Daud Beureueh seperti ditirukan Baihaqi kepada
acehkita.
Sebagai
asisten pribadi Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu. Apalagi, ia masih
memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. “Jadi kalau dikatakan Daud
Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi benar,” katanya. Bedanya, di
masa DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan perlawanan secara resmi dan terbuka
kepada seluruh masyarakat Aceh, tetapi di masa GAM, ia lebih banyak diam.
Hubungan
Daud Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk. Dalam bukunya, Sejarah
dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, wartawan Neta S Pane menulis, saat pulang ke
Aceh pada 1975, Daud Beureueh pernah memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta
kepada Tiro untuk membeli senjata. Singkat cerita, saat muncul lagi pada 1977,
alangkah terkejutnya tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang diharap.
“Hasan Tiro hanya membawa tiga pucuk pistol jenis colt dan dua pucuk senjata
double loop. Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya cukup untuk
membunuh babi hutan,” tulis Neta yang kini mengelola Lembaga Pengamat Polri
(Gamatpol).
Meski
demikian, Daud Beureueh tak pernah marah kepada Hasan Tiro. Dukungan Daud
Beureueh kepada GAM juga dibenarkan Zakaria, seorang tokoh GAM yang tinggal di
Thailand. Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan pendidikan politik di hutan,
beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan bantuan kepada mereka. “Saya sering
sekali disuruh Daud Beureueh menyampaikan bantuan itu,” akunya.
Bantuan tak
hanya berupa uang, tapi juga bahan makanan untuk Hasan Tiro dan pendukungnya.
Dukungan Daud Beureueh kepada GAM pada masa itu diberikan karena Hasan Tiro
bertekad mendirikan negara Islam di Aceh. Zakaria sendiri termasuk pendukung
Hasan Tiro paling setia. Ketika operasi militer berlangsung pada 1983, ia
berhasil melarikan diri ke Malaysia. Pertemuan terakhir acehkita dengan Zakaria
berlangsung di Thailand, dua tahun lalu.
Dalam
barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun, menjabat sebagai
Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia orang penting yang
berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata itu dibeli dari perbatasan
Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim melalui pesisir pantai Malaysia menuju
pantai Aceh Timur.
Zakaria
mengisahkan, untuk menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro,
ia harus berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun setelah kemerdekaan GAM
diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan pasukan ke Aceh.
Setelah
Hasan Tiro kembali ke Amerika pada 1979, kekuatan GAM tak luntur. Semakin lama,
pengikutnya kian banyak. Intelijen TNI sendiri disebut-sebut mengetahui kalau
Daud Beureueh memberi dukungan moral kepada GAM. Untuk mencegah meluasnya
pengaruh ulama itu, dalam sebuah operasi intelijen yang dipimpin Lettu Sjafrie
Sjamsoeddin (sekarang Sekjen Departemen Pertahanan berpangkat Mayjen), pada 1
Mei 1978, Daud Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak kuasa melawan karena sudah
dibius. Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya diterbangkan ke Jakarta
untuk selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah mewah di bilangan Tomang, Jakarta
Barat, sebagai tahanan di sangkar emas.
Ini upaya
mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya setelah pada 1971 ia ‘dipaksa’
keliling Eropa untuk mencegah pengaruhnya meluas di Aceh saat berlangsungnya
pemilu. Daud Beureueh sendiri adalah pendukung PPP.
Saat Abu
Beuereueh menetap di Jakarta, operasi penumpasan GAM dilakukan besar-besaran.
Satu demi satu orang-orang dekat Hasan Tiro tewas. Sebut saja Dr Muchtar Hasbi,
seorang intelektual muda Aceh, 35 tahun, yang tewas setelah disiksa. Mayatnya
dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan tanpa pakaian. Muchtar Hasbi adalah
Perdana Menteri pertama GAM.
Dr Zubir
Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan sebagai Menteri
Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada Mei 1980. Selain itu,
Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan posisi Muchtar sebagai Perdana
Menteri, juga tewas di ujung peluru pada Juli 1982.
Para
sejarawan Aceh menyebut, Daud Beureueh sebenarnya sangat kecewa dipindahkan ke
Jakarta. Selain karena ruang gerak yang selalu diawasi, ia juga sedih karena
dijauhkan dengan murid-muridnya. Ia menjadi terhalang menyampaikan ajaran-ajaran
Islam. Ia pun tak lagi bisa tampil sebagai imam masjid. Tapi ia sendiri tak
kuasa melawan karena kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di Jakarta bersama
anak dan cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.
Kegelisahan
Teungku Daud itu dirasakan sahabat dan murid-muridnya. Beberapa orang yang
penah dekat dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat itu sebagai Rektor IAIN
Ar-Raniry setelah pensiun dari Gubernur Aceh) dan Teungku H Abdullah Ujongrimba
(Ketua MUI Aceh), melobi Wakil Presiden Adam Malik agar memulangkan Daud
Beureueh ke Aceh. Mereka menjamin, selama di Aceh, Daud Beureueh tak akan
memberikan perlawanan kepada pemerintah, apalagi ikut mendukung GAM.
Harapan itu
terkabul. Pada 1982 ulama simbol perlawanan itu kembali ke Bumi Seulanga. Malangnya,
pada 1985, ia terjatuh dari tempat tidur sehingga engsel pinggulnya mengalami
gangguan. Sejak itu ia tidak bisa berdiri. Tamu-tamu yang datang mengunjunginya
tetap disambut secara terbuka. Legenda Aceh itu akhirnya meninggal dunia pada
10 Juni 1987.
Jasadnya
dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la lil Mujahidin
di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu, tragedi demi tragedi
berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua tahun setelah kepergian sang
tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan digelarnya Operasi Jaring Merah
atau pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).
Sepeninggal
Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru, lengkap dengan
segala kontroversinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar