*Meneropong
Perjalanan Ilmiah Teungku Syiah Kuala
ACEH
tidak hanya kaya sumberdaya alam tapi mashur khazanah intelektual. Itu sebabnya
penelitian tentang Aceh selalu menarik bak gadis cantik yang didambakan.
Kemajuan Aceh masa lampau tidak lepas dari dukungan aset intelektual yang tidak
ternilai harganya. Karena bagaimana pun kaya alam tanpa didukung penguatan
penguatan intelekual, emosial dan spiritual manusia, maka tidak akan memberikan
manfaat yang maksimal, kalau tidak dikatakan justeru mendatangkan kemudharatan
dalam perebutan dan perlombaan materi.
Tiada
orang yang tak kenal Teungku Syiah Kuala. Orang alim, birokrat, mufassir dan
Qadhi Malikul Adil masa Ratu Safiatuddin dan tiga Ratu sesudahnya (1086-1109 H,
1675-1699 M). Kecerdikan dan kecerdasannya, dia dapat menduduki posisi
tertinggi dalam memutuskan hukum (mungkin setingkat dengan Jaksa Agung) pada
masa itu.
Selama
23 tahun menjadi Qadhi Malikul Adil. Bukanlah waktu yang singkat. Dua dekade
lebih, dengan segala kesibukan birokrasi, Teungku Syiah Kuala tetap eksis dalam
aktivitas akademis dan pengembangan keilmuannya serta mampu mengkontribusikan
kepada masyarakat baik dalam bentuk oral maupun tulisan. Poin inilah barangkali
yang menjadikan Teungku tidak usang dimakan zaman, tidak hilang kesan dengan
kepergiannya.
Keuneubah (peninggalan) Tengku Syiah
Kuala telah mengharumkan negeri ini di masa kini dan seterusnya. Buah
tangannya, dapat dianggap refleksi rasa khidmah dan pengabdian intelektual
sebagai khazanah dan kontribusi keilmuan dalam membangun negeri. Goresan tinta
emas itu seumpama ;
- Turjumanul Mustafid (kitab Tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa Melayu),
- Umdatul Ahkam (Kitab Pengantar Ilmu Hukum Islam),
- Umdatul Muhtajin Ila Suluki maslaki Mufradin (Filsafat Akhlak),
- Kifayatul Muhtajin (Akhlak),
- Daqaiqul Huruf (Rahasia-rahasia Huruf),
- Hidayatul Balaghah ‘Ala Jumatil Mukhasamah (Kitab Hukum Acara dalam Islam),
- Bayan Tajalli (Kitab Filsafat Ketuhanan, menolak faham Wihdatul Wujud),
- Syair Ma’rifat (karya sastra yang berbentuk puisi membahas tentang Ma’rifat/Ketuhanan),
- Daqaiqul Huruf (Rahasia-rahasia Huruf),
- Mir’atul Thullab (Kitab yang berisikan Hukum Islam, melengkapi segala bidang hukum termasuk Hukum Dagang dan Tata Negara)
Dan seterusnya merupakan serentetan karya yang ikut memperkaya khazanah keilmuan Aceh tempu dulu yang hakekatnya mencapai 25 karya sebagaimana disebutkan dalam Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. Sebagian sejarawan menyimpulkan bahwa Teungku termasuk ulama yang produktif pada masanya terutama dalam mengorbitkan karya-karya dalam bahasa Melayu.
TURJUMANUL MUSTAFID
Magnus
opus Teungku Syiah Kuala “Turjumanul Mustafid” merupakan karya besar dan kini
tersebar di seluruh penjuru negeri. Karya ini telah dicetak dan diterbitkan
oleh Darul Fikri pada tahun 1981 M (1401 H). Di cover cetakan tersebut tertulis
bila diterjemahkan sebagai berikut:
Turjumanul
Mustafid merupakan terjemahan Jawi dari kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil karangan ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydhawi.
Terjehaman ini mahakarya Syeikh ‘Abdurrauf ibn ‘Ali Al-Fanshuri al-Jawi.
Kitab
terbitan Darul Fikri ini terdiri dari dua jilid dengan 610 halaman. Dari volume
kitab ini menunjukkan sebuah usaha maksimal Teungku Syiah Kuala dan
keseriusannya untuk melahirkan sebuah karya.Tidak heran, kalau kemudian beliau
dianggap sebagai penafsir pertama dan utama dalam bahasa Melayu. Pertama,
karena beliau yang memulainya dalam bahasa Melayu sebelum orang lain
melakukannya. “Utama” karena tafsir ini dapat menjadi referensi yang memadai
dalam memahami Alquran dengan pendekatannya yang multi perspektif.
Meskipun
tafsir ini - menurut sebagian ulama sebagaimana disebutkan dalam cetakan Darul
Fikri - merupakan terjemahan dari al-Baidhawi - sehingga beliau menamakannya
dengan turjuman al-mustafid yang bermakna terjemahan yang berfaedah, namun
kitab ini merupakan sebuah maha karya pada zamannya. Zaman, di mana belum
terdapat kecanggihan teknologi dan komputerisasi, tans tool dan sebagainya.
Dengan berbekal pena celupan, beliau menghasilkan karya yang menafsirkan 114
surah al-Qur’an.
Ulama
kelahiran tahun 1001 H (1593 M) memang berani tampil beda melalui karyanya.
Perlu diingat, karya ini meskipun di sana-sini merupakan saduran dari tafsir
lain, tetapi tidak kurang juga pemikiran dan pemahaman beliau yang dikemudian
disalurkan ke dalamnya.
Memang
‘Abdurrauf menamakan karyanya dengan turjuman yang bermakna terjemahan. Tetapi
dalam Ulumul Qur’an terjemahan itu itu ada dua model: (1) Tarjamah Harfiah.
Model terjemahan berupa pengalihan bahasa yang literlek tanpa mengikutsertakan
format kalimat yang terdapat dalam bahasa asal. (2) Tarjamah Tafsiriyah. Model
terjemahan merupakan bentuk pengalihan bahasa yang mempertimbangan teks dan
konteks kalimat sehingga secara dzauqul Lughat (pemahaman berbahasa) tidak
melenceng dan merubah maksud dari bahasa asal.
Menurut
hemat penulis, karya Teungku Syiah Kuala ini termasuk dalam kategori tarjamah
tafsiriyyah artinya Teungku memiliki peran penting dalam membahasakan kitab
asal untuk menyampaikan substansi yang diinginkan penulis dalam bahasa lugas,
tegas dan amanah.
Khalif
Tu’raf “berbedalah, niscaya kamu akan dikenal orang”, demikian kata pujangga.
Dikenalnya Tafsir Turjumanil Mustafid karena ia tampil beda dengan sebagian
tafsir yang lain. Menurut analisis awam penulis, beberapa hal berikut ini
merefleksikan perbedaan tersebut:
Pertama,
tafsir ini di’hidang’kan dalam bahasa anak negeri. Saat itu, bahasa yang
dipakai umumnya adalah Melayu. Karena itu, tafsir ini menjadi konsumsi
masyarakat di Asia yang lingua Francanya bahasa Melayu. Tidak heran kitab ini
kemudian dinobatkan sebagai tafsir perdana berbahasa Melayu.
Kedua,
turjumanul mustafid mengawali permulaan surah dengan targhib sebagai motivasi
bagi pembaca. Menurut penulis, ini salah satu model pendidikan yang berbasis
pada reward and punishment. Mendidik manusia melalui bacaan dapat
distimulasikan melalui ganjaran dan fadhilah bacaan.
Ketiga,
turjumanul mustafid memperkaya diri dengan kajian qiraat. Qiraat termasuk dalam
kategori ilmu langka dan jarang diminati, padahal fungsinya sangat menentukan
dalam memahami al-Qur’an. Sisi inilah yang dipertajam oleh Teungku Syiah Kuala
sehingga akan memberikan bimbingan (guidance) dalam memahami al-Quran.
Itu
sebagian peradaban Aceh masa lalu, akan berlalukan semua itu tanpa memberi
pengaruh yang berarti bagi anak negeri untuk hari ini, esok dan masa yang akan
datang? Kitalah yang menjawabnya. Mampukah kini Aceh melahirkan ulama dan
intelektual yang terpandang di zamannya sebagaimana ulama terdahulu dengan
karya-karya telah mampu mewarnai manusia bahkan hingga mereka menghadap Allah
Ta’ala, karyanya tetap dikenang, dipelajari dan diajarkan. Wallahu A’lam.