Pembangunan
Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau
kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie
Catatan
sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan-kerajaan di
Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan
sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang
terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama
Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya
Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada
tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang
(Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.
Di
dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya
bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai
kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li
(Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan
barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah
catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra
Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13
-16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi
Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari
berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan
pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Kota
Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu
Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang
dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak
diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti
Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng
Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar
yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu.
Samudra
Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak)
yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara
pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari
Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di
Pasai.
Dikota
Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti
adanya ”kampung Cina”, seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi
jauh sebelum Kerajaan Aceh Darussalam berdiri, komunitas Tionghoa telah
berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam
jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat
perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan
tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan multietnis.
Tome
Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang
berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh
Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu
Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya.
Puncak
kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar
Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang
paling kuat diseluruh Nusantara. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya dan
memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan
sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat
perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di
Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali,
Tionghoa, Siam, Eropah dll.
Di
kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai
perkampungan-perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis,
Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Aceh ini
benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan
multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada
yang diekspor ke Tiongkok.
Pada
waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan dan pengecoran meriam,
oleh karena itu tidak semua meriam yang ada di Aceh adalah buatan luar
negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan
ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys
Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh
orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.
Pengganti
Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar
Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari
kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat
singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah
lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran
Islam.
Pernah
pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa dikenakan larangan
untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap memelihara babi. Pada jaman
Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang
dinamakan “Taman Ghairah”, seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin
karangan Nuruddin ar-Raniry (orang Gujarat, penasihat Sultan, ahli
tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah ”Balai
Cina” (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
Peranan
orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar
pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara
permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan
kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti
pada bulan Juli. Kapal- kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras
ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan
Cina
dekat pelabuhan, yang sekarang mungkin lokasinya disekitar
“Peunayong” (Pecinan Banda Aceh). Bersama dengan kapal itu juga
datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll.
Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam
lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah.
Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah “pasar (basar)
Cina” yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti
biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi
seperti kebiasaannya. Pada akhir september, mereka berlayar kembali ke
Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok
ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India. (Kerajaan Aceh, Denys
Lombard)
Cakra Donya
Lonceng
atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh)
ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh. Lonceng yang dibawa
oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada
Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun
1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh
diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama “Cakra Donya” (Cakra Dunia)
waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.
Kapal
Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu
dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya “Espanto del
Mundo” (teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa
dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan
dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun
sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan
didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini
telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng
ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan sejarah antara Tiongkok
dan Aceh sejak abad ke-15.
Masjid Raya Baiturrahman
Masjid
Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai pengganti masjid
yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda sebelumnya pada
tahun 1874.Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh, masjid ini
dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada bulan Oktober 1879 dan
selesai pada Desember 1881. Arsiteknya adalah seorang Belanda yang bernama
Bruins dari Departemen PU.Bahan bangunannya banyak yang di impor dari luar
negeri seperti batu pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.
Pembangunan
Masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang pemborong
atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan saja kontraktornya
seorang Tionghoa, para pekerjanya pun hampir sebagian besar terdiri dari
pekerja orang Tionghoa yang memiliki ketrampilan khusus, karena bangunan
konstruksi dan detailnya cukup rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat
bekerja disana ternyata sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami
tahun 2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak
mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang air laut
yang dahsyat.
Tsunami
Pada peristiwa tsunami tahun 2004,
banyak warga Tionghoa Aceh yang menjadi korban dan meninggal. Sekitar 6000
orang Tionghoa telah mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di
kamp pengungsian Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung
untuk mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun
ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..
Diperkirakan
sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu peristiwa tsunami itu
yang kebanyakan bermukim di “Peunayong” atau pusat perniagaan, perdagangan
atau pecinan di Banda Aceh. Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa
toko-tokonya ada yang dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda
Aceh milik warga Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan
atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin pun dapat dijumpai
disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan Kampung Laksana,
yang tak jauh dari Peunayong. Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda
Aceh ini mengungsi ke Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda
Aceh, seperti sepasang suami istri pemilik toko kaca mata “Joy Optikal”,
dimana separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay
Optikal, Maria Herawati berkata “Hidup atau Mati, saya akan tetap tinggal
di Aceh” (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).
Kepedulian
komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi dan
individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan memberikan bantuan
yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa Indonesia yang bermukim di
Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian Chinese American Association)
yang berkedudukan di Monterey Park, California serta Organisasai-
organisasi Tionghoa lainnya dari Singapore, Malaysia dan Taiwan juga
datang
memberikan bantuan.
Pemerintah
Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan bangunan untuk
membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat total 7000 ton itu akan
dipakai untuk membangun 60 sekolah yang masing-masingnya terdiri dari 15
kelas. Bantuan ini diberikan sesuai dengan permintaan pemerintah
Indonesia.
Selain
itu Dubes Tiongkok untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatasnamakan sumbangan
dari rakyat Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk
membangun pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen,
kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan seluas
22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan, Puskesmas, balai
pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola. Perumahan ini nantinya
akan dinamakan Kampung
Persahabatan Indonesia-Tiongkok.
Pasca Tsunami dan Rekonstruksi Aceh
Berdasarkan
pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di Maluku (Ambon,
Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau rehabilitasi suatu daerah
pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi untuk benar-benar dapat
kembali seperti sedia kala. Adalah tidak cukup hanya terbatas
pada rehabilitasi tempat tinggal, prasarana teknis dan sosial lainnya.
Memiliki tempat tinggal tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga
tidak memecahkan masalah
Tanpa
adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit kiranya untuk
berjalan normal kembali, seperti kemana rakyat nantinya menjual
hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara tradisionil dan sederhana,
seorang nelayan misalnya dapat berhutang dahulu kepada seorang pedagang
atau Taoke setempat sebelum melaut (untuk mendapatkan bahan bakar, es batu
untuk mengawetkan ikan, makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan,
dll).
Hasil
tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan dibeli oleh para
pedagang setempat dan sebagian dipergunakan untuk membayar hutang
atau uang mukanya kembali. Selebihnya dipergunakan untuk membeli
kebutuhan sehari-hari yang disalurkan oleh para pedagang sebagai
distributornya, dengan demikian kegiatan ekonomi dapat berjalan lagi. Suka
atau tidak suka, model atau interaksi perdagangan inilah yang telah
berfungsi sampai sekarang.
Metode
canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat
setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan bagi nelayan atau
petani kebanyakan, karena prosedur dan birokrasinya berbelit serta makan
waktu dan biaya, pada umumnya mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan
agunan atau kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur
Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari Ambon dan
Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda perekonomiannya
kembali.
Demikian
juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan menjalankan
roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di Maluku, Aceh banyak
menerima bantuan-bantuan dari lembaga Internasional. Tetapi inipun harus
dilanjuti dengan suatu kegiatan ekonomi.
Kedudukan Geo-Strategis Aceh
Aceh
dikenal sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber alamnya
di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan propinsi lainnya
di Indonesia adalah lokasinya yang strategis sama seperti pada abad-abad
yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu lintas pelayaran Internasional
atau disebut SLOC (Sea Lines of Communication) yaitu di selat Malaka yang
sangat strategis dan merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan
Pasifik dengan lautan Hindia.
Selat
Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu diliwati sekitar 50.000 kapal
setiap tahunnya serta 11 juta barel minyak diangkut oleh kapal
tanker melintas selat ini setiap harinya, serta seperempat perdagangan
dunia dan 80% kebutuhan minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat
ini.
Dari
segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat
pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua negara
ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang bersejarah sejak
beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak dipersimpangan jalur
perdagangan internasional dan budaya. Karena posisinya yang strategis ini
maka Aceh menjadi pusat pertemuan, perhatian dan kepentingan pihak-pihak
nasional dan internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau
negara EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian di
Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan presiden AS
juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..
Pada
perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville,
Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia,
terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan
berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri (Malaya,
Singapura, Thailand).
Selama
perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda. Dengan demikian
Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk menampung senjata
yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan ini seorang Tionghoa,
Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil menerobos blokade Belanda
melalui Aceh dengan mempergunakan speed boat, dan salah satu speed boatnya
terkenal dengan nama ” The Outlaw”.