Perempuan millenium Indonesia masih
berjuang menegakkan kesamaan haknya – yang terinspirasi oleh “gerutuan” R.A.
Kartini. Namun, 7 abad lalu perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai
manusia yang setara tanpa perdebatan. Barangkali selama ini yang kita
kenal pahlawan perempuan dari Aceh mugkin hanya Cut Nyak Dien saja. Hal ini
dapat dipahami karena perjuangan heroiknya melawan Balanda sudah difilmkan,
dimana pemeran sebagai Cut Nyak Dhien adalah Christine Hakim.
Akan tetapi sebenarnya Cut Nyak
Dhien hanyalah satu dari sekian banyak perempuan Aceh yang memiliki kehebatan
yang luar biasa di Aceh. Dan itu sudah ada jauh sebelum isu emansipasi
dikembangkan. Sebab peran mereka melebihi peran para laki-laki pada saat itu.
Di Matangkuli, Kecamatan Minye
Tujoh, Aceh Utara, terdapat sebuah makam kuno yang pada nisannya bertuliskan
Arab dan Jawa Kuno. Dituliskan di nisan itu, orang yang dimakamkan adalah Ratu
Ilah Nur yang meninggal tahun 1365. Siapa Ilah Nur ? Ilah Nur adalah seorang
Ratu yang memerintah Kerajaan Pasai. Keterangan itu juga dapat diperoleh di
kitab Negara Kartagama tulisan Prapanca. Disebutkan, Samudera Pasai merupakan
daerah yang ditaklukkan oleh Hayam Wuruk, dengan Patihnya Gajah Mada. Buku
Hikayat Raja Raja Pasai juga menyebutkan tentang kekuasaan Majapahit terhadap
Pasai. Setelah segala sesuatunya diatur di Pasai, laskar Majapahit kembali ke
Jawa. Namun, sebelum kembali, pembesar-pembesar Majapahit mengangkat seorang
Raja, yaitu Ratu Nur Ilah. Ratu Nur Ilah merupakan keturunan Sultan
Malikuzzahir. Tidak banyak keterangan yang didapatkan oleh peneliti tentang
masa pemerintahan Ratu Ilah Nur ini.
Perempuan Aceh memang luar biasa.
Mereka mampu mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan, pekerjaan peperangan
pun, yang biasanya seluruhnya dilakukan oleh kaum pria, diterjuninya pula.
Mereka menjadi panglima, memimpin ribuan laskar di hutan dan di gunung-gunung.
Bahkan ada laskar wanita yang disebut Inong Bale. Mereka ini para janda yang
menuntut kematian suaminya. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari
suaminya bila suaminya berpaling muka kepada Belanda. Kaum pria Aceh pun
bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi
dan rela pula menjadi anak buahnya. Diantaranya mereka yang amat dikenal bahkan
melegenda, seperti Cut Nyak Dhien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya.
Beberapa periode, Kerajaan Aceh
Besar yang berdaulat, pernah dipimpin oleh perempuan. Selain Ratu Nur diatas,
ada Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul
Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu Nahrasiyah. Sementara yang terjun ke medan
pertempuran, ada Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren
dan Pocut Meurah Intan. Ada pula yang menjadi uleebalang (penguasa lokal).
Diantara panglima-panglima tersebut, yang banyak disebut-sebut oleh pendatang
Barat adalah Laksamana Malahayati. Mereka ini oleh peneliti barat disejajarkan
dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon dan Katherina II Kaisar Rusia.
1. Ratu Nahrasiyah
Dr. C. Snouck Hurgronje
terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala
Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat dari pualam itu,
merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat
– ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah.
Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang
sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit
sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang memerintah lebih dari 20 tahun.
Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas. Namun,
kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu, dirham ayahnya
ditemukan – dimana disisi depan mata uang tersebut tercantum “Zainal Abidin
Malik az-Zahir”.
Nama Sultan Zain al-Abidin dalam
berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti
Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan utusan-utusannya yang
ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu
(1403-1424). Maharaja China kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya
sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan.
Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan
Samudera. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama
pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan
Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk
dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain
adalah Ratu Nahrasiyah.
2. Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)
Bersyukur bahwa catatan tentang
Sultanah Safiatuddin Syah cukup banyak sehingga dapat memberikan gambaran yang
memadai mengenai kepemimpinannya. Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan
yang berdaulat. Syafiatuddin Syah yang lahir tahun 1612, anak tertua Sultan
Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas
dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan Iskandar
Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan
Iskandar Muda. Tahun 1636, Sultan Iskandar Muda meninggal. Menantunya lalu
diangkat menjadi Sultan Aceh. Lima tahun memerintah, ia meninggal (15 Ferbruari
1642) tanpa memberikan keturunan. Tiga hari setelah berkabung, para pembesar
kerajaan sepakat mengangkat sang permaisuri menjadi raja. Namun, menjelang
penobatannya, muncul pertentangan. Ada dua alasan. Pertama Sultan Iskandar
Thani tidak berputra dan kedua, soal kelayakan perempuan menjadi raja.
Persoalan tersebut diserahkan kepada ulama senior yang sangat berpengaruh saat
itu, yaitu Tengku Abdurrauf dari Singkil. Ia menyarankan pemisahan urusan agama
dengan urusan pemerintahan. Dari sudut adat dan hukum Islam, Syafiatuddin
memenuhi sarat sebagai pemimpin. Selain itu, Syafiatuddin memiliki kecerdasan
dan pengetahuan yang cukup. Para ulama juga mengeluarkan fatwa, bahwa urusan
agama dan negara harus dipisahkan sepanjang keduanya tidak saling bertentangan.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah
selama 35 tahun (1641- 1675). Inilah masa-masa yang paling sulit karena situasi
Malaka saat itu sedang panas dengan adanya perseteruan VOC dengan Potugis
merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh
merupakan pusat dagang utama. Sultanah sangat memperhatikan pengendalian
pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Namun, agak mengabaikan
soal kemeliteran. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh ke negeri
Siam untuk menyebarkan agama Islam. Sebagaimana ayahnya, ia pun sangat
mendorong para ulama dan cerdik pandai mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan keagamaan. Dalam ekonomi,
ia menerbitkan mata uang emas dan menerapkan cukai bagi pedagang asing yang
berdagang di Aceh. Dalam urusan kenegaraan, ia membentuk dua lembaga
pemerintahan, yaitu Balai Laksamana (Angkatan Perang yang dikepalai oleh
seorang Laksamana) dan Balai Fardah (Lembaga yang mengatur keuangan kerajaan
seperti pemugutan cukai dan mengeluarkan mata uang).
Selain itu, Sultanah membentuk
lembaga tempat bermusyawarah, yaitu Balai Rungsari (institusi yang terdiri
empat uleebalang besar Aceh), Balai Gadeng (beranggotakan 22 ulama besar Aceh),
Balai Mejelis Mahkamah Rakyat (semacam DPR yang beranggotakan 73 orang yang
mewakili daerah pemukiman). Yang menarik adalah, diantara 73 anggota dewan
tersebut, terdapat sejumlah wanita. Ia adalah seorang raja besar yang sangat
dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara asing (Belanda, Portugis,
Inggris, India dan Arab). Ia meninggal 23 Oktober 1675. Oleh penurusnya,
Sultanah Safiatuddin Syah tetap dihormati dengan mencantumkan namanya Sultanah
pada setempel / segel kerajaan. Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh
Naqiatuddin dengan gelar Sri Sultan Nurul-Alam Naqiatuddin Syah.
3. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
Naqiatuddin Syah meninggal,
digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris yang
mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan
sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Pada masa pemeritahannya,
Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun sebuah benteng
pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu menolaknya dengan
mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng
sendiri. Tentu Ratu tahu apa maksud dari benteng yang dipersenjatai itu. Tamu
lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama El. Hajj
Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683.
Dari utusan tersebut Ratu menerima sejumlah hadiah. Sekembali ke Mekkah, utusan
melaporkan kepada Raja Syarif betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu
Kerajaan Aceh yang rakyatnya taat memeluk Islam. Sama halnya dengan dua ratu
sebelumnya, Zakiatuddin Syah mengeluarkan mata uang sendiri. Ratu meninggal 3
Oktober 1688 lalu digantikan oleh Kamalat Zainatuddin Syah.
4. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri
Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin
pada masa pemerintahannya adalah melukakan perubahan terhadap Undang Undang
Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam. Aceh dibentuk menjadi tiga federasi
yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi.
Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan –
menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga
Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak berarti melakukan pemerintahan
sendiri-sendiri. Untuk situasi sekarang, sistim pemerintahan Kerajaan Aceh dulu
sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang
dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal lain yang dilakuakan oleh
Sultanah adalah mengeluarkan mata uang emas. Masa pemerintahannya yang singkat
(1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang dicapainya. Bebarapa
peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya Baiturrahman dan Istana
yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.
5. Ratu Kamalat Zainatuddin Syah
Silsilah ratu ini tidak banyak
diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya. Perkiraan pertama ia anak angkat
Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan ia adik Ratu
Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari
keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta,
para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Golongan orang kaya
bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan.
Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi.
Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah
menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat
lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul Adil
dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa kedudukan
wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun tahta pada
bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjugan dari
Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian Company. Ia
sempat pula mengeluarkan mata uang emas.
6. Laksamana Malahayati atau “Keumalahayati”
Wanita Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah
barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana
(Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak muncul
dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri. Malahayati menjadi
Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al
Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam
militer dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ia berasal
dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari
garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan
Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539. Sultan Salahhuddin sendiri
putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh
Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari
kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada
Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita
tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya.
Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong
masih ada di Teluk Kreung Raya.
John Davis, seorang berkebangsaan
Inggris, nahkoda kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa
Malahayati menjadi laksamana, melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai
perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada
yang berkapasitas 400-500 penumpang. Ketika itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan
perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah.
Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di berbagai tempat kekuasaan Aceh.
Kekuatan Keumalahayati mendapat ujian ketika terjadi kontak senjata antara Aceh
dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda yang
dipimpin dua bersaudara Coernelis de Houtman dan Federick de Houtman berlabuh
dengan tenang di Aceh. Karena mendapat hasutan dari Portugis, Laksamana
Malahayati menyerang kedua kapal tersebut. Dalam penyerangan itu, Cornelis de
Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman
ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan Aceh. Sesuatu yang menggegerkan
bangsa Eropa dan terutama Belanda – sekaligus menunjukkan kewibawaan Laksamana
Keumalahayati ketika Mahkamah Amstredam menjatuhkan hukuman denda kepada van
Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.
Uang sejumlah itu benar-benar
dibayarkan kepada yang berhak. Bayar denda tersebut adalah buntut tindakan
Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal menenggelamkan
kapal dagang Aceh serta merampas muatan lada lalu pergi meninggalkan Aceh.
Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia
mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan
ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari sebuah kerajaan di Asia
yang mengunjungi negeri Belanda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati.
Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketika itu diakui oleh negara
Eropa, Arab, China dan India. Namanya sekarang melekat pada kapal perang RI,
KRI Malahayati.
7. Cut Nyak Dien
Nama Cut Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar
meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup
atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda. Ia membiarkan
dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan
marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak
menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu
selama 6 tahun. Ketika itu ia sudah tua dan matanya rabun. Bila mau, dia bisa
menghindari kehidupan seperti itu. Hanya orang yang luar biasa yang
menjalaninya. Bagaimana tidak. Ia tumbuh sebagai anak yang manja. Sebagai anak uleebalang,
ia setaraf dengan wanita bangsawan lainnya. Ia lahir tahun 1848. Ayahnya, Teuku
Nanta Setia, seorang uleebalang. Ibunya juga keturunan bangsawan. Sebagai
lazimmnya anak bangsawan, Cut Nyak Dien mendapatkan pendidikan yang baik,
terutama pendidikan agama dan pengetahuan tentang rumahtangga. Setelah dewasa,
ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim. Dari pernikahannya itu, ia memperoleh
seorang anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh
suaminya di medan peperangan. Bahkan, Cut Nyak Dien aktif di garis depan.
Akibatnya ia jarang berkumpul dengan suami dan anaknya.
Karena Belanda lebih unggul soal
persenjataan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh sendiri,
lama-lama daerah kekuasaan Aceh semakin banyak jatuh ke tangan Belanda –
termasuk daerah yang dikuasai Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien dan keluarganya
terpaksa mengungsi. Pada tanggal 28 Juni 1878, Teuku Ibrahim dan pengikutnya
gugur dalam pertempuran. Cut Nyak Dien menjadi janda muda, namun tetap cantik.
Kebencian Cut Nyak Dien terhadap Belanda makin membara. Lalu terucaplah
janjinya, lelaki yang dapat membalas kematian suaminya, akan diterimanya
sebagai suami. Seorang lelaki pejuang, Teuku Umar akhirnya menebus kematian
suaminya. Sebagaimana janjinya, maka ia menikah dengan Teuku Umar. Bersama Cut
Nyak Dien, Teuku Umar memarakkan lagi peperangan melawan Belanda. Cut Nyak Dien
dengan pengikutnya melakukan perang gerilya. Dari pernikahannya dengan Teuku
Umar, ia mendapat seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Kemudian anaknya
dinikahkan dengan Teuku Di Buket, anak lelaki Teuku Cik Di Tiro. Pada 11
Februari 1899, Teuku Umar tewas dalam pertempuran. Cut Nyak Dien kembali
menjadi janda. Peperangan ia teruskan seorang diri.
“… selama
aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kafir ini kuteruskan …”
bagian sumpah Cut Nyak Dien sepeninggal suaminya. Ia memimpin peperangan dari
persembunyianya di gunung-gunung.
Kehidupan Cut Nyak Dien amat
sengsara. Ia tidak memiliki apa–apa lagi kecuali semangat pantang menyerah. Ia
pun ditinggalkan banyak pengikutnya. Mungkin karena tidak tega melihat
penderitaan Cut Nyak Dien, Pang Laot Ali, selaku panglimanya mulai berpikir
menyerah sebagai jalan membebaskan Cut Nyak Dien dari penderitaan. “Takluk
kepada kaphe ? Cis, najis, semola Allah Subhanahu Watala menjauhkan perbuatan
yang sehina itu dari diriku,” ujar Cut Nyak Dien. Namun, Pang Laot Ali tetap
tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Pang Laot Ali membuat
perjanjian dengan pihak Belanda agar tidak menyakiti Cut Nyak Dien. Sebagaimana
petunjuk Pang Laot, persembunyian Cut Nyak Dien ditemukan oleh Belanda. Dalam
keadaan buta dan lemah, ia mengangkat kedua tangannya dengan kesepuluh jarinya
dikembangkan. Dari mulutnya keluar kata-kata “Ya, Allah, ya Tuhan inikah nasib
perjuanganku ? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. Dengan tandu,
Cut Nayak Dien dibawa Belanda. Tanggal 11 Desember 1906, Pemerintah Belanda
mengasingkan Cut Nyak Dien dan kemanakannya ke Sumedang, Jawa Barat. Pada 9
November 1908 ia meninggal.
8. Cut Meutia
Memegang pedang yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, rambut terurai,
tanpa ada keraguan sedikit pun, Cut Nyak Meutia menyongsong pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Mosselman. Satu peluru di kepala dan dua di tubuhnya
merubuhkan wanita yang digambarkan berparas cantik, kulit kuning berambut
panjang. Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah
pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda. Cut Muetia lahir tahun
1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap
Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat
saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah
dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang
diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi
primadona.
Banyak pria yang hendak meminangnya
sampai akhirnya ia menikah dengan Teuku Syamsarif seorang uleebalang tahun 1890
dalam sebuah pernikahan yang agung sebagai anak uleebalang. Dibalik wajahnya
yang lembut dan tutur bahasanya yang santun itu, hatinya sebetulnya bagai kawah
gunung berapi yang bergelegak memendam kebencian terhadap Belanda sebagaimana
juga ayahnya dan saudara-saudaranya. Sebagai anak bangsawan yang dimanjakan, ia
sebetulnya tidak menuntut kemewahan dan kemanjaan. Dirinya adalah lambang
penderitaan rakyatnya. Kepribadiannya itu tidak dapat diubah oleh siapapun,
termasuk oleh suaminya sendiri. Pandangan dan kepribadiannya seperti itu sangat
bertentangan dengan suaminya yang senang kedudukan, kemewahan serta
mengagungkan martabat tinggi.
Untuk memenuhi kesenangannya, ia
bersedia bekerja sama dengan Belanda. Ia memangku uleebalang atas pilihan
Belanda. Sedangkan jauh sebelumnya, Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah sudah
mengangkat Teuku Cut Mahammad, adik Teuku Syamsarif sebagai uleebalang. Jadi,
ketika itu, di Keureutoe terdapat dua uleebalang. Kakak beradik itu bagai
langit dan bumi. Sang kakak berkiblat kepada Belanda, sedangkan sang adik
berpihak kepada kemerdekaan.
Antara Cut Meutia dengan Teuku
Syamsarif seperti campuran minyak dengan air. Cut Meutia sudah berusaha
membujuk suaminya agar berpaling dari penjajah, tetapi tidak pernah ditanggapi.
Karena tidak juga diindahkan, Cut Meutia meminta diceraikan saja oleh suaminya.
Akhirnya Cut Meutia kembali kepada orangtuanya. Karena Teuku Syamsarif tidak
menjemputnya dan juga memberikan nafkah, maka mereka dianggap sudah bercerai.
Bercerai dari suaminya, gelora jiwanya terlepas bebas sudah. Ia pun ikut
bergerilya bersama ayah dan saudara-saudaranya. Namun, Teuku Ben Daud tidak
mengizinkannya karena yang ia seorang janda. Kemudian ia dinikahkan dengan
Teuku Cut Muhammad (Chik Tunong) dan barulah ia benar-benar ikut angkat
senjata. Seterusnya ia mendampingi suaminya berperang. Tanggal 5 Maret 1905,
Teuku Chik Tunong tertangkap kemudian dihukum tembak. Sebelum dijatuhi hukuman,
ia meminta bertemu dulu dengan Cut Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi, 5 tahun.
Ia berpesan agar melanjutkan perlawanan terhadap Belanda, anaknya dididik agar
terus mempunyai kebencian terhadap Belanda. Cut Muhammad menyarankan menikah
Cut Meutia dengan Pang Naggore.
Pang Nanggroe adalah seorang
panglima perang cerdik dan licin. Setelah melahirkan anaknya dari Chik Tunong,
akhirnya Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Bersama suaminya yang ketiga
ini, Cut Meutia meneruskan perjuangan sampai akhirnya ditemukan Belanda.
Perjuangannya diteruskan oleh anaknya, Teuku Raja Sabi.
9. Pocut Baren
Pocut Baren lahir di Tungkop. Ia
putri seorang uleebalang Tungkop bernama Teuku Cut Amat. Daerah uleebalang
Tungkop terletak di Pantai Barta Aceh. Suaminya juga seorang uleebalang yang
memimpin perlawanan di Woyla. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan
menderita, sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan
belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga
musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910.
Ia memimpin pasukannya di belahan
barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih aktif dalam perjuangan. Ia
telah mempersiapkan dirinya – bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah
tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak
membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah semakin menggebu.
Suatu penyerangan besar-besar dibawah
pimpinan Letnan Hoogers, meluluhkan benteng pertahanan Pocut Baren. Kaki Pocut
Baren tertembak dan dibawa ke Meulaboh. Selama ditawan di Meulaboh, luka
tembaknya tidak kunjung membaik. Kemudian Pocut Baren dibawa ke Kutaraja untuk
dilakukan pengobatan lebih intensif. Namun, dokter memutuskan kakinya
diamputasi. Selama dalam tawanan, Pocut Baren diperlakukan dengan baik. Sebagai
penghargaan atas dirinya, Belanda menghadiahkan sebuah kaki palsu untuknya –
yang didatangkan khusus dari Belanda. Ia wafat tahun 1933. Meninggalkan
rakyatnya yang sangat mencintainya.
10. Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Pocut Meurah
menikah dengan Tuanku Abdul Majid, salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh.
Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih menantang kehadiran Belanda.
Dari pernikahannya dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah mendapat tiga anak
laki-laki. Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari
Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal
Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan
Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah
Pocut Meurah Intan. Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya
pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya
menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul Majid
menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus berperang.
Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi
terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas patroli Belanda yang
semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama kedua putranya tertangkap
marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang
amat mengagumkan pihak lawan. Valtman, pemimpin pasukan Belanda yang
berpengalaman di Aceh dan baik hati, menyebutnya sebagai heldhaftig (gagah
berani). “Kalau begitu, biarlah aku mati,” ucap Pocut Meuran Intan. Lalu ia
mencabut rencongya menyerbu brigade tempur Belanda. Ia mengalami luka parah.
Terbaring di tanah digenangi darah dan lumpur. Veltman mengira ia tewas lalu
meninggalkannya. Kata Valtman, biar dia meninggal ditangan bangsanya sendiri.
Pocut Meuran Intan ternyata masih hidup. Ia diselamatkan. Veltman kemudian
mengirim dokter untuk merawat luka-lukanya. Namun, Pocut Meuran menolak dokter
Belanda itu. Ia sembuh, tetapi kondisi tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya.
Kemudian, bersama putranya, Pocut Meurah Tuanku Budiman dimasukkan ke penjara.
Sementara putranya yang lain, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perjuangan sampai
kemudian ditahan oleh Belanda. Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya
6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut
Meurah Intan meninggal.