WASIAT;
ATJEH
pernah dijuluki "seramoe mekkah", karena masyarakatnya religius, yang
sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir
pada masa SULTAN ISKANDAR MUDA berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).
DENIS
LOMBAT, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman ISKANDAR
MUDA sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan
dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur,
memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan
dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara
asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bemafaskan Islam,
kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan
yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana.
Era
keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan
snouck hugronjoe, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam
berlaku atau Adat meukuta alam, boleh jadi dianggap sebagai landasan
peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The
Achehnese).
Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula
dibantah oleh W.C.SMITH, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in modern
history (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam da1am abad ke
XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal
dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani,
Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.
Wasiat
Iskandar Muda
Menurut
catatan sejarah, betapa indah dan damainya Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda.
Seperti terungkap dalam delapan wasiat raja adil dan bijaksana;
Pertama, hendaklah
semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi
janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata,
tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan,
bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya
girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.
Kedua, janganlah
raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama
ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini
mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai
memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri
diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan
ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak
terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua
golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik
maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan
umara”.
Ketiga, Raja
janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya.
Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap
ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi
kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.
Keempat, Raja
hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal
yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu
berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada
prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling
membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang
baik dari dalam maupun dari luar.
Kelima, Raja wajib
merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang
sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya
duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua
itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli
mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai
menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan
bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami
oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin
Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang
telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak
baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.
Keenam, Raja dalam
melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang
harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam
qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh
Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat,
qanun dan reusam.
Islamisasi
semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang
menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh
Darussalam. Bunyinya: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala,
qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon
sifeut". Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya
pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan
Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda,
pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan
perempuan yang bukan isterinya.
Ketujuh, Raja
dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang
berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk
kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk
melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun
berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk
dijalankan.
Kedelapan, Raja wajib
menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak
zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan
tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan
sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu
dikerjakannya.