Bulan April
kita kenang sebagai bulan kaum perempuan . Di bulan inilah pada
tahun 1879
pejuang emansipasi wanita, RA Kartini, lahir di Jepara. Kecuali
Jepara,
agaknya Aceh juga perlu diberi catatan dalam hal emansipasi ini,
terutama
soal kesetaraan jender. Di Aceh tidak ada dikotomi fungsional
secara
ekstrem antara lelaki dengan perempuan kecuali dalam ritual ibadah
dan fiqh
agama.
Sejak
Kerajaan Samudra Pasai (abad ke 15) peran wanita sudah sangat
menonjol.
Nahrasiah adalah ratu pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan
Samudra
Pasai atas konsep kesetaraan jender, jauh sebelum Kartini
(1879-1904)
di Jawa memperjuangkan hak-hak kaumnya. Nahrasiah naik ke tampuk
pemerintahan
pada tahun 1408 dan meninggal pada pada 1428 menggantikan
ayahnya
Sultan Zainal Abidin. Ia mendapatkan kekuasaan itu secara terhormat
karena
seluruh masyarakat -dalam hal ini kerabat kerajaan-- sepakat untuk
menyerahkan
kekuasaan negara kepada seorang wanita, tanpa mempersoalkan
adanya
analogi bahwa wanita yang tidak bisa jadi imam shalat sekaligus tidak
bisa
memimpin negara. Di bawah kepemimpinan Putri Nahrasiah inilah kemudian
tradisi
pemerintahan perempuan berlanjut di Aceh.
Menjelang
masa keemasannya, di Kerajaan Aceh tampil seorang perempuan dengan
peran sangat
penting, yaitu Keumalahayati, yang diangkat menjadi laksamana
oleh Sultan
Alaiddin Riayatsyah (1589 -1604). Sebuah riwayat menyebutkan,
alasan
pengangkatan Keumalahayati sebagai laksamana, karena selain layak dan
berpengalaman
di laut, kala itu Riayatsyah sudah tidak mempercayai lagi kaum
lelaki. Di
usianya yang tua (80 tahun), sultan amat risau jika panglima
armada
dipimpin lelaki karena berpotensi merampas kekuasaan. Hanya wanita
yang mampu
mengamankan dan menyamankan sultan dari bayang-bayang kudeta.
Riayatsyah
adalah tokoh pembagi kekuasaan antara lelaki dengan wanita.
Sebab,
selain untuk jabatan laksamana, sultan juga mengangkat Po Cut Limpah
menjadi
Ketua Dewan Rahasia. Tugas Dewan Rahasia -yang mirip dewan penasihat
sekaligus
badan intelijen negara-- memberi informasi penting kepada sultan.
Keputusan-keputusan
strategis kerajaan bermula dari dewan yang dipimpin Po
Cut Limpah
ini. Mitos bahwa pada wanita tak boleh disimpan rahasia, dengan
sendirinya
terbantahkan.
Sebetulnya
teramat panjang daftar perempuan Aceh yang berperan di berbagai
sektor,
sebagai pertanda bahwa tidak ada persoalan jender dalam budaya Aceh.
Tampilnya
Safiatuddin - putri Iskandarmuda-- memimpin Aceh setelah mangkat
Iskandar
Thani (suaminya), semakin mempertegas kedudukan dan integritas
perempuan -
apalagi ketika Riayatsyah -seperti dikatakan
tadi--berkesimpulan:
bahwa lelaki tidak bisa dipercaya, sehingga dia memilih
Keumalahayati
sebagai laksamana.
Safiatuddin
yang memerintah dari tahun 1614 sampai 1675, dilukiskan sebagai
ratu yang
cerdas, malah lebih cerdas dari para pendahulunya -termasuk dari
kalangan
pria. Di zaman Safiatuddin berkembang ilmu pengetahuan yang
ditandai
oleh terbitnya buku-buku penting karya para ulama, setelah mereka
dikirim ke
India dan Timur Tengah. Nuruddin Ar Raniry yang terkenal itu
berkarya di
masa sang ratu. Yang lebih penting, masa kekuasaan wanita ini
jauh lebih
lama dibandingkan dengan para sultan sebelum dan sesudahnya.
Dengan masa
berkuasa selama 34 tahun, bahkan Safiatuddin melebihi Soeharto.
Bertahannya
di tampuk pemerintahan, antara lain karena dia tahu menjaga
keseimbangan
semua komponen masyarakat, terutama para elitnya. Dia
melibatkan
ulama menjadi penasihat istana, yang tradisi ini sampai kini
masih
berlangsung di Aceh. Sekarang ini, Pemerintahan Aceh memasukkan
Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai anggota Muspida, yang tidak ada
di provinsi,
atau kabupaten/kota di luar Aceh. Inilah konsep gagasan seorang
wanita yang
berawal dari adanya ketulusan menempatkan wanita di pusat-pusat
kekuasaan.
Dalam masa
sekarang ini, wanita Aceh juga selalu mendapat tempat yang layak
di
masyarakat bersama lelaki, baik dalam strata kehidupan maupun dalam
tatacara
bekerja. Karena sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai
petani, maka
apa yang terjadi dalam kegiatan bercocok tanam di sawah dapat
menjadi
cermin dari kesetaraan jender. Ureueng agam mu-ue umong, ureueng
inong jak
seumula. (Orang lelaki membajak sawah, kaum perempuan yang menanam
padi).
Benda
purbakala seperti Gunongan dan Pinto Khop di sisi Krueng Daroy Banda
Aceh juga
bisa memberi kesaksian tentang posisi wanita. Kedua benda sejarah
itu dibangun
Iskandarmuda atas permintaan istrinya Putroe Phang. Sebagai
first lady
Aceh, sang permaisuri menginginkan sarana rekreasi dan tempat
bersenang-senang
agar betah tinggal di Aceh sehingga tidak lagi rindu
kampung
halamannya di Pahang, Semenanjung Melayu.
Pada
penyapaan resmi juga dapat dilihat bagimana wanita mendapatkan tempat
atau
prioritas, seperti halnya dalam masyarakat Barat yang giat
memperjuangkan
hak-hak wanita. Dalam bahasa Indonesia, bila seorang
berbicara
secara resmi atau pidato, sapaannya berbunyi; Bapak-bapak dan
ibu-ibu!
Atau Saudara saudari, -- lebih dulu lelaki yang mendapat sapaan,
baru wanita.
Tetapi untuk maksud yang sama akan kita temukan kalimat sapaan
yang
sebaliknya dalam masyarakat Aceh: Kawom mak nyang meutuah, kawom ayah
yang
meubahgia (Kamum ibu yang bertuah, kaum bapak yang berbahagia). Sama
dengan
sapaan masyarakat Barat: Ladies and gentlemen!
Bagi
kalangan yang kurang mengerti, sering bertanya bahkan
memperolok-olokkan
kebiasaan yang dilihat secara sepintas. Misalnya di
kampung-kampung,
jika berjalan kaki, selalu saja suami di depan dan istri di
belakang,
lalu mereka mengatakan bahwa lelaki Aceh meremehkan perempuan
sehingga
tega ditinggalkan di belakang. Padahal itu dilakukan karena
semangat
melindungi perempuan, yaitu sikap satria yang seharusnya dimiliki
oleh lelaki
agar wanita terlindungi, sehingga dia bisa terus bersama-sama
menjalani
hidup ini.
Jalan
berbanjar bukan beriring ini bermula ketika situasi alam masa dulu
yang penuh
tantangan. Karena berbagai ancaman dijumpai sepanjang perjalanan
yang masih
sepi dan penuh binatang buas atau onak duri yang berbahaya. Tugas
lelakilah
menghadapi semua itu dengan cara berjalan di depan. Kecuali itu,
pada waktu
tersebut tentu perjalanan jarak jauh pun ditempuh lewat jalan
setapak atau
pematang sawah, yang tak mungkin berjalan secara bergandengan.
Dengan
gambaran yang teramat jelas bagaimana struktur dan pembagian fungsi
serta
simbol-simbol kulturalis, sebetulnya tidak banyak manfaat bagi
kalangan
yang datang ke Aceh menceritakan kesetaraan jender. Tanyakan kepada
wanita Aceh,
adakah mereka merasa dipinggirkan atau dimarjinalkan oleh
lelaki.
Dengan latar keislamannya, masyarakat Aceh sangat mahfum apa yang
telah
dilakukan, apa yang harus dilakukan, dan apa yang musti mereka
tinggalkan.
Mereka amat sadar akan martabat dirinya dan martabat
keluarganya.
Tugas-tugas
berat yang dipikul oleh perempuan Aceh tidak membebankan mereka
secara fisik
dan psikis. Jangankan harus turun ke sawah bersama lelaki,
beban yang
lebih berat pun telah dijalani dan dilakoni wanita Aceh. Mereka
pernah
memegang kekuasaan, mulai Ratu Nahrasiah di Kerajaan Samudra Pasai
awal abad ke
15, sampai dengan Safiatuddin (1641 - 1678), serta para ratu
berikutnya:
Nurul Alam (1675 - 1678), Inayat Zakiatuddin ( 1678 - 1688), dan
Kumalat
Zainatuddin (1688 - 1699) di Kerajaan Aceh. Kecuali di singgahsana,
wanita Aceh
juga ikut dalam peperangan, dari satu masa ke masa lainnya.
Dalam
arsitektur rumah tradisional Aceh juga dapat kita lihat bagaimana
wanita
(ureueng inong) mendapat tempat. Di antara ruang-ruang rumah
tersebut,
yang namanya rumoh inong terletak di tengah-tengah dan lantainya
lebih tinggi
dari bagian lain seperti seuramoe (serambi) dan seulasa atau
selasar.
(Ada menerjemahkan rumoh inong sebagai rumah induk). Posisinya di
tengah-tengah
bermakna wanita harus dilindungi, karena secara kodrati dia
makhluk yang
lemah.
Struktur
yang lebih tinggi menggambarkan penghargaan lebih yang diberikan
kepada
perempuan.
Tanpa ingin
menonjol salah satunya, yang perlu dicatat bahwa ketika Kartini
baru
memperjuangkan hak-hak wanita pada akhir abad 19, lima abad (500 tahun)
sebelum itu
wanita Aceh telah mendapatkannya. Atau mungkin, Kartini adalah
tokoh
perempuan dalam sejarah modern Indonesia.